(3) Lizzy The Liz

1531 Kata
Tujuh tahun kemudian, istana Alroy. Raja Edward menghela napas berat. Ia yang sedang berdiri di balkon kamarnya tak dapat melepaskan pandangan dari arah selatan, tempat Silver River mengalir ke Laut Tenggara. Saking terlalu tenggelam dalam pikiran, ia sampai terkejut saat sentuhan lembut terasa di pundaknya. Ibunya. "Sudahlah, Edward. Ibu juga sangat mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Ketika ayahmu pergi, ibu juga sangat sedih," hibur ibunya, Rebecca. "Tapi ibu dan ayah sempat bersama. Paling tidak kalian telah melalui banyak hal berdua!" tukas Edward. Yang dia cintai adalah Calista, bukan adiknya, Calissa. Rebecca, Ibu Ratu Alroy, menggelengkan kepala. "Ibu serius saat mengatakan ingin kau menikah dengan Lissa tahun depan, saat ulang tahunnya ke-17. Ibu tahu seharusnya kalian menikah saat gadis itu sudah berusia 18 tahun, tetapi ibu pikir ini lebih baik. Pikirkan rakyatmu, Edward. Mereka perlu seorang ratu." Edward tak memberi respon, maka Rebecca melanjutkan, "Kau masih ingat pesan terakhir ayahmu?" Putranya mengangguk kecil. "Dia tidak ingin kau terlalu bersedih dengan kematian Putri Calista. Ibu juga sudah memberi contoh padamu. Lihatlah ibu, anakku. Ibu tetap kuat menghadapi kematian ayahmu, bukan?" Mata kedua ibu dan anak itu berkaca-kaca mengingat kenangan tentang kematian Raja Eric Alroy, ayah Edward. Raja Edward mengalihkan pandangan menuju lukisan mendiang Calista saat ulang tahunnya yang ke Sembilan, setahun sebelum insiden Silver River. Gaun kerajaannya yang berwarna biru langit cocok sekali di tubuhnya. Rambutnya diberi tiara kecil dengan batu safir berwarna biru terang bernama neelendra. Rebecca berjalan ke pintu. Sebelum keluar, ia menambahkan, "Ibu harap kau memikirkannya Edward." Sekali lagi pemuda yang diajak bicara itu menarik napas dalam lalu mengembuskannya cepat. Edward mengacak rambut frustasi. Masalah ini tidak akan muncul jika dulu dia tidak bercerita tentang Silver River pada Calista. Jika ada orang yang patut disalahkan dialah orang itu. ♚♚♚ Desa Wiser, Alroy bagian tenggara. "Aku pergi dulu ibu!" teriak seorang gadis muda dari ambang pintu rumahnya. Ibunya melongokan kepala dari dapur. "Hei, Liz, hati-hati! Jangan mencari masalah dengan para preman pasar itu lagi. Ibu tak akan menolongmu jika pemimpinnya ingin menikahimu." Liz hanya tertawa. "Oh, ibu pasti menolongku," balasnya. "Percayalah pada anak perempuanmu ini, Bu. Tidak akan terjadi sesuatu yang buruk padaku. Ibu tahu aku pandai menjaga diri, bukan?” Ibunya menaikan sebelah alis yang dibalas tawa lagi oleh Liz, lalu  melesat pergi setelah berkata, “Baiklah, sampai nanti." Sang Ibu hanya bisa menggeleng kepala heran menghadapi kelakuan anaknya. Liz berjalan santai menuju pasar. Senyum terhias di wajahnya dan sesekali bertegur sapa dengan orang-orang yang ia temui. Hampir seluruh rakyat Wiser mengenal Liz. Gadis itu membuka sebuah pondok di bukit untuk membantu mengobati rakyat yang kurang mampu membayar tabib sungguhan. Ilmu yang ia punya adalah dari ibunya yang juga cukup ahli dalam obat-obatan ketika muda. Ia melirik lagi keranjang rotannya. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk. Liz harus membeli persediaan makanan untuk seminggu, bahan obat untuk pondoknya, dan roti madu buatan nenek pembuat roti untuk ibunya. Setelah itu ia harus pergi ke hutan untuk mencari beberapa tanaman dan hewan untuk ramuan obatnya yang lain. Suara meja kayu yang hancur karena hantaman seseorang membuat senyum Liz langsung menghilang, suara yang hanya muncul karena kerusuhan yang diakibatkan datangannya preman pasar. Gadis itu segera berlari menuju kerumunan orang. "Ada apa ini?" tanyanya pada seorang pedagang. "Robby," bisik seorang pedagang ketakutan. Hanya satu nama itu dapat menjelaskan banyak hal bagi orang-orang Wiser. Robby adalah pemimpin dari kelompok preman di Desa Wiser. Tukang onar itu suka merampas harta para pedagang. Dan menurut rumor, Robby juga menikahi anak gadis para pedagang malang yang memiliki paras cantik. Sudah tak terhitung lagi berapa gadis tak bersalah yang sudah menjadi korban. Dan ngerinya lagi, gadis-gadis itu tak pernah kembali. Mereka tinggal di dalam hutan dekat Silver River. Para penduduk dan tentara takut ke daerah itu karena ada legenda lokal yang mengatakan seorang putri meninggal di sana. Menurut penduduk, putri itu adalah mendiang Putri Neelendra yang mati tujuh tahun silam diserang hewan buas. “Tolong segera lapor pada pasukan keamanan,” perintah Liz pada pedagang di sebelahnya tadi yang langsung melesat pergi meminta bantuan. Liz merangsek masuk menembus kerumunan orang yang berdiri tanpa daya melihat k*******n yang dilakukan Robby dan anak buahnya. Kali ini malang sungguh nasib pedagang buah langganan Liz. Salah satu anak buah Robby menendang punggung pria itu. "Hentikan!" seru Liz tegas. Seluruh pandangan tertuju padanya. Liz maju selangkah, matanya berkilat karena marah. Dia benar-benar tidak tahan dengan kelakuan seperti itu. Robby menatap Liz tajam, tetapi gadis itu tetap tegap berdiri. Dia malah balas menatap Robby tak kalah tajam. Seseorang harus mulai melawan mereka agar tidak tertindas lagi. "Kalian akan mendapat hukuman yang sangat berat jika Raja Edward tahu semua ini. Memeras orang yang lemah, apalagi dilakukan dengan k*******n, adalah tindakan yang sangat kejam." Robby tak menghiraukan amarah Liz. Laki-laki itu perlahan mendekati Liz dan menyentuh pipinya. "Jangan tutupi kecantikanmu dengan murka padaku. Menikahlah denganku maka kau dan keluargamu akan aman," ucap Robby di telinga Liz. Liz langsung menepis tangan Robby dan menamparnya. Senyuman licik Robby tersungging. "Kau menolakku?" Liz menatap Robby garang. Kedua orang yang penuh amarah tidak akan bagus hasilnya. Dan benar saja, tangan raksasa Robby terangkat ke udara. Liz memejamkan mata, menyiapkan diri. Suara tamparan terdengar. Anehnya gadis itu tidak merasakan sakit. Ia mencoba membuka mata perlahan. Ada seorang pemuda yang berdiri di depannya dan menangkis gamparan Robby.  "Aku tidak tahu darimana Anda berasal, Tuan, tetapi memukul seorang wanita tidak lebih dari seorang pengecut," ucap pemuda itu dengan ketenangan luar biasa. Liz gemetar, Robby mengeluarkan belatinya. Anak-anak buah Robby juga mengeluarkan s*****a mereka, tetapi Robby mengangkat tangannya memerintahkan mereka mundur. "Dia bagianku kawan." Pemuda itu bersiap, dia mengeluarkan pedang yang berada di pinggangnya. Ini petaka! Akan ada pertumpahan darah hari ini. Robby menghunus belatinya berkali-kali dengan kalap. Untungnya pemuda itu berhasil menangkis. Satu sabetan terukir di paha kanan Robby. Tidak terima, Robby mengganti sasarannya pada Liz. "Awas!" seru pemuda itu. Liz membelalakan matanya takut. Sedetik kemudian pemuda itu sudah berada di hadapannya, melindungi. Darah segar merembes pakaian di pinggang kirinya. "Berhenti! Ada apa ini?!" seru seorang pria setengah baya dari atas kuda. Lambang kerajaan Alroy tersemat di d**a kirinya. Tentara berkuda dengan lambang yang sama berada di belakangnya. Pertolongan akhirnya datang. Anak buah Robby langsung memapah bosnya yang berlari pincang melarikan diri ke tengah hutan. Sang pemuda menekan luka di pinggangnya yang sudah basah oleh darah. "Akhirnya," bisiknya lirih lalu ambruk dalam pelukan Liz. ♚♚♚ "Kau sudah sadar?" tanya Liz begitu melihat pemuda yang terbaring di depannya mengerjap-ngerjap. Pemuda itu mengangkat sedikit kepala agar dapat memandang Liz lebih jelas. "Di mana aku?" tanyanya. Pandangannya menelusuri ruangan kayu kecil itu, mencoba mengorientasikan diri. "Tenang saja, kau aman sekarang. Kita sedang berada di pondok pengobatanku. Aku tabib rakyat," jelas Liz. "Omong-omong siapa namamu? Dan dari mana asalmu? Kau seperti bukan dari Alroy." Pemuda itu terdiam sesaat. "Aku William, uh, North. Ya, aku William North. Tapi panggil saja aku Will. Dan kau benar, aku memang bukan dari Alroy. Seperti namaku, aku berasal dari utara." Liz menyipit menatap Will yang mengernyit risih. "Apa?" "Apa kau kebetulan adalah William Bill? Pangeran Kerajaan Bill?" selidik Liz. Will tergagap, "Bu-bukanlah. Nama William di dunia itu sangat banyak jika kau tak tahu." Liz mengangguk memercayai kebohongan William. Pemuda itu langsung menyambar kesempatan ini untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Lalu siapa kau?" "Kan aku sudah bilang, aku tabib rakyat." Liz tertawa kecil sementara Will mendengus. "Maksudku namamu, Nona?" "Aku Lizzy Roulate. Panggil saja aku Liz." Di tengah percakapan mereka, pintu kamar itu terbuka, Rosea masuk membawa sebuah cawan. "Liz? Sepertinya persediaan daun mint kita hampir habis. Aku akan pergi ke kebun untuk memetik lagi beberapa, oh..." Langkah Rosea terhenti begitu melihat Will. "Ro, ini William... ehm... North. Will, ini Rosea Helen, muridku sekaligus asistenku." Rosea menunduk hormat dengan raut tersipu. Masih dengan menunduk, Rosea menyerahkan cawan yang dibawanya dengan hati-hati ke tangan Liz. "Aku membuatnya untukmu. Baik untuk menambah darahmu yang hilang tadi pagi," ucap Rosea malu-malu. Liz menyerahkan cawan itu pada Will. Will tersenyum manis. "Terima kasih, Rose. Kau baik sekali." Rosea menunduk hormat lagi lalu berlari kecil keluar pintu. William bertanya pada Liz, "Berapa usianya?" "Lima belas tahun. Dua tahun lebih muda dariku. Dia sudah kuanggap adikku sendiri," jawab Liz. Ia menyerahkan cawan yang dibawa Rosea tadi pada Will. "Umurmu 17? Jadi kita seumuran?" tanya Will bersemangat. "Memangnya kenapa?" Liz menatap Will heran. "Apa wajahku tidak semuda yang kau kira?" Will melambai-lambaikan tangannya. "Bukan, bukan! Hanya saja kau mirip dengan sahabat kecilku. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Liz tertawa. "Lebih baik kau minum saja obatmu. Kau adalah William pertama yang aku kenal." Will meminum obatnya perlahan sambil menahan rasa pahit lalu menyodorkan cawan kosong kembali pada Liz. "Terima kasih," gumamnya. Liz beranjak menuju pintu. "Sebaiknya kau beristirahat. Ke mana pun tujuanmu lanjutkan saja besok. Sudah mulai malam dan lukamu belum sembuh benar. Ehm, dan terima kasih. Kau menyelamatkan nyawaku." Lalu pintu tertutup. ♚♚♚ "Ibu?" panggil Liz begitu memasuki rumahnya yang, anehnya, masih dalam keadaan kosong dan gelap. "Lizzy!" seru ibunya dari ambang pintu dengan panik dan langsung memeluk putrinya. "Kau tak apa, Sayang? Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Istri pedagang buah langganan kita yang memberitahu peristiwa tadi pagi pada Ibu." Liz membalas pelukan ibunya. "Aku tak apa, Bu. Ada seorang pemuda yang menyelamatkanku. Aku baik-baik saja, sungguh! Ibu tak usah cemas." "Pokoknya lain kali kau harus lebih berhati-hati. Jangan mencari perkara dengan preman-preman itu, terlebih Robby. Kebaikan hatimu terkadang justru mencelakaimu Liz. Kau tahu aku tak memiliki siapa-siapa lagi selain kau," ucap ibunya lembut. Liz mengangguk pelan walau hatinya tak yakin bisa menerima perlakuan preman-preman itu. Akhirnya Liz hanya bisa berkata, “Aku berjanji pada Ibu untuk lebih berhati-hati lain kali---“ "Ibu menyayangimu Liz," potong ibunya. "Ibu tidak sanggup kehilangan orang yang ibu cintai untuk yang kedua kalinya." "Aku juga menyayangimu, Bu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN