*****************
Adrian membuka pintu mobil, Ziyan langsung masuk dan mereka bergegas pergi dari sana.
"Cari tahu tentang pria itu " ujar Ziyan
"Baik nona."
Lalu setelah mereka sampai di perusahaan. Ziyan keluar, berjalan cepat. Adrian bergegas di belakangnya sambil menelusuri ponselnya.
"Nona, saya sudah mencari tahu tentang Tuan Bastian, seperti permintaan Anda. Tapi sejauh ini, tidak ada aktivitas mencurigakan yang terkait spesifik untuk perusahaan ." jelas Adrian, menyamai langkah Ziyan.
Mereka memasuki lift pribadi menuju lantai eksekutif.
"Bagus. Itu berarti omongan Bastian Huntar tadi siang hanyalah omong kosong."
Adrian mengangguk tegas.
Lift terbuka. Ziyan melangkah langsung menuju meja kerjanya yang terbuat dari marmer gelap.
"Siap, Nona. Saya akan siapkan meeting darurat dengan tim V-Tech sekarang," ujar Adrian.
Ziyan, sambil meletakkan ponselnya di atas mejanya.
"Tunda dulu. Beri aku waktu lima belas menit sendirian. Aku perlu meninjau ulang data kunci sebelum pertemuan."
"Baik, Nona. Saya tunggu di luar," jawab Adrian.
Adrian membungkuk sedikit, lalu mundur, menutup pintu kantor Ziyan yang kedap suara dengan hati-hati.
Ziyan menarik kursi, namun sebelum ia sempat menyentuh keyboard laptopnya, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan masuk.
Dia mengambilnya. Pesan itu datang dari kontak bernama: Arga Dirgantara.
"Mama dan Papa mengundang kita untuk makan malam di restoran Bang Ilmi. Kalau bisa, nanti aku akan menjemputmu."
Ziyan membaca pesan itu dua kali. Undangan makan malam yang tiba-tiba itu memaksa mode CEO-nya bergeser cepat menjadi 'menantu keluarga konglomerat'.
Ziyan segera membalas chat itu, ekspresinya datar.
"Tidak usah. Aku akan pergi sendiri."
Setelah menekan kirim, ia langsung menghubungi Adrian melalui interkom.
"Adrian, masuk. Batalkan meeting V-Tech," perintahnya tanpa basa-basi.
Adrian masuk dengan cepat, raut wajahnya menunjukkan kesiapan.
"Ada perubahan mendadak, Nona?"
Ziyan bangkit, meraih tas tangannya yang diletakkan di sofa. "Ya. Malam ini aku ada acara. Makan malam keluarga. Jadi, semua pekerjaan harus selesai sebelum jam enam. Aku ingin laporan riset Starlight ada di mejaku, dan semua dokumen V-Tech sudah ditandatangani."
"Makan malam… dengan Tuan dan Nyonya Dirgantara?" Adrian memastikan, menahan keterkejutannya.
"Iya," jawab Ziyan singkat.
Adrian membungkuk hormat. "Segera dilaksanakan, Nona. Saya akan mengubah prioritas seluruh tim."
"Hm." Ziyan kembali ke mejanya, fokusnya terbelah antara dokumen bisnis dan malam yang harus dihadapinya.
Tepat pukul lima sore, Ziyan bergegas pulang untuk bersiap. Ia tahu, 'acara keluarga' itu adalah arena lain yang tak kalah sengit dari ruang rapat korporat.
Malam itu, di restoran mewah dengan nuansa etnik yang hangat, dua keluarga konglomerat itu berkumpul. Acara makan malam berlangsung dengan khidmat, diwarnai tawa dan obrolan yang santai. Semua orang tampak bahagia, meskipun kebahagiaan itu, bagi sebagian orang, terasa seperti topeng yang terbuat dari emas murni.
Ferdinan Dirgantara, ayah Arga, tampak berbincang serius dengan kerabat yang duduk di depannya.
Arga sesekali melirik pada Ziyan di sebelahnya. Istrinya itu hanya tersenyum tipis saat merespons percakapan, sebuah ekspresi langka yang membuat Arga merasa sedikit senang. Dalam suasana kumpul keluarga seperti inilah Ziyan akan kembali menunjukkan senyumnya. Meski tipis, namun terasa tulus—walaupun Arga tahu, itu hanyalah topeng untuk menutupi retaknya kondisi rumah tangga mereka yang sesungguhnya.
Tiba-tiba, seorang anak kerabat, Alisya, mulai menangis rewel. Ibunya memilih untuk pamit sejenak untuk menidurkan putrinya.
Lalu tiba-tiba
“Ziyan, apakah… belum ada kabar baik juga?” ujar seorang wanita paruh baya, kakak tertua Ferdinan, bertanya dengan nada yang tidak bisa disembunyikan—sindiran tipis yang menusuk.
Ziyan mengerti betul arah pertanyaan 'tante'-nya itu. Ia menggeleng lemah, menundukkan pandangan.
“Belum, Tante. Sepertinya Tuhan belum mempercayakan hal itu kepada saya dan Mas Arga.”
Respon Ziyan yang merendah justru membuat Tamara, ibu mertuanya, terlihat tidak enak hati.
“Tapi sudah berikhtiar, kan?” sahut Tante yang lain, menusuk lebih dalam.
“Sudah. Kami bahkan rutin untuk check-up ke rumah sakit,” sahut Arga cepat, nadanya sedikit ketus dan penuh pertahanan. “Sabar saja dulu.”
Sontak, suasana di meja itu sedikit tercekat, termasuk Ziyan. Dia tak menyangka suaminya akan menjawab dengan nada seperti itu. Kecanggungan langsung menyelimuti.
“A-ah, sudah. Tidak usah dipikirkan, Nak. Nikmati waktu kalian berdua saja dulu,” ujar Tamara, tertawa canggung.
“Lagipula kalian baru menikah tiga tahun. Firhan dan Irma saja baru mendapatkan Alisya setelah empat tahun menikah, benar bukan?”
Firhan mengangguk setuju. Yang lain, yang tadinya terdiam, ikut tersenyum.
“Benar. Kalian nikmati saja dulu pernikahan kalian. Lagipula kalian juga masih muda,” Ferdinan ikut menambahkan, menenangkan.
“Ya, aku setuju,” timpal kerabat yang lain, sementara Tante yang memulai pembicaraan tadi menampakkan ekspresi sedikit masam.
Di tengah suasana yang kembali mencair, seorang pria muda bernama Dafa, keponakan Arga, tiba-tiba angkat bicara.
“Nikmati saja dulu waktu kalian. Pererat hubungan. Jangan sampai nanti, hanya karena masalah momongan, salah satu di antara kalian malah ada yang berpaling.”
DEG!
Arga terdiam, membeku mendengar penuturan Dafa yang terdengar seperti guntur di telinganya. Ziyan bahkan tidak bersuara, hanya merespons dengan senyum tipis. Arga menatap Dafa, yang tampak tersenyum penuh arti ke arahnya dan Ziyan.
Tidak mungkin keponakannya itu mengetahui 'kebusukannya', kan? Kalau Dafa memang tahu, Arga yakin Papanya pasti sudah menghabisinya sekarang.
“Itu tidak mungkin, Dafa. Lihatlah, mereka terlihat harmonis. Aku juga tahu bahwa Arga dan Ziyan saling mencintai, benar kan, Nak?” Tamara merangkul Ziyan dengan senyum ceria, berusaha menepis keraguan.
Namun, perkataan Tamara itu justru membuat Arga semakin tertohok. Ia merasa kian terpojok oleh kebohongannya sendiri.
Ziyan tersenyum miring, senyum yang mencapai matanya dan terasa begitu dingin. “Ya, benar Ma…” Jawabnya, lalu melirik sekilas pada Arga. “...kami... saling mencintai.”
Ziyan tersenyum semakin lebar, senyum itu terasa seperti ejekan yang menusuk Arga tanpa suara.
Arga tersentak sesaat, lalu menarik senyum. “Ya, itu benar. Dan kami juga akan berusaha lebih keras lagi agar segera mendapatkan momongan,” jawabnya penuh percaya diri.
Dalam hati, Ziyan tertawa geli. Ah~ Arga memang aktor yang hebat, bukan?
“Nah, kau lihat sendiri kan, Dafa?” Tamara tersenyum jumawa, merasa bangga karena menang debat.
“Aku hanya memberi saran, Tante,” jawab Dafa santai, sembari meminum tehnya, tampak tak acuh.
Arga memperhatikan Dafa yang sudah kembali bersikap biasa. Namun, naluri memperingatkannya: dia harus mulai waspada terhadap keponakannya yang satu ini.
BERSAMBUNG...