(8) Crazy Idea

1877 Kata
Seorang anak laki-laki berlari melewati aula istana Neelendra sambil mendekap setangkai bunga tulip berwarna biru; sebiru lautan. Melompat-lompat di sepanjang anak tangga lalu berlari menuju ruangan putri sulung dari sang tuan rumah. "Hai, Lista. Lihat apa yang kubawa? Tulip dengan warna kesukaanmu, biru!" serunya. Sementara Calista hanya termenung menatap suatu titik di kejauhan lewat jendela kamarnya yang besar, dan sama sekali tidak menyadari kehadiran bocah laki-laki itu. Sang bocah menyentuh pundak Lista pelan. "Kau masih ingin ke sana?" Lista mengangguk pelan seraya membuang napas dengan kasar. "Sangat ingin, Edward. Aku sangat ingin ke sana. Bisakah kita ke sana sekarang? Aku tidak bisa menunggu hingga hari pernikahanku. Itu masih terjadi delapan tahun lagi dari sekarang. Aku tidak bisa, Edward. Tidak akan pernah bisa," ucapnya lirih. Kesedihan terpancar dari wajahnya. Edward menatap calon tunangannya dengan pandangan tidak mengerti. "Tapi kenapa?" "Karena," Lista menahan napas, bersiap dengan reaksi Edward. "Ada yang menungguku di sana." "Siapa?" tanya Edward penasaran. Silver River, tempat yang selalu ingin dikunjungi Lista, berada di wilayah kerajaannya, Alroy. Dan setahu Edward, Lista tidak mempunyai kenalan siapa pun di sana kecuali keluarga kerajaan Alroy tentunya. "Aku tidak tahu." Gadis itu menggeleng lesu. "Tapi aku yakin sekali. Ada seseorang yang menungguku, Edward. Dia sendirian dan dia menungguku. Bisakah kita ke Silver River, Edward. Kumohon," rayu Lista manja. Edward mendesah putus asa. Satu-satunya yang bisa menghentikan obsesinya tentang Silver River adalah mengalihkan perhatiannya. Dia melihat sekeliling. Aha! Gaun biru Lista yang disiapkan untuk pertunangan dengan dirinya minggu depan memberinya sebuah ide. "Bagaimana jika kita sekarang berdansa?" tawar Edward. Lista menatapnya curiga. "Untuk melatih tarian kita di acara minggu depan. Kau tahu bukan kita harus sering melatihnya agar bisa memukau banyak bangsawan." Edward menunggu jawaban Lista dengan cemas. Takut-takut jika niatnya untuk pengalihan perhatian gagal. Jika Lista tidak teralihkan, entah apa yang harus dilakukannya. Namun Lista mengangguk, Pangeran Alroy itu menghembuskan napas lega. Lista tidak terlalu suka menari, tapi menari dengan Edward adalah pengecualian. Terkadang dia juga berdansa dengan Will dan kakaknya, Alex, tetapi itu tidak semenarik jika berdansa dengan Edward. Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga. Edward menghitung dalam hati sesuai tempo irama musik. Tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan Lista. Sementara tangan kanannya di pinggang gadis itu dan tangan kiri gadis itu berada di pundaknya. Lista menyenandungkan musik yang digunakan untuk tarian itu. Matanya terpejam seolah dirinya terbawa dalam tarian itu. Kaki mereka bergerak searah mengikuti irama dari senandung Lista. "Auw!" pekik Edward. Tarian mereka otomatis berhenti. Lista menatapnya khawatir. "Ada apa, Ed?" Lalu matanya yang tajam segera menangkap luka goresan di telunjuk tangan kanan pasangannya itu. "Edward! Kau terkena duri Golden. Mengapa tidak kau ceritakan padaku? Duri itu berbahaya sekali. Mari kulihat tanganmu." Dengan lembut Lista meraih telunjuk Edward untuk melihat lukanya. Lalu secepat kilat berlari ke arah lemari riasnya untuk mengambil obat. "Aw. Hati-hati, Lis." Edward meringis menahan sakit. Calista juga ikut meringis. "Aku mencoba. Kenapa tidak kau beritahu aku, Ed? Bagaimana jika aku tidak tahu dan luka ini tidak disembuhkan? Oh, Edward, kau sangat membuatku khawatir. Aku sedang mengobatimu dengan obat temuan bibiku yang hilang itu. Kau akan segera sembuh, tapi mungkin bekas lukanya tidak akan bagus." Gadis itu mengendikan bahu tanpa mengalihkan perhatian dari luka Edward. Pria kecil itu memerhatikan calon tunangannya dengan seksama. Tentu saja putri ini terlihat dewasa. Seluruh anggota kerajaan memang diharuskan berpikir lebih dewasa dari usia seharusnya. "Nah, selesai. Tidak terlalu sakit, bukan? Obat itu memang mujarab. Berterima kasihlah pada bibiku," gumam Lista dengan bangga. Edward hanya mengangguk, masih kagum atas tindakan spontan Lista yang masih terlalu kecil untuk berbuat begitu dewasanya. Seharusnya dialah yang mengobati Lista, bukan sebaliknya. Karena tentu saja, dirinya tiga tahun lebih tua dari Lista. Gadis itu berdiri dan menyodorkan tangan kanannya pada Edward. "Mau berdansa lagi?" Edward mengangguk dan membalas uluran tangan Lista dan memulai tarian itu dari awal. ♚♚♚ Edward membuka mata seketika. Diusapnya jari telunjuk kanannya yang agak membengkak dan lebih besar dari jari lainnya lalu menghembuskan napas frustasi. Memimpikan Lista lagi? Harus berapa kali ia menyadarkan diri pada kenyataan bahwa Lista sudah meninggal? Hatinya sesak, sesak oleh rasa rindu yang makin lama semakin besar. Perasaan yang menyiksanya selama hampir delapan tahun terakhir. Edward mengerang sambil mengacak-ngacak rambutnya. Dia bisa gila jika hal ini diteruskan. "Tutup matamu, dan teruskanlah tidurmu, Edward!" perintah hati Edward namun gagal. Hampir dua jam Edward membuat dirinya sendiri tidur. Akhirnya ia hanya pasrah menunggu matahari terbit sambil mondar-mandir di kamarnya yang luas dan mewah namun sepi. Ditutupnya wajahnya yang tampan dengan satu tangan sambil memandangi potret Calista yang anggun. Satu-satunya potret yang ia miliki di ulang tahun Lista ke sembilan sebelum tahun berikutnya ia menghilang, tepat di hari ulang tahunnya dan hari pertunangannya. "Mengapa, Lis? Dimana kau sekarang? Apakah di atas sana? Bisakah aku ikut denganmu? Atau kau hidup kembali, Lista! Kumohon Lista, jangan buat aku menjadi seperti ini," bisik Edward. Dan tentu saja Lista dalam potret hanya diam terpaku dengan gaya yang anggun. ♚♚♚ Liz merenggangkan tubuh dan sendi-sendinya. Ranjang baru di rumah barunya sungguh nyaman. Bukan. Tidak hanya nyaman tetapi sangat nyaman. Salah satu ranjang terbaik di kerajaan Alroy khusus dibuat untuk dirinya. Ya, dirinya! Betapa beruntungnya dia. Gadis itu segera beranjak dan bersiap-siap pergi ke istana. Raja Edward benar, jarak istana dengan rumah barunya ini memang tidak terlalu jauh. Namun Pengurus Rumah Tangga Istana, Louis mengatakan bahwa Raja Edward juga menyediakan kereta kuda untuk pulang dan pergi. "Pagi ibu!" sapa Liz sambil mencium pipi ibunya. "Pagi, Sayang. Ingin sarapan?" tawar ibunya. Liz menggeleng. Tidak sempat. Sebagai gantinya ia membawa sebuah apel untuk dimakan selama perjalanan. "Sampai jumpa nanti siang, ibu!" pamit Liz. Ibunya berseru. "Hei, hati-hati Nona." Lalu menggelengkan kepalanya. "Anak muda zaman sekarang terlalu bersemangat." Di luar rumah baru Liz, sudah ada kereta yang dijanjikan Louis bersama kusirnya. "Pagi Tuan Gilbert! Bagaimana pagimu?" tanya Liz. "Baik, Nona Roulate. Terima kasih," jawab Tuan Gilbert membalas senyuman Liz. Lalu melajukan keretanya menuju istana saat Liz sudah naik. Ini kali ketiga dirinya masuk dari gerbang itu. Gerbang yang sama yang selalu menyambutnya di muka istana. Liz tersenyum pada pengawal dan pekerja istana yang kebetulan bertemu pandang dengannya. Barisan bunga lavender dengan anthrium merah memberikan perpaduan warna merah-ungu yang menarik. Juga bunga-bungaan lainnya dengan jenis dan warna yang berbeda-beda. Liz menarik napas dalam. Dirinya sedang bahagia, amat bahagia. Akhirnya kereta berhenti di pintu masuk istana yang besar dan menjulang tinggi hingga langit-langit. "Silakan, Nona Roulate. Semoga harimu menyenangkan," ucap tuan Gilbert. Liz turun perlahan. Walau sudah ketiga kalinya menginjakkan kaki di tempat yang sama, dirinya selalu terpesona oleh keindahan setiap detail istana Alroy. Tentu saja istana ini merupakan istana tertua dari seluruh dataran Irish, istana ini merupakan istana kerajaan Irish dulu. Begitu pulih dari keterpesonaannya, Liz baru menyadari bahwa Tuan Gilbert sudah beberapa meter darinya. Dia berseru, "Terima kasih Tuan Gilbert. Semoga hari Anda juga menyenangkan." Tuan Gilbert melambaikan topinya tanda hormat sambil menoleh sedikit ke belakang, ke arah Liz. Dan Liz akhirnya sendiri. Ada dua penjaga pintu di kanan-kiri, memastikan tidak ada penyusup yang membahayakan keluarga kerajaan. Liz tersenyum pada penjaga yang berada di sebelah kanan lalu menyodorkan surat perintah yang diterimanya kemarin, tanda bahwa dia bukan penyusup, diterima di istana, dan ada keperluan yang penting dengan kerajaan. Penjaga itu tersenyum dan mempersilakan Liz masuk. Pintu ganda itu terbuka tanpa mengeluarkan suara berderit. "Pasti selalu diberi pelumas terbaik," kagum Liz dalam hati. Gadis itu berjalan masuk dengan langkah ragu-ragu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia sudah berada di dalam istana tapi tidak ada yang menyambutnya seperti instruksi Perdana Menteri Louis kemarin. Pria itu bahkan tidak kelihatan batang hidungnya sekarang. Pintu masuk berdebam tertutup di belakangnya. Liz berjalan pelan ke koridor barat sambil melihat-lihat potret dari raja, ratu, dan keluarga kerajaan Alroy terdahulu yang dipajang di setiap dinding. Beberapa baju besi prajurit juga diletakan di sana. Gadis itu bergumam kagum melihat arsitektur istana Alroy yang luar biasa megah. Hingga akhirnya dia tiba di ujung koridor yang kosong dan hanya terdapat sebuah potret mendiang Raja Eric yang berukuran lebih besar dari potret-potret sebelumnya. Di ujung koridor itu terdapat jendela besar dengan pilar marmer berwarna putih dan terasa dingin di kulitnya. Liz memutuskan menengok sejenak pemandangan yang ditawarkan jendela itu sebelum bertemu dengan tuannya. Angin pegunungan langsung menerpa wajah Liz. Angin itu juga mengibarkan anak rambutnya yang tidak ikut tercepol bersama teman-temannya. "Nona? Sedang apa kau di sini?" tanya sebuah suara berat. Liz langsung menoleh dengan ketakutan. "Lista?" "Ehm, maaf, Yang Mulia. Maafkan saya, Yang Mulia. Harusnya saya langsung masuk ke ruangan Anda saja," ucap Liz pelan. Edward menyipitkan matanya lalu menggeleng dengan keras. "Kukira kau... ah, sudahlah. Bagaimana kau bisa tahu aku di sini?" "Saya tidak tahu Anda berada di sini. Saya hanyterdorong untuk melihat-lihat koridor ini yang terasa menarik walau ujungnya buntu. Dan bagaimana Anda bisa tiba-tiba di belakang saya, Yang Mulia?" Dahi Edward berkerut. "Aneh." "Jadi, Anda ingin diperiksa di mana?" tanya Liz. "Bagaimana ia bisa kemari? Apa yang menarik dari koridor ini?" Edward masih bertanya-tanya dalam hati. "Yang Mulia?" panggil Liz lagi. Edward tersadar. "Ya, Nona? Oh, benar. Ehm, karena kau sudah sampai di sini... di dalam saja." Edward menekan setitik area di dekat lukisan mendiang ayahnya yang kemudian membuka perlahan memperlihatkan sebuah lorong rahasia. Ia masuk diikuti Liz. Begitu masuk ruangan itu, yang bisa kita lihat hanyalah rak-rak berisi buku di keempat penjuru dinding, sebuah meja dan dua buah sofa yang terletak berhadapan di tengah ruangan. Liz terdiam. "Ini tempat paling indah yang pernah saya kunjungi, Yang Mulia," puji Liz. Edward tersenyum simpul dan berjalan ke sofa dengan bangga. "Memang sederhana. Tapi ini tempatku bersantai jika tidak ada kegiatan lain," jelas Edward. "Dan tempat melarikan diri jika ibu sudah membicarakan tentang pernikahan," tambah Edward dalam hati. Liz berjalan kaku menuju Edward. Pria muda itu hanya memperhatikan Liz yang masih sibuk mengagumi perpustakaan pribadinya yang memang sangat pribadi. Lalu dia berdehem untuk menyadarkan Liz. Gadis itu terkejut. "Bisa kita mulai?" tanya Edward. Pipi Liz merona karena malu. Bagaimana dia bisa berbuat sebodoh itu di depan rajanya? Tanpa banyak bicara lagi, Liz segera mengambil posisi. Dia memeriksa tekanan jantung, nadi, kecepatan napas, seluruh persendian, semuanya. Lalu berdiri lagi. Edward menyeruput teh pagi dan mempersilakan Liz untuk duduk di sofa yang berada di hadapannya. "Bagaimana?" tanya Edward. "Saya rasa Anda baik-baik saja, Yang Mulia," jawab Liz. "Tapi sebaiknya Anda tetap menjaga kesehatan Anda. Bagaimanapun juga Anda adalah orang paling berharga di kerajaan ini." "Aku tahu apa yang aku lakukan, Nona." "Maafkan saya, Yang Mulia," ucap Liz lirih. "Apa ada keluhan lain?" Edward mengamati langit-langit, mencoba mengingat-ingat persoalan kesehatannya selama hampir dua puluh empat jam terakhir. "Ah ya, tadi malam aku tidak bisa tidur. Bisa kau berikan aku obat untuk mempercepat waktu tidurku?" Liz tampak menimbang-nimbang. "Kurasa itu bukan ide yang baik, Yang Mulia. Detak jantung Anda terdengar lemah. Dan obat semacam itu justru akan menambah lemahnya jantung Anda. Saya benar-benar tidak menyarankan Anda untuk mendapatkannya." Edward menyeruput tehnya lagi. "Oh, ya? Katamu aku baik-baik saja." Liz mengangguk meyakinkan. "Anda memang baik-baik saja, secara fisik. Tapi saya lihat Anda tidak baik-baik saja dalam pikiran Anda, Yang Mulia. Maaf saya bersikap lancang. Tapi sebaiknya Anda menenangkan diri Anda sejenak dari pekerjaan Anda. Liburan kunjungan ke kerajaan lain sangat saya sarankan. Itu pun jika Anda menginginkannya." Edward mengusap-ngusap dagunya. "Begitu, ya?" "Atau mungkin ide yang lain," Liz tersenyum penuh arti. "Tapi ini mungkin ide yang buruk, tapi patut dicoba." "Coba katakan." "Anda bisa berjalan-jalan atau merasakan tinggal di kerajaan Anda---" Edward mendesah kecewa lalu bersandar di sandaran sofa. "Itu sudah kulakukan sepanjang hidupku, Nona. Jika kau sudah selesai, lebih baik kau keluar dari sini." "Maaf, Yang Mulia. Tapi saya belum selesai berbicara," Liz mengerucutkan bibirnya lalu tersenyum lagi begitu mendapat perhatian dari Edward. Sebelah alis raja itu terangkat. "Lalu?" tanya Edward penasaran. "Anda bisa tinggal di wilayah kerajaan Anda di luar istana selama beberapa malam," tambah Liz. "Namun sebagai warga biasa, bukan sebagai bangsawan. Bagaimana, Yang Mulia?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN