(14) Two Little Girls

1935 Kata
Seorang gadis berlari melewati koridor menuju istana selatan Kerajaan Alroy dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya yang mantap terdengar jelas menggema, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa terganggu. Meski begitu tampaknya ia tidak peduli, walau tatapan pelayan-pelayan yang ia lewati sepanjang jalan terasa menusuk ke arahnya. Gadis itu tetap berlari seolah tidak memerhatikan napasnya yang hampir habis dan tatapan sinis beberapa pegawai istana yang berada di jalurnya. Rambut cokelat tuanya yang terkepang rapi menjuntai memukul-mukul punggungnya seirama dengan suara derap yang dihasilkan oleh gesekan sepatu dan ubin istana. Pintu menuju halaman belakang istana sudah di depan mata. Penjaga pintu menyingkir beberapa sentí ke samping agar tidak tertabrak oleh gadis cantik itu. Kembali, untuk kesekian kalinya, gadis itu menatap langit. Seakan-akan memastikan matahari masih berada di tempatnya. Namun, tidak. Dia menggeleng begitu melihat bayangannya yang sudah terlihat pendek, menandakan bahwa sang surya sudah tepat di atas kepala. Waktu makan siang sudah habis! Bangunan istal beratap jerami menjulang tinggi. Gadis itu memelankan langkahnya begitu melihat seorang pemuda beserta dua gadis kecil mengamatinya sambil bersidekap. "Maaf, Yang Mulia. Saya terlambat." Liz menundukkan kepalanya sambil mengatur lagi napasnya yang memburu. Edward mengernyit heran menatap Liz. "Baju siapa yang kau kenakan Liz?" Liz menatap bajunya. Atasan putih berlengan panjang dibalut rompi kulit sapi dan celana panjang berbahan sama. Alisnya bertaut. "Apa ada yang salah, Yang Mulia?" Edward tersenyum geli melihat tampang polos Liz. Kedua gadis kecil di sebelah Edward juga ikut terkikik. Demi menjaga wibawa di depan gadis-gadis itu, Edward menegakkan kepalanya dan menghapus senyum dengan berdehem, pura-pura membersihkan tenggorokan. "Kau memakai baju berkuda milik laki-laki, Nona?" tanya salah satu gadis di sebelah Edward, yang berambut merah diikat ekor kuda. "Hah?" Liz menampakkan ekspresi tidak percaya. "Benarkah itu?" "Ya," sahut gadis lainnya yang berambut pirang. "Apa kau tidak melihat baju berkudaku ini. Baju kami berdua khusus untuk seorang putri. Bermodel gaun yang sangat cantik. Terlihat anggun, Nona." Wajah Liz memerah karena malu. "Maafkan saya, Yang Mulia. Baju yang biasa saya kenakan sudah saya berikan pada orang lain. Beruntung tadi saya sempat bertemu teman lama di Wiser yang tinggal di Humbles." "Sudah, sudah. Tak usah merasa malu begitu. Aku tak mempermasalahkannya. Kau tenang saja." Edward menengahi. Gadis berambut merah tadi menambahkan. "Betul, Nona. Kau terlihat sangat manis dengan baju itu." "Sungguh?" tatap Liz tak percaya. Gadis itu mengangguk mengiyakan. "Bahkan kau terlihat lebih manis dari dia." Matanya mengarah pada gadis yang satu lagi. "Hei, itu hanya pemikiranku," tukas gadis berambut pirang tak terima. "Anak-anak, bersikaplah sopan di depan tamu kita." Edward mengingatkan. "Beri salam pada nona Lizzy." Kedua gadis itu tersenyum dengan dagu sedikit ditundukkan. Liz membalas dengan menekuk kedua lututnya serendah mungkin. Liz memandang Edward dengan pandangan bertanya-tanya. Edward hanya tersenyum seraya menggiring kedua gadis kecil itu mendekat ke hadapan Liz. "Liz, perkenalkan mereka keponakanku, anak dari sepupuku, Belle yang berambut pirang dan Jolie yang berambut merah. Anak-anak, perkenalkan Nona Lizzy Roulate, tabib pribadi istana." "Senang berkenalan dengan Anda, Yang Mulia," sapa Liz, tersenyum. Belle dan Jolie membalas, "Senang berkenalan dengan Anda juga, Nona." Liz memandang wajah Belle dan Jolie dengan seksama. "Yang Mulia, apa mereka kembar?" Jolie mendengus. Sementara Edward hanya tertawa lalu memberi tatapan memperingatkan pada Jolie. "Ya," jawab Edward. "Tapi hanya wajah saja yang menyamakan mereka. Selain itu semua berbeda. Sangaaat berbeda. Bahkan Jolie hendak menyangkal bahwa mereka bersaudara." Edward menepuk tangannya dua kali. "Oke, baiklah. Perkenalan cukup. Mari kita lakukan apa yang seharusnya kita lakukan di sini. Hebert! Tolong keluarkan kudaku." Pemuda itu keluar istal diikuti seorang pria dan seekor kuda yang dituntunnya. Ketiga gadis itu terdiam. Liz mencoba tersenyum lagi untuk mencairkan suasana. Namun si Gadis Berambut Pirang bernama Belle sibuk sendiri memilih kuda yang berada di sana. Hanya tersisa Jolie yang juga tersenyum padanya. Liz balas tersenyum kikuk, bingung memulai percakapan. "Jadi, Nona Roulate." Jolie memecah keheningan. "Ya, Nona Jolie." Jolie mendecak. "Lebih baik kau hilangkan panggilan 'Nona' di depan namaku. Terdengar aneh jika kita saling memanggil dengan sebutan 'Nona'." "Tapi," Liz mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. "Anda adalah seorang bangsawan, keponakan Yang Mulia Raja. Mana boleh saya memanggil Anda tanpa sebutan." Jolie mengibaskan tangannya tanda tak masalah. "Lakukan saja. Paman Edward juga tidak akan keberatan dengan panggilan itu. Semua yang akan kau lakukan selalu benar dimatanya, Nona. Bukannya kau kekasihnya?" Liz melongo menatap gadis kecil di hadapannya dengan tampang tak percaya. "Apa?!" Jolie hanya mengendikkan bahu lalu berjalan menuju salah satu kuda yang mirip dengan yang baru saja dibawa saudari kembarnya. Kuda pilihan Jolie meringkik pelan. "Tenang saja, tenang." "Bagaimana saya bisa tenang—" Liz seketika terdiam begitu sadar bahwa Jolie bukan menenangkan dirinya tetapi sang kuda. Jolie tertawa kecil melihat tingkah Liz. Liz mencoba menjelaskan, "Anda pasti salah paham." Gadis kecil itu kembali mengendikkan bahu. "Yah, aku hanya bilang apa yang Paman Edward katakan." Dan Liz kembali terperangah mendengar kata-kata Jolie. ♚♚♚ Tawa Jolie dan Belle bergaung di Lembah Raja-Raja. Kedua kemenakan Edward itu berlomba tentang siapa yang tercepat sampai ke Air Terjun Ratu. Sementara Edward mengawasi keduanya, Liz malah menatap canggung Sang Raja yang berkuda pelan di sampingnya. Sebagian pengawal kerajaan segera menyusul Jolie dan Belle untuk menjaga mereka. Sebagian lagi masih berada bersama Edward walau masih terbilang jauh dari jarak pendengaran. Hanya untuk berjaga-jaga bila ada serangan mendadak. Padang rumput itu masih basah oleh air hujan yang mengguyur tadi, menimbulkan aroma tanah yang menyegarkan. Liz merasa bahagia, entah mengapa ia seolah merasa bahwa ia sering sekali berkuda di padang rumput selepas hujan saat ia kecil dulu. Ya, masa kecil yang bahkan ia sendiri tidak bisa mengingatnya. "Hei, Liz!" panggil Edward. Liz menoleh menatap rajanya. Mantel merah berlambang kerajaan Alroy berkibar di belakang punggung pemuda itu. Jawab Liz, "Ya, Yang Mulia." "Apa kau tahu mengapa lembah ini dinamakan Lembah Raja-Raja?" tanya Edward. Liz mengangguk. "Ya, Yang Mulia. Saya pernah membacanya. Tempat ini dinamakan Lembah Raja-Raja karena tak jauh dari sini ada makam para raja dan ratunya. Tapi saya sendiri tidak tahu di mana letaknya secara pasti, Yang Mulia." Edward mengangguk. "Apa lagi yang kau ketahui, Gadis Kutu Buku?" Liz tertawa mendengar olokkan Edward lalu kembali terdiam dan berusaha mengingat-ingat apa saja informasi yang telah ia dapatkan tentang Lembah Raja-Raja ini. "Ah, ya!" seru Liz bersemangat, membuat Edward sedikit terkejut. "Ada Danau Putih dengan Air Terjun Ratu yang sedang kita tuju---inikah tempatnya?" Edward mengiyakan lalu turun dari kudanya. Liz terpana menatap keindahan alam Alroy yang terbentang di hadapannya. Jolie dan Belle tengah bermain di bawah Air Terjun Ratu. Air dari puncak bukit turun melewati Air Terjun Ratu dan menciptakan sebuah danau yang indah bernama Danau Putih. Untuk kali ini Liz sepertinya tidak bisa menjelaskan alasan nama Air Terjun Ratu dan Danau Putih karena terlalu hanyut dalam keindahan ini. "Liz?" Liz tersadar dari lamunannya dan menatap Edward yang tengah berdiri di samping kudanya untuk membantunya turun. "Terima kasih," ucap gadis itu setelah berhasil menapak tanah. Edward hanya tersenyum melihat Liz yang begitu terpesona. Saat pertama kali ia kemari reaksi yang ia timbulkan juga tidak jauh berbeda dengan Liz. Sekarang, karena ia sudah beberapa kali kemari Edward bisa mengontrol rasa takjubnya, meski kekaguman itu tidak berkurang. "Jadi pemandangan ini yang ada di lukisan di ruang kerja Anda, Yang Mulia?" tanya Liz. Edward mengangguk. "Ya." Edward duduk di rumput. Liz mengikutinya dan memeluk kedua lututnya agar kakinya tak menyentuh air. "Setelah ayahku, Raja Eric, meninggal, aku sering kemari. Entah untuk berkuda, melukis, atau menyendiri dan merenung." Liz menggenggam tangan kiri Edward untuk menenangkan. "Saya turut berduka cita." Kedua keponakan Edward menghampiri mereka berdua. "Paman Edward, kami lapar." Edward langsung memanggil seorang gadis pelayan yang bertugas membawa perbekalan. Gadis itu mengeluarkan piring dan cawan, menata roti dan menuangkan air di tiap cawan lalu bergegas pergi. "Kalian tahu mitos di Air Terjun Ratu?" tanya Jolie di tengah acara makan mereka. "Aku tahu, aku tahu!" seru Belle bersemangat. "Aku sangat suka ceritanya. Dan kuharap aku bisa mengajak calon suamiku untuk datang kemari." Liz menatap Edward bingung. "Mitos?" "Ya, mitos. Kau belum pernah mendengarnya, Nona?" tanya Belle. Liz menggeleng. "Mau aku ceritakan?" Liz mengangguk. "Baiklah." Belle mengambil napas bersiap untuk cerita. "Ibu bercerita, dahulu kala saat Irish masih bersatu, tempat ini sering dipakai para raja untuk melamar kekasihnya. Jadi, mitosnya mengatakan bila ada sepasang kekasih yang datang kemari, mereka akan menikah dan hidup bahagia. Tapi untungnya belum banyak tahu tempat ini dan mitosnya. Jadi aku bisa membawa calon suamiku ke sini hanya berdua." "Kau terlalu banyak berkhayal, Belle." cibir Jolie. Edward tertawa kecil melihat kedua keponakannya. Jolie menatap Liz penuh arti sambil mengerjap-ngerjapkan matanya melirik Edward. ♚♚♚ Edward berlari menyusuri koridor yang mengarah pada kamar ibunya. Raut wajahnya jelas menunjukkan guratan cemas yang luar biasa. Bagaimana tidak? Mereka baru saja memulangkan para kuda ketika salah satu pelayan ibunya memberitahu bahwa ibunya jatuh pingsan. Segera saja pemuda itu meminta tolong Liz untuk menjaga kedua kemenakannya dan segera berlari menuju istana. Kedua tentara penjaga pintu di ambang pintu menunduk hormat menyambut kehadiran Raja Edward. Pemuda itu segera masuk dan mendapati ibunya tengah berbaring di ranjang seraya tersenyum padanya. Ibu Ratu Rebecca memanggil putranya untuk mendekat. Edward segera duduk di tepi ranjang ibunya dan menggenggam sebelah tangan wanita itu dengan lembut. "Hai, Bu. Bagaimana?" tanya Edward, langsung pada intinya. Rebecca hanya tersenyum lemah. "Bagaimana acara berkudanya? Dimana Belle dan Jolie?" Edward menghela napas lelah. Selalu saja ibunya mengalihkan pembicaraan jika ia menanyakan keadaan ibunya. Seakan bagi ibunya keadaannya sendiri tidak lebih penting. "Ibu, serius. Apa yang terjadi? Apa Ibu sakit? Apa yang tabib katakan?" "Tidak ada apa-apa. Ibu hanya kelelahan. Tabib juga berkata begitu. Tidak ada yang harus kau risaukan, Edward. Mungkin pekerjaan ibu yang terlalu banyak. Untuk itulah ibu harap kau dapat menikahi Putri Calissa Neelendra tahun depan sehingga Ibu bisa beristirahat tanpa beban." Edward berdecak. Satu lagi obrolan ibunya yang menyinggung pernikahan. "Aku akan mengambil alih pekerjaan ibu sementara ibu sakit." Rebecca menggeleng sedih. "Edward—" "Iya, aku tahu ibu," potong Edward cepat. "Alroy butuh ratu. Tapi aku belum siap untuk menjalani pernikahan ini." "Apa lagi yang kau tunggu? Umurmu jelas menyatakan bahwa kau lebih dari siap." Rebecca meninggikan suaranya. "Apa karena gadis tabib itu? Kau ingin menikah dengannya? Ibu tidak perlu mengikutimu sepanjang hari untuk melihat bahwa kau menyukainya." "Ini sama sekali tidak berhubungan dengan Liz. Aku bukan belum siap untuk menikah, tapi aku belum siap untuk menikah dengan Calissa," jelas Edward sambil mengontrol kekesalannya. Entah mengapa ia tidak suka ibunya membicarakan Liz seolah-olah semua ini salah gadis itu. Mereka terdiam. Cahaya matahari sudah tak tampak, hanya menyisakan langit yang bertaburan bintang dan bulan sabit yang menggantung. Edward berdiri dan mencium kening ibunya. "Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini. Tidurlah, Bu. Besok pagi aku akan kembali bersama Belle dan Jolie." Rebecca mengangguk. "Oh, dan Edward," panggilnya lagi saat Edward hampir menyentuh gagang pintu. Edward berbalik. "Minggu depan Calissa akan datang berkunjung. Tolong jangan kecewakan dia. Gadis itu sangat mencintaimu." ♚♚♚ Liz kecewa saat Edward meninggalkannya dengan terburu-buru di istal. "Tolong jaga Belle dan Jolie sebentar. Ibu membutuhkanku," pesan Edward sebelum pemuda itu berlari menuju istana. Namun bagaimana lagi? Ibunya membutuhkan kehadiran pemuda itu lebih dari dia.  Gadis itu menghela napas lalu berusaha untuk tersenyum menatap kedua keponakan Edward yang juga tengah menatapnya. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Nona?" Liz tampak menimbang. Tentu ia tidak boleh sembarangan untuk mengajak kedua gadis kecil ini melakukan sesuatu. Mereka adalah seorang bangsawan sekaligus keponakan raja sendiri. Bila sesuatu terjadi pada mereka bisa-bisa ia dipenjarakan atau paling parah, dihukum mati. "Bagaimana jika kita bermain di ruangan saya saja? Kalian tahu, kita bisa mengadakan pesta minum teh sambil mengobrol. Obrolan antar perempuan!" Ide Liz langsung disambut anggukan bersemangat Belle. Jolie menatap Liz sangsi. "Apa kau tahu tata caranya, Nona? Bukan bermaksud menyinggungmu, hanya saja aku juga tidak tahu bagaimana caranya. Jadi aku tidak bisa mengajarimu. Belle-lah yang sering menghadiri acara membosankan seperti itu." Liz mengangguk. "Saya tak terlalu yakin pasti saya mengerti caranya. Bagaimana jika Nona Belle yang akan mengajari kita? Bagaimana Jolie?" "Aku sangat setuju, Nona." Belle bertepuk tangan girang. Akhirnya ia bisa melakukan hal yang menyenangkan di istana pamannya. Saudari kembarnya itu tidak pernah mau diajak untuk berpesta minum teh ala bangsawan seperti yang seharusnya mereka lakukan. Jadi, Belle hanya dapat melakukannya di pesta-pesta yang sering diadakan pamannya atau orang tuanya. Lizzy segera menggandeng tangan Belle dan berjalan menuju istana. "Mari kita segera memesan teh chamomille hangat di dapur istana." Jolie hanya bisa cemberut. "Mengapa kita tidak melakukannya secara tidak resmi saja?" keluhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN