(12) More Than Just My King

1405 Kata
Tak terasa, satu purnama telah berlalu. Edward sibuk dengan pekerjaannya mengatur rumah tangga kerajaan seorang diri sehingga dirinya kewalahan. Ibunya sudah menyerahkan tanggung jawab penuh pada pemuda itu yang sebenarnya merupakan cara agar Edward sadar akan kebutuhannya dan kerajaannya terhadap seorang ratu yang bisa meringankan sedikit bebannya. Namun begitu, sepertinya Edward tidak merasa keberatan. Justru ia sangat menikmati kesibukannya itu. Hanya karena dengan begitulah maka Liz, gadis yang menjadi tabib pribadinya, memberikan perhatian khusus padanya. Gadis itu akan datang ke ruangannya dua kali sehari, pagi dan sore. Edward merenggangkan badan seraya menguap. Hari sudah larut malam atau mungkin menjelang pagi dan itu pun pekerjaannya belum selesai. Hanya tersisa seruas lilin di meja kerjanya dan Edward tak ingin mengganggu pelayan yang sedang beristirahat sehingga terpaksa ia sudahi pekerjaannya. Edward merapikan perkamen-perkamen laporan keadaan Alroy dari empat desa di kerajaan itu. Bunyi kasar kursi kayu yang beradu dengan lantai membuat Edward meringis. Entah sudah berapa tua kursi itu, mungkin sejak kakek dari kakek buyutnya memerintah, seakan menjadi saksi bisu sejarah Kerajaan Alroy dan Bangsa Irish. Perlahan, Edward menutup pintu ganda ruang kerjanya agar tidak menimbulkan bunyi berisik. Dua penjaga yang bertugas di depan ruangan menunduk hormat. Edward hanya tersenyum kecil lalu berjalan ke arah kamarnya yang berada di sayap istana bagian timur. Memang terasa lumayan jauh jarak antara ruang kerja Edward dengan kamarnya. Tapi itu memang ia sengaja. Sebab jika ia memandang ke luar dari balkon kamarnya, pemuda itu bisa melihat Silver River yang berkilauan ditimpa sinar matahari pagi walau sedikit terhalang pohon-pohon. Edward berjalan melewati koridor yang menghubungkan sayap timur, sayap barat, gedung utama, aula, dan istana selatan. Sayap timur adalah bagian di istana Alroy yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Entah tempat tinggal keluarga kerajaan ataupun tamu kerajaan, selama ia masih berdarah bangsawan. Sayap barat merupakan ruang pribadi anggota kerajaan. Seperti ruang kerja raja, perpustakaan, sampai kelas-kelas untuk pelajaran. Gedung utama adalah tempat dimana semua pertemuan kerajaan berlangsung. Dari rapat menteri dengan raja hingga sidang untuk kasus berat yang tidak bisa diselesaikan oleh hakim daerah. Gedung ini juga merupakan ruangan-ruangan para menteri dan pekerja untuk anggota istana seperti Liz. Aula lebih tepat disebut Ruang Dansa karena disitulah banyak pesta diadakan. Sementara istana selatan adalah tempat segala urusan yang menyenangkan, seperti ruang makan, ruang rekreasi, dan sebagainya. Raja Alroy itu baru saja hendak menapaki anak tangga pertama menuju sayap timur ketika telinganya mendengar bunyi langkah sepatu. Edward menajamkan suaranya. Jelas itu bukan suara sepatu para penjaga karena sepatu mereka akan terdengar berat karena alasnya yang terbuat dari besi. Tapi ini merupakan langkah yang ringan, jadi siapa? Terdorong oleh rasa penasaran dan waspada, Edward memutuskan untuk mengikut langkah itu. Arahnya berasal dari koridor yang menuju istana selatan. Pemuda itu berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi langkah yang terlalu berisik. Sebisa mungkin juga ia menyembunyikan diri dari sinar lilin yang terdapat pada setiap dinding koridor sebagai alat penerangan agar tidak menciptakan bayangan. Hingga akhirnya dia bisa melihat sosok itu dalam gelap, beberapa lempar batu dari tempatnya berdiri. Edward merapat ke tembok ketika sosok itu menoleh ke belakang. Kemudian sosok itu berjalan menuju dapur istana. Edward kembali mengikuti. Sosok itu memasuki dapur istana dan membiarkan pintunya terbuka. Edward menunggu di luar dapur dan berencana menyergapnya ketika sosok itu keluar. Terdengar langkah lagi menuju pintu dapur, Edward sudah bersiap. Tapi yang terdengar malah suara kucing kesakitan yang diiringi dengan teriakan kaget seorang wanita. Edward membatalkan rencanya dan segera menyusul sosok tadi untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dibawanya lilin kecil yang selalu tersedia di pintu dapur dan menyalakannya. Edward menatap sekeliling dengan mata menyipit ke seluruh penjuru dapur namun sosok itu menghilang. "Aneh, seharunya ia masih di sini," gumam Edward heran. Edward berbalik dan dirinya begitu terperanjat ketika melihat sesosok manusia yang berdiri tepat di depan wajahnya. Edward terhuyung dan jatuh ke belakang. Lilin di tangannya padam begitu tersentuh dinginnya ubin. "Argh!" erangnya. Keadaan dapur menjadi gelap seketika. Edward kembali menyipit untuk mengetahui siapa yang berada di depannya tadi. "Oh, maaf, Yang Mulia. Apa Anda baik-baik saja?" tanya suara wanita itu. Sepertinya terdengar familier. Apakah dia--- "Liz?" Edward melihat cengiran Liz walau dalam gelap. Giginya tampak putih dan tertata serta terawat rapi. Liz mengulurkan tangannya membantu Edward berdiri. "Apa yang kau lakukan tengah malam begini, Liz?" tanya Edward. Liz meringis. "Saya lapar, Yang Mulia. Jadi saya pikir saya dapat menemukan beberapa buah-buahan yang biasanya selalu tersedia di lemari penyimpanan. Tapi ternyata saya salah. Sepertinya Nyonya Venderick sudah mengosongkan lemari itu agar saya tidak menghabiskannya dalam waktu sehari." Edward berjalan keluar lalu kembali dengan lilin yang sudah menyala di tangan dan menaruhnya di meja dapur. Pemuda itu memberi kode pada Liz agar gadis itu duduk manis menghadap meja. "Bagaimana dengan Anda, Yang Mulia. Apa Anda juga merasa lapar? Saya mendengar bunyi langkah di belakang saya. Saya yakin itu Anda karena ketika saya melewati ruang kerja Anda masih terlihat samar-samar cahaya dari dalam." "Jadi kau tahu aku berada di belakangmu dan kau pura-pura tidak tahu sehingga mengejutkanku, begitu?" tanya Edward sinis. Tangannya bergerak cepat memotong roti yang disediakan khusus untuk anggota kerajaan menjadi beberapa irisan dan menaruhnya di piring perak milik ratu. Tak lupa Edward menuangkan air ke dalam cawan. Liz tertawa kecil. "Bukan maksud saya membuat Anda terkejut, Yang Mulia. Saya bekerja menyembuhkan orang bukan membuat orang menjadi sakit." Edward menaruh piring dan cawan di hadapan Liz kemudian dirinya sendiri mengambil posisi di hadapan gadis itu. Kedua tangannya besidekap di depan d**a. "Makanlah!" Gadis itu malah menatap Edward tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka membentuk huruf 'o' kecil. "Eh, maaf, Yang Mulia. Pegawai rendahan seperti saya dilarang memakan makanan khusus keluarga kerajaan. Kami sudah mempunyai jatah sendiri. Hanya saya saja yang salah karena tadi malam tidak mengambil jatah saya karena sibuk membaca buku." "Tak usah banyak bicara, Liz. Makanlah. Ini bukan lagi makanan keluarga kerajaan. Aku yang memberikan roti ini. Sekarang makan kemudian lekas kembali ke ruanganmu dan tidurlah dengan nyenyak. Kau menginap di istana malam ini, bukan?" Liz mengangguk. "Ya, ibu saya sedang pergi. Jadi lebih baik saya di sini. Dulu saat ibu pergi saya akan tidur di pondok bersama Rosea." Gadis itu menarik napas dalam. "Dan, Tuan, saya benar-benar tidak bisa memakan makanan ini." "Harus kukatakan berapa kali Liz? Roti ini untukmu." "Tapi, Yang Mulia, saya memang tidak bisa." "Apanya yang tidak bisa?" "Memakan roti ini, saya tidak berhak." "Tentu saja kau berhak. Aku yang memberikan padamu. Sekarang roti ini menjadi jatahmu." "Yang Mulia sungguh—" "Ah, kau keras kepala sekali. Diam dan makanlah atau kupecat kau dari jabatanmu lalu kukembalikan dirimu ke Wiser," ucap Edward frustasi. Liz tampak menimbang. Sorot matanya terlihat bimbang tertimpa cahaya lilin. "Baiklah, Yang Mulia. Jika Anda memaksa. Tapi mohon maafkan saya yang sudah memakan makanan khusus keluarga kerajaan." Edward berdecak. "Iya, iya. Sekarang makanlah. Aku tak ingin melihat pegawaiku sakit karena kurang makan. Bisa rusak reputasiku sebagai raja yang baik, kau tahu?" Liz terkikik. Berusaha mengatupkan mulutnya menahan tawa agar remah-remah roti tak keluar saat dia mengunyah. Ia menghabiskan air di cawannya ketika roti di piring perak habis. Gadis itu menepuk kedua tangannya, membersihkan sisa remahan roti yang masih tertinggal. "Saya bisa dipenjara jika pelayan Mary-Anne tahu," gumam Liz. Edward memandangi Liz yang sedang membersihkan piring perak ratu dan mengembalikannya di rak semula. "Kenapa?" "Pertama," Liz mengacungkan jari telunjuknya. "Saya makan makanan khusus anggota kerajaan. Dan kedua," Jari tengahnya ikut berdiri. "Saya makan dari piring perak ratu. Apa itu tidak keterlaluan Yang Mulia?" "Lebih baik sekarang kau kembali ke ruanganmu dan tidurlah. Kau pasti lelah. Tak baik seorang gadis berkeliaran selarut ini." Edward menggeret Liz keluar dapur dan mematikan lilin. Liz terperanjat. Tangannya digenggam oleh Edward. Ya, tangannya! Matanya menatap genggaman Edward yang terasa hangat di tangannya sementara kakinya dipaksa terus berjalan mengikuti langkah pemuda itu menuju ruangannya di gedung utama. "Apa aku perlu memberimu ucapan selamat tidur, Liz?" tanya Edward. Mereka kini sudah berada di depan pintu ruangan Liz. Koridor terlihat gelap. Hanya sinar bulan yang berhasil menerobos jendela besar di depan ruangan Liz yang menjadi penerangan. Liz mengangguk dalam. "Ya, Yang Mulia. Jika perlu senandungkan pada saya sebuah lagu pengantar tidur." Mulut Edward otomatis terbuka mendengar ucapan Liz. "Apa? Kau serius? Kau seperti anak kecil saja." Liz tertawa cukup keras ketika melihat raut wajah Edward yang terkejut. Secepat kilat dikatupkan mulutnya dengan kedua tangan begitu mendapat sorotan tajam dari Edward. "Tentu saja tidak, Yang Mulia. Anda terlalu serius menanggapi gurauan saya." Edward berdecak, pura-pura marah. "Kalau begitu masuklah." "Baiklah." Liz membuka pintu dan melangkah masuk. Namun langkahnya berhenti dan ia keluar lagi. Edward masih berada di depan ruangannya. Lizzy menekuk lututnya memberi salam penghormatan, "Selamat malam, Yang Mulia. Semoga Anda bermimpi indah dan selalu diberkati." Liz buru-buru masuk kembali keruangannya. Meninggalkan Edward yang masih termangu menatap pintu yang perlahan menutup. Bibirnya tertarik ke samping ketika otaknya memutar kejadian yang baru saja terjadi itu. "Selamat malam juga, Liz," gumamnya. "Dan semoga kau memimpikan aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN