"Apakah selama ini ada interaksi di antara aku dan ... aku memanggil Tuan Baskara itu apa?" Tanya Maya.
"Om Aska."
"Oh. Apa selama ini ada interaksi antara aku dan Om Aska? Maksudku apakah kami pernah mengobrol, meski terlihat sebagai orang asing?"
"Hanya mengobrol sesuatu yang penting saja. Di luar itu tidak ada." Bik Isti menggelengkan kepalanya.
"Yang penting itu apa?" Maya bertanya lagi.
"Urusan perusahaan."
"Lalu kenapa aku ingin bunuh diri?"
Bik Isti menatap suaminya.
"Non sudah delapan bulan berjuang, untuk meraih hati Tuan Baskara. Tapi Tuan Baskara seperti terpenjara di dalam masa lalunya."
"Maksud, Bibi?" Maya mengernyitkan keningnya.
"Yang saya tahu, Tuan Baskara memiliki seorang wanita di dalam hatinya. Tapi saya tidak tahu siapa orangnya. Konon katanya, wanita itu berasal dari masa lalunya. Tuan Baskara tidak bisa mencintai Non Maia, karena pernikahan kalian hanya sekadar pernikahan bisnis semata."
"Pernikahan bisnis?" Maya semakin tidak mengerti, karena ada istilah pernikahan bisnis. Kalau nikah kontrak, Maya pernah mendengar.
"Iya. Non Maia baru bisa menerima warisan setelah usia Non dua puluh satu tahun. Nyonya tidak ingin hartanya jatuh ke tangan saudara-saudaranya. Tapi Non hanya bisa mengelola sendiri harta warisan, saat usia Non sudah dua puluh satu tahun, atau saat Non sudah menikah. Karena itulah, begitu usia Non Maia mencapai sembilan belas tahun, Non Maia dinikahkan dengan Tuan Baskara." Bik Isti menceritakan sejarah pernikahan Maia dan Baskara.
"Oh ...." Maya merasa kasihan dengan nasib Maia.
"Apa aku punya kekasih?" Tanya Maya.
"Tidak. Non Maia gadis yang sangat pendiam. Dan hanya keluar rumah saat pergi sekolah. Tidak pernah bergaul. Non tidak pandai berkomunikasi dengan orang lain, karena Nyonya terlalu ketat dalam menjaga Non, sehingga Non Maia tidak bisa bersosialisasi di luar sana. Saya rasa Non menyimpan beban di dalam hati Non, karena sikap Tuan Baskara selama ini kepada Non. Apa Non tidak ingat sama sekali?"
"Aku tidak ingat apa-apa, Bik. Tolong ceritakan tentang apapun mengenai diriku. Termasuk pikiran Bibi tentang aku selama ini."
"Bibik yakin, Non butuh perhatian, butuh kasih sayang, butuh ketulusan, selain dari kami berdua. Non butuh semua itu dari Tuan Baskara. Tapi Tuan Baskara tidak pernah peduli pada Non. Tuan Baskara hanya sibuk dengan dirinya sendiri saja. Pulang ke rumah hanya numpang tidur saja. Pagi berangkat ke kantor, pulang menjelang malam, setelah itu tidak keluar kamar. Kalaupun keluar hanya sendirian, tidak pernah mengajak Non sekali saja selama pernikahan kalian. Saya sedih melihat Non, apalagi setiap melihat air mata Non. Saya tahu Non Maia menderita batin. Saya hanya bisa menghibur dan berusaha menguatkan. Tapi yang dibutuhkan bukan hanya sekadar ucapan dan perhatian saya saja. Non butuh Tuan Baskara sebagai suami, Abang, dan ayah."
Bik Isti menghapus air mata di pipinya.
Maya tercenung. Selama ini ia merasa hidupnya sudah cukup menderita, harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Masalah hidup yang Maia hadapi memang bukan soal ekonomi, tapi tekanan batin yang membuatnya tak sanggup bertahan dan memilih untuk mengakhiri hidup. Maya tidak tahu apa yang harus ia lakukan sebagai Maia. Ada rasa marah dalam dirinya terhadap Baskara. seorang lelaki yang sudah berumur, tapi tidak pandai memperlakukan wanita. Cinta atau tidak cinta. Suka atau tidak suka. Maia adalah istrinya. Baskara wajib memperhatikan, menyayangi, mencintai, dan memberikan bahagia untuk Maia.
'Maia, aku tidak tahu jiwamu berada di mana. Apakah jiwamu juga tersesat seperti jiwaku. Ataukah jiwamu sudah kembali ke alam sana, mengiringi jasad ku yang sudah kaku. Izinkan aku membalaskan sakit hatimu, terhadap si Baskara itu. Maafkan aku, jika aku nantinya mungkin merubah penampilan mu. Baskara harus aku beri pelajaran, agar bisa menghargai cinta seorang wanita. Wanita yang menjadi istrinya.'
"Non!"
"Apa kegiatanku setiap hari, Bik?"
"Non masih kuliah. Itu saja kegiatan Non. Tidak ada yang lain."
"Kata dokter kapan aku boleh pulang? Aku rasa sakit ku tidak terlalu parah, selain amnesia ini."
"Kata dokter besok, Non."
"Terima kasih, Bik. Aku ingin istirahat."
"Baik, Non."
*
Setelah makan siang, Maya ke luar dari rumah sakit. Maya merasa berdebar masuk dalam kehidupan barunya. Sebagai Maia. Secara ekonomi hidupnya tidak akan kekurangan lagi, tapi hidup Maia tampak lebih rumit dari dirinya. Maia jauh lebih muda dan jauh lebih cantik dari dirinya. Maya tidak ingat bagaimana cara wanita dua puluh tahun dalam bersikap. Apalagi Maia menurut bibi wanita pendiam yang lebih suka memendam, berbeda dengan dirinya yang lebih suka meluapkan. Selama ini, Yanuar cukup sabar dalam menghadapi dirinya, tapi sikap baik Yanuar berubah sejak dipengaruhi orang tuanya, terutama ibunya. Maya tidak tahu kenapa sikap ibu mertuanya bisa tiba-tiba berubah drastis kepadanya. Bahkan memfitnah dirinya dengan begitu tega.
"Ini rumah Non."
Pintu gerbang pagar terbuka. Yang membuka dua orang pria. Seorang lebih tua, yang satu lagi lebih muda.
"Ada berapa pegawai di rumah ini?" Tanya Maya.
"Ada empat laki-laki dan enam orang perempuan, itu sudah termasuk kami berdua, Non."
"Banyak sekali."
Maya menatap bangunan rumah berlantai dua yang sangat besar menurutnya.
"Ada berapa orang yang tinggal di sini?"
"Non, Tuan Baskara, dan semua pegawai."
"Semua pegawai tinggal di sini. Sudah berapa lama kalian semua bekerja di sini."
"Semua sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun."
"Oh ...."
Mobil berhenti, Pak Isman membuka pintu mobil untuk Maya.
"Silakan, Non."
"Terima kasih, Pak." Maya ke luar dari dalam mobil.
"Mari, Non." Bibi mempersilakan Maya melangkah lebih dulu.
"Bi, tolong kumpulkan semua pegawai di rumah ini. Aku ingin berkenalan dengan mereka."
"Berkenalan?" Bibi mengernyitkan keningnya.
"Saya lupa seperti apa mereka, dan juga lupa nama mereka, Bi."
"Oh, iya. Maaf, Non. Saya lupa. Kita masuk dulu, Non."
"Baik, Bi."
Pintu terbuka.
"Selamat datang kembali, Non Maia."
Seorang wanita usia empat puluh tahun yang membukakan pintu untuk mereka.
"Terima kasih."
"Hindun, Non Maia terkena amnesia. Dia tidak ingat apa-apa, termasuk tidak ingat siapa dirinya. Non Maia ingin berkenalan dengan semua karyawan di rumah ini. Aku minta tolong panggil mereka semua ya.
"Baik, Mbak."
Wanita yang dipanggil Hindun oleh Bik Isti itu beranjak pergi.
"Duduk dulu, Non."
"Iya."
Maya duduk di sofa yang tadinya hanya bisa ia lihat di sinetron saja. Maya tak pernah membayangkan akan tinggal di sebuah rumah besar dan megah seperti rumah Maia.
Lima orang wanita dan tiga orang pria datang dari dalam. Maya berdiri dari duduknya. Empat orang dari karyawan di rumah ini adalah orang yang ia kenal, karena satu kampung dengannya. Empat orang itu adalah dua pasang suami istri. Juju dan Komar. Yuyun dan Ikin. Juju dan Yuyun dulu selalu mencemooh dirinya, karena mereka berasal dari keluarga kaya di kampungnya.
*