Pernah begitu mencintai seseorang sampai lupa mencintai diri sendiri. Pernah merasakan luka walaupun tidak ingin pisah. Pernah melepaskan namun akhirnya bertemu di ujung jalan. Pernahkah terpikir hal itu? Pernahkah berharap jika takdir akan berjalan semanis itu? Ketika masih saling mencintai akan bertemu lagi untuk bersama atau setidaknya meluruskan perasaan yang ada. Karena kesalahpahaman atau ketimpangan hubungan di masa lalu, percaya atau tidak, akan berpengaruh pada hubungan di masa depan dengan orang baru.
Kebingungan itu yang masih Alyn rasakan, bahkan sampai mengganggu pikirannya. Selama sepuluh tahun berlalu, tidak ada yang berubah dari hatinya untuk seorang Genta. Tetapi statusnya yang berubah, berpacaran dengan seorang laki-laki yang baik. Laki-laki yang menemaninya dari nol dan mencintainya dengan tulus. Lalu apa kabar dengan kenangan antara dirinya dengan Genta yang tidak ingin Alyn hilangkan?
Alyn plin-plan? Tentu saja plin-plan, dia akan memilih Genta jika laki-laki itu datang dan memintanya bersama. Katakan saja begitu, perempuan jahat yang menjadikan laki-laki lainnya sebagai pelampiasan. Tetapi, semua bukan salahnya. Laki-laki itu yang memintanya untuk mencoba. Jadi, Alyn tidak pernah salah, bukan?
Tetapi, Alyn yang mengiyakan dan terus berbohong atas perasaannya sendiri. Berusaha menutupi semua perasaannya yang hampa, kosong, dan tidak pernah bisa menggantikan nama Genta dengan nama siapapun. Termasuk laki-laki bernama Regan—yang sudah menjadi pacarnya selama 5 tahun lamanya. Regan tentu saja betah karena dia mencintai Alyn. Tetapi bagaimana dengan Alyn?
Perempuan itu hanya menunggu waktu untuk meninggalkan Regan, bukan? Bahkan Alyn sudah bertanya kepada Dimas, jika dia kembali pada Genta apa Dimas masih mau menjadi temannya. Bukannya itu sudah jelas, jika Alyn akan dengan sukarela pergi dan meninggalkan Regan jika Genta datang membawa cinta yang lama.
Jadi, posisi Regan ini apa? Seorang pacar sementara yang bisa dibuang kapan saja Alyn mau? Jahatkah, jika itu terjadi?
Bagaimana posisi Genta? Posisinya sangat tinggi. Cinta pertama, pacar pertama, ciuman pertama, kisahnya yang pertama, dan semangat yang paling utama. Lalu, apa ada orang yang bisa menggeser nama Genta dengan mudah? Tentu saja tidak semudah itu. Alyn selalu memberi perbandingan orang yang sedang mendekatinya dengan Genta.
Contohnya saja, Sandika. Alyn selalu bilang, Sandika tidak bisa seperti Genta. Tentu saja tidak bisa, karena Sandika bukan Genta dan Genta bukan Sandika. Mereka berdua adalah individu yang berbeda, jadi tidak mungkin akan sama. Apalagi Regan, walaupun sebaik apapun laki-laki itu, Alyn selalu bilang jika Regan tidak bisa menjadi Genta.
Maunya apa?
Mau Alyn itu simpel, dia mau Genta. Kembali pada Genta, memeluknya, mencintainya kembali, mengulang kenangan mereka di jaman SMA, menatap laki-laki itu terus-menerus. Hanya itu? Tentu saja tidak, Alyn ingin menghabiskan hidupnya bersama dengan Genta. Selamanya!
Lihatlah kamar ini, penuh dengan potret laki-laki itu. Semua foto yang pernah dipajang di sosial media Genta telah beralih menjadi foto-foto yang dipajang di dinding kamar Alyn. Ada juga satu foto berukuran besar. Ini foto satu-satunya mereka berfoto bersama. Ketika ulang tahun Genta, berada di tebing yang kemarin Alyn kunjungi bersama dengan Dimas.
Cintakah? Atau jangan-jangan ini hanya obsesi, seperti yang berulang kali Dimas katakan padanya. Alyn mengusap wajahnya gusar. Mimpi buruk lagi dan lagi. Selalu saja begitu dan membuatnya merasa ketakutan.
Alarmnya berbunyi, Alyn bergegas untuk mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Tidak butuh waktu lama, Alyn sudah duduk di depan meja rias. Sedikit memoles skincare ke wajah cantiknya. Perempuan itu menatap dirinya di cermin, bekas luka di lehernya tidak pernah hilang. Untunglah selalu ada foundation yang bisa digunakan untuk menutupi luka di lehernya. Kenangan menyakitkan yang dia dapatkan dari abangnya dulu.
Sudah lama Alyn tidak datang ke makam abangnya. Selain karena Alyn sibuk, makam abangnya juga berada diluar kota—tepatnya di kota yang telah dia tinggalkan selama ini. Matanya tampak lelah, namun Alyn senang karena bisa membantu banyak orang dengan tangannya. Dulu, jaman kuliah, Alyn aktif ikut forum yang memperjuangkan tentang hak perempuan. Di mana banyak korban kekerasan seksual, pemerkosaan, dan lainnya, yang belum berani untuk bicara. Maka forum itu menjadi wadah. Alyn tidak mau ada orang yang bernasib sama sepertinya.
Setiap melihat cermin, Alyn selalu takut. Namun, dia selalu berusaha untuk tetap bertahan. Perjuangan sudah sejauh ini, mana mungkin mundur?
Alyn mengusap wajahnya dengan sun cream. Menatap wajahnya, mulus tanpa cela. Tidak ada bekas noda atau jerawat sisa masa puber. Alyn nyaris sempurna, fisiknya begitu menawan namun mereka tidak tahu jika Alyn bekas perbuatan tidak menyenangkan dari abangnya.
Helaan napasnya terdengar kasar, sebelum sempat beranjak ke rumah sakit, ponselnya mulai bergetar. Ada panggilan dari Regan. Alyn kembali duduk setelah menatap jam tangan yang melingkar di tangannya. Masih cukup untuk menjawab telepon dari Regan.
"Halo, Kak." Sapa Alyn dengan suara yang menyenangkan.
"Lagi apa, Yang?" Tanya Regan yang begitu terdengar senang ketika teleponnya langsung dijawab oleh Alyn.
"Baru mau berangkat ke rumah sakit, Kak. Kak Regan enggak kerja?" Alyn memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.
"Sibuk, Yang? Aku baru libur hari ini, sebenarnya ada yang mau aku kasih tahu sama kamu." Ucap Regan yang terdengar begitu sumringah.
Alyn mengerutkan keningnya, "apa? Jangan bikin penasaran deh, Kak."
Terdengar tertawaan renyah dari Regan. "Lusa, aku bakalan pulang ke Indonesia lho. Senang enggak? Aku langsung turun di bandara kotamu, Yang. Jadi enggak balik ke rumah dulu. Ada kerjaan di sana, kebetulan banget 'kan."
"Serius?" Tanya Alyn tidak percaya. Entah ini akan menjadi kabar bagus atau biasa saja untuknya. Namun, dia merasa sedikit terhibur, setidaknya akan ada laki-laki yang menemaninya dan mau meluangkan waktu untuk dirinya.
"Serius dong! Kali ini aku bakalan pulang kok. Enggak kaya kemarin yang bilang pulang tapi akhirnya harus diundur. Aku udah beli tiket dong, Yang." Senang Regan yang akan segera pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Alyn kembali.
Alyn diam beberapa saat, "tapi aku enggak bisa jemput di bandara Kak kalau lusa. Dokter Andi bilang aku harus ikut operasi pasien. Gimana dong? Padahal aku pengen ketemu Kak Regan lebih awal."
Regan tertawa pelan, "enggak pa-pa, Yang. Paham dong kalau pacarku ini sibuk banget. Aku langsung pergi ke rumah sakit aja. Pokoknya kalau masalah jemput, enggak usah mikir. Aku bisa datang nyamperin kamu. Boleh nginep 'kan di rumah?"
"Boleh kok, nanti kita pergi jalan ke tempat yang aku mau. Pokoknya Kak Regan enggak boleh nolak," gerutu Alyn kepada Regan.
"Iya Sayang, aku ikut deh pokoknya. Kalau gitu, aku tutup teleponnya dan kamu hati-hati berangkat ke rumah sakitnya. Titip salam buat Dimas juga, ya. Aku sayang kamu." Ucap Regan.
Alyn menggigit bibir bawahnya, hendak mematikan sambungan teleponnya. Namun akhirnya Alyn membisikkan sesuatu yang hampir tidak terdengar dan membuat Regan terdiam.
"Me too,"
Perempuan itu tersenyum tipis, dia juga sayang Regan—orang yang selalu menemaninya selama ini.
###
Ruangan UGD kacau, keadaan yang buruk baru saja terjadi. Ada sedikit miss komunikasi antara salah satu perawat dengan Naura—dokter koas ketika menangani pasien. Untunglah pasien tidak mengalami hal serius sehingga mereka berdua tidak perlu berurusan dengan atasan apalagi kepolisian. Walaupun fatal, tetapi Alyn sebagai kepala UGD masih bisa menanganinya.
Terjadi perang dingin antara tim medis dengan dokter koas yang saat ini sama-sama berada di ruang UGD. Mereka saling membela kubunya masing-masing. Perawat yang tadi sempat memarahi Naura tampak tenang karena tim medis di UGD membelanya. Sedangkan Naura, terdiam dengan kaki gemetaran di ujung ruangan. Matanya juga sembab karena sehabis menangis.
Teman-teman satu kelompok Naura pun hanya bisa menenangkan tanpa membantu adu mulut dengan para tim medis di sana. Jujur, mereka juga tidak mau mengulang periode koas jika sampai pihak rumah sakit memutuskan kerja sama mereka sekarang. Jadi, segala cacian dan bentakan diterima walaupun dengan hati perih.
Alyn tampak berjalan mendekat dan menatap semua timnya. Sebenarnya mereka sedikit kesal dengan Alyn karena perempuan itu memihak Naura yang menurut petugas medis mempunyai kesalahan besar.
"Ada apa lagi ini? Saya enggak suka kalau ada masalah di ruangan ini atau perang dingin yang merugikan semua orang." Tegas Alyn melipat tangannya di d**a.
Naura masih tidak bergeming dari tempatnya, wajahnya pucat namun berusaha untuk mendongak. Tidak ada pilihan lain selain meminta maaf kepada tim medis di UGD agar tidak ada masalah untuk teman-temannya.
"M-maaf Dokter Ralyn, ini salah saya dan tidak seharusnya semua teman serta tim medis lainnya disalahkan. Saya benar-benar minta maaf karena teledor memberikan suntikan kepada pasien. Saya yang salah dan tidak sepantasnya saya berada di sini. Saya benar-benar minta maaf, saya akan mengundurkan diri dan meminta pihak kampus untuk mengeluarkan saya dari daftar kelompok koas."
Teman-teman Naura yang lain hanya menatapnya iba. Lalu menggeleng agar Naura tidak bicara hal tersebut kepada Alyn.
"Apa kamu tidak tahu jika obat itu tidak diperuntukkan untuk pasien dengan gejala seperti itu?" Tandas Alyn dengan nada tegas kepada Naura yang sesenggukan.
Naura mengangguk, "saya tahu, tapi saya gugup dan merasa ketakutan di ruangan. Saya sudah diminta untuk keluar beberapa kali, tapi saya kekeh ingin membantu. Saya mendapatkan kesempatan untuk membantu dan saya langsung mengiyakan intruksi tersebut tanpa berpikir panjang. Saya hanya ingin berusaha berguna di ruang UGD. Selama ini saya hanya menatap teman yang lain dari jauh karena saya suka gemetar. Tetapi, semua ini terjadi karena kebodohan saya sendiri. Saya benar-benar minta maaf."
Beberapa tim medis menatap sang perawat yang ada di depan mereka. Perawat itu diam sambil menunduk karena melihat teman-teman satu timnya menatapnya. Salah intruksi? Mungkin begitu.
Alyn mengangkat tangannya dan meminta semua orang untuk diam.
"Saya tahu, beberapa hari ini UGD sedang sibuk dan kalian pasti lelah. Saya juga tidak bisa menyalahkan kalian dengan alasan lalai, karena kita hanya menjalankan sesuatu yang menurut kita benar. Tim medis kita salah menyebutkan obat karena namanya mirip, beliau punya satu pasien yang belum ditangani. Lalu adek koas hanya menjalankan apa yang diintruksikan. Mereka berdua salah karena tidak fokus, tetapi ada yang bisa kita syukuri untuk saat ini. Pasien baik-baik saja dan ditangani dengan maksimal."
"Semoga hari ini bisa menjadi sebuah pembelajaran untuk kita semuanya. Saya berharap kita semua bisa saling memaafkan dan memulai bekerja sama kembali. Untuk yang senior dan lebih berpengalaman, sudilah kiranya untuk membantu anak koas yang belum paham sistem kerja di rumah sakit beserta dengan prosedurnya. Untuk anak koas juga diharapkan sadar diri dan tanggap jika kalian dibutuhkan. Kita saling mengerti saja, karena UGD sedang sibuk-sibuknya."
Mereka mendengarkan Alyn lalu mengangguk. Seperti mendapatkan angin segar ketika Alyn meluruskan semua kesalahpahaman diantara mereka. Perempuan itu mengusap lengan sang perawat lalu kembali keluar dari ruang UGD. Membiarkan mereka semua untuk berbaikan atau paling tidak memikirkan kesalahan mereka.
Udara segar di luar rumah sakit adalah terapi khusus untuk membuat Alyn lebih tenang. Hiruk-pikuk rumah sakit memang membuatnya sibuk, namun kadang membuat pusing setengah mati.
Tidak lama kemudian ada seorang laki-laki yang datang, menyodorkan sebuah minuman dingin kepadanya. Tanpa pikir panjang, Alyn langsung menerimanya.
"Kak Sandika mau ngapaian? Sakit?" Tanya Alyn yang meneguk minuman miliknya.
"Aku mau minta maaf tentang yang kemarin. Aku enggak seharusnya menghakimi kamu. Kamu benar, aku cuma terobsesi sama kamu. Selama ini, aku selalu melihat kesempurnaan yang kamu perlihatkan. Aku merasa bangga jika punya pacar kaya kamu." Jujur Sandika sambil tersenyum.
Alyn mengangguk, "semoga Kakak bisa mendapatkan perempuan yang baik."
Sandika tersenyum tipis, "kamu juga! Semoga langgeng dengan pacarmu yang sekarang. Dengar-dengar dari Dimas, kamu sudah lama pacaran sama pacarmu yang sekarang 'kan? Kenapa disembunyikan?" Tanyanya penasaran.
"Karena aku enggak mau kehilangan fans, kaya Kak Sandika." Canda Alyn yang membuat Sandika tertawa cukup keras. "Bercanda kok Kak! Sebenarnya karena aku enggak mau terlalu mempublikasikan sesuatu di sosial media." Sambungnya.
"Kamu enggak mau hubungan kamu dibahas? Secara, sekarang kamu 'kan sering muncul di televisi." Tebak Sandika yang menganggap alasan Alyn benar-benar logis.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, Alyn berusaha menutupi hubungannya dengan Regan. Yang jelas, semuanya ada hubungannya dengan Genta.
"Hubungan itu 'kan antara dua orang Kak, jadi kenapa harus memberi tahu publik?"
Sandika mengangguk paham, "aku yakin, laki-laki itu adalah orang yang baik. Buktinya, dia bisa menerima kamu apa adanya. Jarang laki-laki yang bisa bersikap dewasa seperti itu."
"Iya."
Hanya itu yang bisa Alyn jawab pada Sandika. Sebenarnya dia bingung harus mengatakan apa lagi. Yang jelas, Alyn tidak bisa membicarakan tentang seorang Gentasena yang telah membuatnya banyak berubah seperti saat ini.
Dunia percintaan kadang kejam, namun memilih atau dipilih seperti satu paket yang lengkap. Jadi, maunya Alyn itu apa?
###