Crisis - 05

4059 Kata
"Jika itu yang kau inginkan, aku bersedia mempertaruhkan semua yang kumiliki pada permainan ini." Aku menyeringai senang. "Dan aku akan mempertaruhkan seluruh organ tubuhku dalam permainan ini, bagaimana? Apa kau sepakat, Tuan Benriya?" Benriya mengangguk, dia benar-benar telah masuk ke dalam perangkapku. Ternyata mudah sekali membodohi orang dewasa, aku pikir akan sulit, tapi dugaanku salah. "Baiklah, permainannya dimulai, Tuan Benriya." Aku tersenyum senang dengan menekan kaca mataku yang agak menurun, kemudian aku menghela napas sesaat. Sekarang waktunya p*********n, aku tidak akan membiarkan pria bodoh seperti Benriya menyiksaku, malah sebaliknya, akulah yang akan melukainya. Dengan memenangkan permainan ini menggunakan senjata pamungkasku. "Maaf jika menyela, tapi aku ingin bertanya, Bagaimana cara memulai permainan ini, Marcell?" "Cukup mudah, Tuan Benriya, permainan ini diawali dengan memberikan sebuah pertanyaan pada lawanmu dan kemudian, lawan yang akan menjawabnya secara detail, bagaimana, apa kau sudah paham?" Mendengar hal itu kurasa Benriya mulai mengerti, tentu saja, anak kecil juga pasti paham. Namun, selama permainan berlangsung, kami tidak boleh lengah sedikit pun, karena bisa saja, sebuah pertanyaan dan jawaban akan menjebak kami secara mendadak. "Terima kasih, Marcell, berkat penjelasanmu, aku mengerti pada permainan yang akan kita mainkan. Baiklah, jika kau tidak keberatan, bolehkah aku yang memulai permainannya?" Sesuai dugaanku, Benriya pasti ingin mengawali permainan dengan cara liciknya, dia pikir bisa mengelabuiku dan menjebakku dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sulit? Itu tindakan yang sangat bodoh. Jika dia bertanya tentang hal-hal yang ada di dunia luar, aku berani menjawabnya dengan fasih, walau aku belum pernah tahu bagaimana keadaan nyata di sana, tapi aku telah membaca ribuan buku tentang dunia luar. Jadi, tidak ada pengalang untukku dalam meraih kemenangan. Aku sudah siap mendengarkan semua pertanyaan bodohmu, Benriya, ayo, ucapkan saja padaku. Benriya berdehem lalu mulai bertanya sebagai tanda dimulainya permainan ini. "Mungkin pertanyaan ini cukup berat untuk anak seusiamu, Marcell, tapi dengan hormat, aku akan menguji pengetahuanmu. Tolong jelaskan, berada di negara mana letak dari panti asuhan Antaroza yang kau dan teman-temanmu huni selama ini?" Aku mulai mengingat deretan halaman dari buku-buku yang pernah k****a, kemudian aku tersenyum. "Letak dari peternakan Antaroza berada di negara Rosenberg." Benriya kaget mendengar jawabanku, matanya membulat, tapi sepertinya dia terkejut karena sebutan yang kulontarkan pada panti asuhan ini. "Aku sungguh kagum pada pengetahuanmu, kau sangat cerdas, tapi, mengapa kau menyebutkan panti asuhan ini dengan sebutan 'peternakan'?" Sekarang, Benriya sudah masuk ke dalam jebakanku, aku sudah menduganya, dia pasti penasaran mengapa aku menyebutnya begitu. Sampai akhirnya, dia tidak sadar kalau permainan ini masih berlangsung dan semua pertanyaan yang baru saja dia ucapkan masuk ke dalam permainan. "Oh, kau belum tahu, ya? Sebenarnya, tempat ini bukanlah panti asuhan, melainkan peternakan yang didalangi oleh Mamaku. Aku tidak mengerti apa tujuannya mendirikan peternakan ini? Tapi yang jelas, ini sudah melanggar hak asasi manusia 'kan, Tuan Benriya? Kau pasti paham kalau tindakan yang dilakukan oleh Mama adalah tindakan kriminalitas?" Wajah Benriya jadi lebih kaku setelah mendengar penjelasanku, aku hampir tertawa melihatnya, aku tidak pernah berpikir kalau orang dewasa sangat bodoh. Bahkan, dia jadi susah menyimpulkannya, mungkin dia sedang mempertimbangkan untuk percaya atau tidak pada jawabanku ini. Yah, aku tidak peduli pada percaya atau tidaknya dia pada penjelasanku, yang aku pedulikan adalah, permainan ini. Aku akan memenangkannya dan membuat Benriya menjadi bawahanku. "Jadi begitu, ya? Alasan mengapa Nona Amanda memanggilku untuk menjadi penjaga di penjara bawah tanahnya, dia hanya ingin aku menyiksa anak-anak tidak berdosa sepertimu, kupikir kau dan anak-anak yang ada di dalam sel adalah bocah-bocah nakal yang pantas untuk dihukum, tapi sepertinya, aku salah." Aku mengernyitkan alis, entah hanya perasaanku saja atau Benriya memang menyebutkan nama mama tanpa sadar? "Amanda? Apakah itu nama asli Mamaku?" Aku penasaran pada hal itu, baru kali ini aku mendengarnya langsung dari orang mengenai nama asli mama. Dulu, aku pernah mencari-cari beberapa dokumen rahasia di kamar mama hanya untuk mengetahui nama asli dari wanita yang telah membesarkanku, tapi hasilnya nihil, aku tidak dapat menemukan apa pun. Semua data-data pribadinya selalu ditulis dengan sebutan 'Mama Antaroza' tanpa memakai nama aslinya. Jadi wajar saja kalau aku terkejut atas hal itu, rasanya seperti menemukan berlian di tumbukan batu karang, aku sangat senang mengetahui nama asli mama. Namun, entah kenapa, Benriya malah tersenyum tipis melihatku. Jangan-jangan, dia juga melancarkan serangan jebakan padaku. Keparat. "Benar sekali, Marcell, Amanda adalah nama asli dari Mamamu, mengapa kau tidak tahu pada nama Mamamu sendiri? Aku cukup terkejut seorang anak tidak tahu nama ibunya sendiri." Dia pikir dengan begitu, dia dapat mengalahkanku? Itu mustahil, walau sejujurnya, aku memang terkejut setelah mengetahui nama asli mama, tapi itu tidak cukup untuk memancingku ke dalam jurang kekalahan. Aku bukan pecundang. "Mengapa kau bertanya begitu, Tuan Benriya? Tentu saja aku terkejut, bukankah tempat ini hanyalah peternakan? Jadi, untuk apa Mama memberitahu namanya sendiri pada anak-anak yang akan disantapnya? Maksudku, dia kan hanya seorang gembala manusia? Jika kau menjadi seorang penggemala kambing, apakah kau harus memberitahukan namamu pada kambing-kambingmu?" Bagus, Benriya telah termakan oleh kata-kataku, aku sangat suka memandang rendah orang-orang dewasa, karena aku merasa kalau mereka hanya menyombongkan usia mereka saja, meremehkan anak-anak di bawah umur dengan segala pemikiran sok dewasanya. Padahal, anak-anak lah yang berkuasa penuh pada orang-orang dewasa, jika perlu bukti, aku akan membuktikannya sekarang. "Marcell, segala yang kau ucapkan telah menggetarkan jiwaku, sungguh, sebuah kehormatan aku bisa bermain permainan ini denganmu, kau telah membuat seorang profesor sepertiku terkejut oleh rangkaian kata-katamu, sebenarnya, mengapa kau bisa secerdas ini, Marcell?" Nah, sekarang, aku akan membuktikannya pada kalian, bahwa orang-orang dewasa hanyalah gerombolan anak-anak yang berpura-pura menjadi dewasa, dan aku akan membebaskan Benriya dari pemikiran logisnya itu. "Maaf, tapi aku telah menang, Tuan Benriya." Aku menyeringai senang di ruangan gelap ini pada wajah pria berjubah hitam di depanku. ☆☆☆ Niko P.O.V "Sudah selesai, bagaimana model rambutnya? Apa kau suka, Niko? HAHAHAH! Aku yakin, kau pasti menyukainya." Setelah menghabiskan waktu beberapa menit, Starrick telah selesai mencukur rambut kesayanganku, dia memberikanku sebuah cermin yang entah dari mana dia mengambilnya. Aku memandang pantulanku di cermin itu, setelah kutatap selama beberapa detik, aku sadar, kalau rambutku malah menjadi makin pendek dan warnanya berubah jadi putih seperti awan, padahal sebelumnya berwarna biru. Warna rambutku jadi sama persis seperti rambut milik Susy. "Mengapa kau mewarnai rambutku menjadi putih, Starrick!?" Sialan. Andai saja saat proses mencukur ada cermin di depanku, mungkin aku dapat melihat Starrick melakukan hal-hal mencurigakan pada rambutku, tapi sayang sekali, nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah berakhir. "HAHAHA! Bagaimana-bagaimana-bagaimana? Kau menyukainya, Niko? Aku sudah mengeluarkan semua kemampuanku untuk mengubah rambutmu menjadi keren! Seharusnya kau berterima kasih padaku, tapi itu tidak perlu kau lakukan karena aku sudah puas! HAHAHAH!" Baru saja aku akan menimpali ucapan Starrick, tapi suara dentingan lonceng raksasa terdengar jelas di ruangan yang kutempati ini. Entah, aku juga tidak mengerti mengapa ada suara lonceng, tapi gerak-gerik Starrick malah kelihatan buru-buru. "Ada apa, Starrick? Mengapa kau terlihat buru-buru sekali?" Starrick memasukan semua peralatan mencukurnya ke dalam kantung jubah putihnya. Dia juga merapikan sedikit jubahnya agar terlihat lebih bagus, tapi untuk apa? "HAHAHA! Sepertinya aku terlalu menarik perhatianmu, ya? Kau tahu, suara lonceng menandakan kalau aku harus membawamu masuk ke dalam pintu 'maut', itu adalah perintah dari Mamamu." Pintu maut dia bilang? Ini gawat, dari mendengar namanya saja, aku sudah menebak kalau isi dari pintu itu akan sangat mengerikan. Sebelumnya aku sudah memasuki pintu kelemahan dan hasilnya aku malah terjebak di dalam kegelapan tidak berujung. Dan sekarang, aku malah dipaksa untuk masuk ke dalam pintu maut? "Aku ... menolak! Aku tidak mau masuk ke dalam pintu itu!" Starrick malah tertawa mendengar jawabanku, seolah-olah dia sudah tahu aku akan menjawab begitu. "HAHAHAH! Kau tidak perlu takut, kita hanya akan melakukan sesuatu yang menyenangkan di dalam sana, kita akan merasakan sensasi yang begitu nikmat, Niko! Jadi, bersemangatlah! Kita adalah lelaki! Sudah seharusnya kita berani melawan rasa takut! HAHAHAH!" Pada akhirnya, aku malah menuruti perintahnya dan masuk bersama Starrick ke dalam pintu maut. Entah sesuatu mengerikan apa lagi yang akan kujumpai di dalam sana, tapi yang jelas, aku merinding. Langkah kakiku telah sampai di depan pintu besi, sebuah pintu yang akan mengantarkanku ke dalam sesuatu yang mengerikan, sebenarnya, itu hanya sebatas dugaanku saja, tapi siapa pun pasti akan berpikir begitu jika mendengar nama yang menyeramkan. Maut. Itulah nama pintu yang akan kumasuki bersama pria berjubah putih, Starrick. Bulu-bulu mungil yang menempel di seluruh kulitku langsung berdiri, mengekspresikan rasa takut yang mengguncang kejiwaanku. "Apa ini benar tidak apa-apa? Maksudku, ayolah, kau pasti bercanda 'kan? Mengapa kita harus memasuki pintu yang memiliki nama menyeramkan? Perasaanku tidak enak soal ini." Aku mencengkram pergelangan tangan Starrick, saking ketakutannya ketika pintu itu mengeluarkan suara derik yang begitu mencekam. Starrick telah membukakan pintu untukku, tiba-tiba, semilir angin menerjang kami berdua, aku membuka mataku yang sebelumnya terpejam ketakutan dan terkejut setelah memandang apa yang ada di dalam pintu tersebut. Bukan sebuah ruangan, pintu ini malah menghubungkan kami ke sebuah kuburan yang terkesan angker. Pintu maut sudah terbuka lebar, seolah menyambut kami untuk segera melangkah masuk. "Ap-apa maksudnya ini? Mengapa pintu ini--" "Sudah-sudah-sudah, jangan dibawa pusing, ayo, Niko, masuklah bersamaku! Kita akan menemui berbagai hal yang mengejutkan di tempat seram ini! HAHAHA!" Sialan. Starrick mendorong punggungku, aku terbawa oleh dorongannya dan masuk begitu saja ke kuburan yang dihiasi oleh suara-suara burung gagak yang beterbangan di sekitar kami. Bunyi alunan piano pun menyambut kami dengan sangat mencekik, entah siapa yang memainkan alat musik itu di sini, tapi yang jelas, aku ketakutan. Nada-nada mengerikan dari piano menyertai perjalanan kami menuju sebuah bangunan seperti gereja lima langkah di depan kuburan, angin yang mengusap permukaan kulitku begitu dingin. Lolongan serigala terdengar jelas dari sini, aku merasa kalau kuburan ini memang nyata, maksudku, tidak seperti ruangan sebelumnya yang hanya berisi ilusi semata, tempat ini lebih terasa nyata bagiku. "Starrick, sebenarnya, untuk apa kita pergi ke gereja itu? Menurutku, bangunan itu terlihat sangat angker, kau yakin akan ke sana?" Starrick yang sedang berjalan di sampingku langsung menoleh mendengar pertanyaanku yang barusan. Dan dia langsung tertawa terbahak-bahak seperti petir yang menggelegar dahsyat. "HAHAHA! Kau bertanya untuk apa kita ke gereja itu? Tentu saja untuk membanting mentalmu! Jujur saja, aku tidak tega melakukan hal ini pada anak kecil sepertimu, tapi apa boleh buat? Ini perintah dari Mamamu dan perintahnya adalah mutlak." Aku mendecih kesal, kenapa dia harus menuruti perintah mama jika hatinya memang tidak tega? Sialan. Lalu bagaimana nasibku nanti? Jika aku terperangkap ke dalam hal yang mengerikan di gereja itu, maka, dengan senang hati aku akan meminta pertanggung jawaban Starrick dan mama mengenai masalah ini. Ditambah, rambutku pun telah berganti warna menjadi putih karena Starrick mewarnainya ketika proses pencukuran rambut berlangsung. Mengapa aku bisa sebodoh ini? Terkena tipu muslihat Starrick untuk yang ke sekian kalinya, sampai membuatku berada di tengah-tengah kuburan bersamanya. Selang beberapa menit, kami telah sampai di depan pintu gereja yang besar dan penuh dengan sarang laba-laba. Kurasa, gereja ini kosong, tidak pernah dihuni oleh satu orang pun karena kelihatannya tempat ini tidak terurus sama sekali. Namun, mendadak, suara piano kembali berdenting lebih kencang dari biasanya, bagaikan suara latar belakang yang pas untuk mengekspresikan keadaan saat ini. "Bersiaplah, Niko, kita akan berjumpa dengan sesuatu yang mengejutkan, HAHAH!" Secara perlahan, Starrick mendorong pintu gereja hingga terbuka, menampilkan deretan kursi panjang yang berbaris di dalam ruangan tersebut, kursi-kursi itu memberikan area kecil di tengah untuk dijadikan tempat berjalan bagi para pendatang, tapi, sayangnya, tidak ada satu pun manusia yang menduduki kursi-kursi tersebut. Gereja ini kosong. Tepat di depan rentetan kursi, ada sebuah lukisan raksasa yang menempel di dinding, menghiasi ruangan ini dengan nuansa gelap, gambar dari lukisan itu adalah kelelawar yang sedang terbang di kegelapan malam. Entah, apa artinya itu, tapi, aku merasa kalau simbol dari lukisan kelelawar itu mengartikan sesuatu yang sangat menakutkan. Mungkin ini hanya perasaanku saja. "Syukurlah, kalian tiba tepat waktu." Suara seseorang yang begitu halus dan lembut tertangkap oleh pendengaranku, dan rupanya dugaanku benar, ada wanita yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia adalah mama. "HAHAHA! Terima kasih atas sambutannya, Nyonya!" Starrick membungkuk hormat di sampingku pada mama seperti seorang prajurit yang menghormati ratunya. "Ngomong-ngomong, mengapa hanya anak ini yang Nyonya pilih untuk sesi hukumanmu? Maaf jika berprasangka buruk, tapi, bukankah anak ini terlihat biasa saja dibandingkan teman-temannya yang lain? HAHAH!" Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti mengapa mama bisa berada di sini dan juga, untuk apa dia memegang sebuah belati di tangan kanannya? Mendengar ucapan Starrick, mama tersenyum hangat dan menimpalinya dengan lembut. "Aku memilihnya karena dia lebih berbahaya dari anak-anak lainnya," jawab mama dengan senyuman palsunya dari kejauhan. "Baiklah, sekarang, aku ingin berbicara empat mata dengan anak kesayanganku ini, jadi, silakan keluar, Starrick." Starrick mengangguk paham kemudian membalikan badan, berjalan keluar dari gereja ini, meninggalkanku tanpa salam pamit, dan akhirnya, hanya aku dan mama yang menempati ruangan ini. "Kemarilah, Niko." Mama menyimpan belatinya di lantai dan melipat tangannya di depan d**a dengan menampilkan senyuman lembut seperti biasanya padaku. Aku yakin, sebentar lagi aku akan terkena masalah besar karena telah membuat mama melakukan ini semua padaku, maksudku, mana mungkin mama menyiapkan gereja ini jika hanya untuk membicarakan omong kosong, dia pasti akan membahas hal yang sensitif padaku. Aku harus berpikir dari sekarang untuk bagaimana caraku menghadapi mama di depan sana. "Sebelum itu, mengapa Mama menyuruh Starrick untuk menjagaku?" Aku masih ada di dekat pintu, tidak bergerak sama sekali untuk mendekati mama yang jauh di depanku. Kursi-kursi yang kosong ini akan menjadi saksi pada sesuatu yang akan mama lakukan padaku. "Nikooooo, sudah hentikan," Mama menempelkan telunjuknya di bibir merahnya, mengisyaratkanku untuk diam. "Kau pasti akan mengerti sendiri soal itu. Sekarang, bukan masalah itu yang ingin kubicarakan denganmu." Aku meneguk ludah, tubuhku kaku seketika mendengar suara mama. "La-lalu apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Suasana mulai hening, hanya suara burung gagak dan lolongan serigala yang meriuhkan keadaan di luar gereja, bahkan, aku juga mendengar Starrick sedang tertawa-tawa sendirian di luar. "Kau penasaran, Niko?" Nada mama seperti sedang menggodaku untuk memastikan apakah aku serius menanyakan hal itu padanya, tanpa dijawab pun, aku seratus persen penasaran pada pembicaraan yang akan dia bahas denganku di sini. Sebagai jawaban, aku menganggukkan kepala dengan semangat, walaupun kini tubuhku sedang gemetar, tapi aku harus menyembunyikan rasa takut ini di hadapan mama karena aku tidak ingin mempermalukan harga diriku sebagai lelaki. "Sepertinya, kau sudah siap, baiklah, kita mulai saja, ya?" Mama mengambil kembali belatinya yang tergeletak di lantai dan dia berjalan anggun mendekatiku dari depan, melewati deretan kursi kosong, terus melangkah menghampiriku dengan wajahnya yang dipenuhi senyuman menghangatkan. Aku memundurkan langkah, ini gawat, aku mencium aroma pembunuh di sekitar tubuh mama, itu artinya, dia memang benar akan membunuhku di gereja ini. Sialan! Sialan! Sialan! Karena ketakutan, aku langsung mendobrak pintu agar aku bisa keluar, tapi sayangnya, pintu itu terkunci dari luar dan tidak bisa hancur oleh dobrakanku. Keringat bercucuran, membasahi pakaianku seperti tergerus hujan lebat, bahkan, kedua kakiku bergetar hebat, hampir tidak mampu untuk menopang tubuhku sendiri. "Karena kau tidak mau menghampiriku, jadi biar aku saja yang menghampirimu." Aku terkejut mendengarnya, mama sudah semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi hingga akhirnya dia sudah sangat dekat denganku. "Starrick! Buka pintunya! Buka! Buka! Kumohon!" Percuma saja. Tidak ada timpalan dari luar, sepertinya, Starrick pun sengaja tidak merespon teriakanku karena perintah mama. "Jangan takut, aku tidak akan melakukan hal yang buruk padamu, sayang." Malah sebaliknya, setelah mendengar perkataan itu, aku berpikiran hal-hal yang buruk pada wanita itu. "JANGAN MENDEKATIKU! MAMA!" Cup~ Tiba-tiba, saat aku berteriak kencang pada mama, wanita itu langsung berlari mendekatiku kemudian mengecup bibirku hingga aku terdiam kaku seperti patung. Aroma bunga melati, parfum yang dipakai mama saat ini menusuk hidungku hingga mabuk. Perlahan-lahan, mama membuang belatinya jauh-jauh, dan kedua tangannya memeluk tubuh mungilku. Bibirnya masih bersentuhan dengan bibirku, mengapa dia mengecupku? Apakah ini juga bagian dari rencananya untuk menyingkirkanku dari Antaroza? Aku tidak mengerti soal ini! Namun, mendadak, aku mengantuk, kepalaku terasa berat, aku ingin tidur secepat mungkin sampai akhirnya aku terlelap di pelukan mama. "Mari kita membicarakan ini di ruangan spesial, Niko." Mama mengusap-usap punggungku secara lembut, aku mendengkur di bahunya, sebentar lagi, jiwaku akan terlempar ke alam mimpi. Semoga saja, di saat mataku terlelap, mama tidak melakukan hal yang mengejutkan padaku. Aku terdiam kaku melihat tubuh Gebby tergeletak tak sadarkan diri di depanku, dengan kepala terluka, membuat cairan merah kental menyebar di lantai. Palu yang telah menghantam Gebby langsung jatuh, kembali seperti semula, menjadi benda mati yang tidak dapat bergerak sendiri. Terkadang, setelah aku melakukan hal kejam seperti ini pada orang lain, rasa bersalah menusuk hatiku, aku takut jika seseorang tahu akan hal ini dan menyebutku sebagai pembunuh. "Ma-maafkan aku ... Gebby." Air mata mengalir deras dari kelopak mataku turun ke pipi dan menetes-netes di lantai tempatku terduduk. Aku mengepalkan tanganku, rasa bersalah lagi-lagi mengancam jiwaku, membayangkan jika semua orang, termasuk teman-temanku, menyebutku sebagai pembunuh, terasa sangat menyakitkan. Kumohon, jangan sampai ada yang melihat hal ini, aku tidak ingin Niko, Marcell, Liona dan Merki mengetahui apa yang telah kulakukan. Ini adalah tindakan yang tidak pernah Susy yang mereka kenal lakukan, karena sosokku di mata mereka adalah seorang gadis lugu yang tidak mungkin membunuh seseorang. Namun, apa yang telah kulakukan sekarang? Jelas sekali, ini adalah pembunuhan, dan orang yang telah membunuh Gebby, pantas disebut sebagai pembunuh. Intinya, aku adalah seorang pembunuh. "Ta-tapi, aku tidak mau!" Aku menjambak rambutku sendiri, mengacak-acaknya seperti orang yang terkena gangguan kejiwaan. Aku menangis, menjerit, memohon ampun, pada Gebby. Aku benar-benar merasa bersalah. "Ak-aku telah melakukan pembunuhan ... ta-tapi sungguh, aku melakukannya karena Gebby menghina teman-temanku, ja-jadi ... aku reflek mengendalikan palu dengan pikiranku dan menghantamkan benda itu ke kepalanya, tapi tetap saja! Aku ... telah membunuhnya." Hatiku bimbang, terombang-ambing pada perasaan yang rumit, antara bersalah, atau pun menyalahkan Gebby, seolah-olah, pikiranku sedang menghakimi diriku sendiri. Di saat hatiku sedang gundah gulana, bingung, ketakutan, merasa cemas, mendadak, Gebby menggerakkan kedua tangannya, membangunkan tubuhnya dan menatap wajahku dengan kepalanya yang telah dibanjiri oleh darah kental. "Aku belum mati, Susy Nevalda." Aku terkejut, memundurkan posisi, menggeserkan p****t di lantai, untuk menjauh dari tempat Gebby terduduk dengan tersenyum padaku. Ini aneh, mengapa dia masih hidup? "Ke-kenapa? Ke-kenapa? KE-KENAPA!?" Aku menjerit ketakutan, sungguh, melihat seseorang yang baru saja pingsan kemudian tiba-tiba bangun kembali sangat menyeramkan, seolah-olah, Gebby sedang kerasukan menjadi seorang mayat hidup. Tapi, apa itu benar? Mungkinkah, Gebby memang belum mati walaupun kepalanya telah bocor? Itu sangat mengejutkan. "Susy, biar kuberitahu satu hal padamu," Gebby mulai bangkit dengan darah yang menetes-netes dari kepalanya, dia tersenyum walaupun wajahnya dipenuhi dengan darah. "Aku adalah seorang p*****r, aku sudah terbiasa merasakan rasa sakit seperti ini, bahkan, lebih dari ini pun, aku sudah pernah merasakannya! Kau tahu, Ayahku, dulu, selalu menentangku karena aku malah memilih untuk menjadi seorang p*****r, dia selalu menyiksaku dengan tongkat besi, memukul tubuhku, membanting kepalaku, menendang perutku, dia melakukan itu semua pada putrinya sendiri, dan apakah aku sedih karena hal itu?" Aku meneguk ludah mendengar cerita masa lalu Gebby, aku tidak meresponnya, walau dia memberikan jeda sejenak, karena sadar aku tidak menimpalinya, dia kembali melanjutkan. "Awalnya, aku memang sedih, tapi, lambat laun, semua pukulan itu, semua hantaman itu, semua bantingan itu, membuatku BAHAGIA! Aneh, bukan? Aku juga merasa aneh pada diriku sendiri, yah, bahkan, sama sepertimu, aku sering menganggap diriku telah gila, tapi aku tidak seputus asa itu, jadi, aku kembali menjadi p*****r tanpa peduli apa yang akan Ayahku lakukan padaku! Karena aku berpikir, pukulan-pukulan yang dia berikan, akan menjadi hadiah spesial dari seorang ayah kepada putri kesayangannya, seperti halnya kau bahagia mendapatkan boneka dari Mamamu, perasaan bahagia itu yang telah menjalar di hatiku! Jadi, setelah kau menghantamkan palu pada kepalaku, aku jadi SEMAKIN BAHAGIA!" "Ge-Gebby? Ke-kenapa?" Aku memekik ketakutan melihat Gebby tersenyum lebar dengan memasang wajah kebahagian yang tak terbendung karena aku telah menyakitinya. Ini diluar dugaanku, aku pikir, Gebby telah mati dan aku frustasi karena membunuhnya, tapi kenyataannya, dia masih hidup dan bahagia. "Jadi, Susy," Gebby mengambil palu yang tergeletak di lantai dan melangkahkan kakinya, mendekatiku dengan senyuman bringasnya yang sangat ganas. "Aku ingin kau juga merasakan rasa sakit-ah, tidak, maksudku, rasa bahagia ini! Aku ingin kita berdua merasakan kebahagiaan karena saling memukul satu sama lain! Dan sekarang, giliranku, untuk melukaimu." Kedua bola mataku membulat, terbelalak, tubuhku gemetar di sudut ruangan, kupu-kupu kembali menyebar, memenuhi langit-langit tempat ini. "Ja-jangan, kumohon! Jangan!" Gebby tidak mendengar permohonanku, dia terus melangkah dan melangkah, membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku tidak ingin merasakan sakit yang membuat kepalaku berdarah sama seperti Gebby, aku tidak mau itu. Mungkin wanita seperti Gebby kuat terkena hantaman itu, tapi aku berbeda. Aku tidak sekuat itu. Aku lemah. "MATILAH KAU! SUSY!" Gebby langsung mengayunkan palu itu ke kepalaku, aku memejamkan mata, tidak ingin melihat apa yang akan terjadi pada kepalaku, tapi, setelah aku menunggu saat-saat terakhirku, palu itu tidak kunjung datang melukaiku. Ketika mataku terbuka, seluruh benda yang ada di ruangan ini, melayang-layang, kasur, pintu, meja, kursi, bahkan lantai, semua benda itu mencopot dirinya sendiri dan terbang ke arah Gebby. Namun, mereka semua hanya melayang saja, membuat Gebby menoleh, memandang semua itu dengan keterkejutan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar. "Apa ... yang telah kau lakukan pada semua benda ini, Susy?" Aku tidak mengerti, padahal, aku sedang tidak memfokuskan pikiranku untuk mengendalikan semua benda itu, tapi kenapa? "Bu-bukan aku yang mengendalikannya, Ge-Gebby." "Lalu, siapa?" "Ak-aku tidak tahu! Sungguh!" "Heh. Tidak berguna, apakah mungkin, rasa takutmu itu membuat seluruh benda ini melayang di sekitarku?" Aku tidak pernah tahu soal itu, buku panduan yang pernah k****a tidak pernah menjelaskan soal rasa takut yang membuat benda-benda melindungiku, tapi ini sangat aneh. Ah, aku ingat. Dulu, mama pernah berkata padaku, setelah dia tahu kalau aku dapat mengendalikan benda dengan pikiranku, bahwa, jika kau berhasil membuat seluruh benda menyayangimu, maka, benda-benda itu akan melindungimu dengan kekuatan mereka sendiri. Kupikir, itu hanya lah dongeng anak-anak saja, tapi, ternyata itu benar. Buktinya, sekarang, benda-benda yang ada di ruangan ini akan melindungiku tanpa dikendalikan oleh pikiranku. "Susy! Cepat buat benda-benda ini kembali diam!" "Ak-aku tidak bisa, Gebby! Mereka semua tidak dikendalikan olehku!" "Kau pikir aku percaya padamu!" "Aku tidak berbohong!" "Kau! MEMBUATKU MUAK!" Aku terkejut mendengarnya, Gebby berteriak kencang padaku, perasaan benci telah mengalir di tubuhnya, aku merasakan aliran itu bagaikan air bening yang mengucur di sungai. "Ma-maaf! Tapi! Tolong, lepaskan palu itu dari tanganmu, mungkin, mereka, benda-benda itu, marah karena kau akan memukulku menggunakan palu." "Kau bilang begitu, seolah-olah, mereka semua bergerak sendiri?" "I-iya! Mereka ... bisa bergerak sendiri." Gebby sepertinya kesal karena aku berkata hal yang tidak masuk akal, tentu saja, aku tidak tahu harus mengatakan apa selain itu. Karena kenyataannya memang begitu. Benda-benda itu, bergerak dengan keinginan mereka sendiri. Terdengar tidak masuk akal, tapi itu pernah terjadi, ketika aku akan jatuh ke dalam sumur, tiba-tiba saja, kayu-kayu menumpuk di lubang sumur dan akhirnya, aku tidak jatuh atau pun tenggelam ke dalam sumur tersebut. "Aku tidak peduli soal itu! Yang lebih penting, aku akan melukaimu sekarang juga! TERIMALAH KEBAHAGIAAN INI! SUSY!" BELEDAG! BUAG! BRAK! Seluruh benda-benda itu langsung menjatuhkan diri mereka ke arah Gebby, membuat wanita berjubah kuning itu terkapar, tertindih oleh banyak benda di atasnya, bahkan, usahanya untuk menyakitiku telah gagal. Aku di sini hanya bisa memandang tubuh wanita itu terhimpit oleh banyak benda, aku merasa lega sekaligus takut. "Aku tidak membunuhnya 'kan?" Ya, itu benar, sekarang, bukan aku yang telah melukai Gebby, melainkan benda-benda itu lah yang melakukannya sendiri. Bisa dibilang, aku bukan pembunuh. Dan aku merasa lega. Karena itulah, ini kesempatanku untuk segera keluar dari tempat ini, beruntung, pintu itu telah copot dari posisinya karena telah terbang dan menindih Gebby, yang alhasil, memudahkanku untuk keluar tanpa harus membuka atau menutup pintunya kembali. "Teman-teman! Ak-aku akan ke tempat kalian!" Aku tersenyum senang, tapi, senyumanku menghilang seketika dan aku menghentikan langkah di tengah-tengah lorong. "Ummm ... be-benar juga, aku tidak tahu mereka ada di mana," Aku mengembuskan napas kekecewaan, lantas, kalau tahu bakal seperti ini, sebaiknya aku tidak perlu keluar. "Andai saja ada seseorang yang memberitahuku di mana lokasi teman-temanku berada." Puk! Tiba-tiba saja, ada seseorang yang menepuk pundakku, aku terkejut, padahal baru saja aku memohon pada Tuhan, dan sedetik kemudian, permohonanku langsung di kabulkan. "Sebenarnya, aku lah yang telah menerbangkan benda-benda itu untukmu, karena dari awal, aku mengikuti penjaga berjubah kuning itu saat tahu kau dibawa olehnya, hehe! Yah, kuharap kau tidak membongkar rahasia ini pada teman-temanmu! Susy!" Aku tersenyum bahagia saat tahu kalau orang yang baru saja menepuk pundakku adalah, "RO-ROBIN!?" Aku langsung memeluk tubuh kekar milik Robin, tahanan yang tinggal di sel sebelah. Aku tidak tahu kalau benda-benda yang melayang-layang di sekitar Gebby tadi adalah perbuatannya, ternyata Robin, lelaki berambut gimbal itu memiliki kemampuan yang sama sepertiku, walaupun dia lebih hebat dibandingkan diriku. "Baiklah, ayo, Susy! Kita selamatkan teman-temanmu!" Aku melepaskan pelukanku pada tubuh Robin dan mengangguk mendengar perintahnya, kemudian kami berdua langsung lari, menuju tempat Niko, Marcell, Liona dan Merki berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN