Bela membuka gerbang kost-kostannya. Motor scoopy warna creame sudah bertengger didepan kamar Asti. Si pemilik motor keluar sudah dengan seragam kerjanya. Tersenyum saat melihat Bella berdiri didepan kamar.
“Baru pulang, Bel? Lembur lagi?” Sapanya, lalu memakai helm.
Bella manyun. “Iya, capek juga kalo lembur tiap hari.” Menjatuhkan p****t dikursi depan kamar kostnya.
“Nikmati aja. Cari kerjaan itu susah. Syukuri yang ada.” Mulai menyalakan mesin motor. “Aku berangkat, ya. Jangan lupa kunci gerbangnya. Mbak Yeni belum balik, Dina baru aja berangkat kerja. Kamu jaga kost sendirian.” Tanpa nunggu jawaban Bella, Asti segera menjalankan motor keluar dari gerbang.
Huftt ....
Bella membuang nafas panjang. Merebahkan punggung ke sandaran kursi yang terbuat dari bambu. Merogoh ponselnya yang ada didalam tas. Mencet tombol on disisi ponsel, terlihat walpaper gambar rumahnya. ‘Pondok Pesantren Darusaalam’.
Merem, menahan kepedihan. Sudah sebulan ia putus sama Bian. Cowok yang menjadi cinta pertamanya itu mengkhianati. Lama termenung, hingga samar terdengar suara adzan magrib. Bella beranjak, mengunci pintu gerbang dan kembali keteras. Mencari kunci kamarnya dan segera masuk.
**
Moge hijau itu berhenti disebuah caffe yang dijadikan tongkrongan anak-anak remaja. Lebih tepatnya disulap menjadi bascame anak NAE’s. Singakatan dari Noah, Alan dan Erza. Masih ada anak yang lainnya juga sih, tapi Noah, Alan dan Erza yang paling terpandang.
“Cia, cia, si ocelot! Dari mana?” sapa Erza saat melihat Alan baru aja datang.
“Ocelot kuping lo buntet!” sembur Alan. Mematikan mesin motor, nyopot helm dan berjalan, duduk gabung sama teman-teman yang lainnya. Tanpa aba-aba, Alan nyerobot gelas yang ada didepan Noah, meneguknya.
“Si Anjing! Main nyosor aja lo!” Noah yang sedari tadi fokus sama hape akhirnya nonyor kepala Alan.
Yang ditonyor nyengir tanpa dosa. “Pak! Kopi mocanya satu lagi, ya!” teriaknya, memesan minum untuk mengganti milik Noah.
“Azu jadi pindah ke Jogja ya, No?” tanya Erza, mengeluarkan sebungkus rokok. Ngambil sebatang dan mengulurkan ke Alan.
Alan menerimanya, ngambil sebatang juga. Lalu narik batang rokok dari mulut Pasha. Menyalakan rokoknya dengan rokok Pasha yang udah nyala. Detik kemudian, kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya.
“Jadi.” Jawab Noah singkat.
“Waah, LDR an dong elo nya!” sahut Alan.
Noah tersenyum miring. “Menghindari maksiat.”
Pasha nonyor kepala Noah. “Halah! Gayaan! Dah pernah lo unyel-unyel kan si Azu?”
“Toa lo gue sumpel pakai sempak ya!” Noah gantian ninju bahu Pasha.
“Dih, kejamnya A’a Noah.” Timpal Erza.
Pak Budi ngantar segelas kopi ke meja. “Silahkan kopi mocanya, den.”
“Iya, makasih ya, pak.” Erza yang jawab.
“Bangsul! Tujuh puluh jeti, kuy!” Yohan yang sedari tadi hanya diam dengan game new ride nya heboh.
“Sambet bh mak kunti lo?” sembur Alan.
Yang lain tertawa kecil menatap wajah Yohan yang lucu, melotot saking terkejutnya.
“Lah! Si ocelot ngebacot!” nimpuk bahu Alan. Menunjukkan ponselnya, sebuah chat dari geng Paten yang menantang Noah main balap dengan uang tujuh puluh juta.
“Siap nggak, No?” Erza mastiin.
“Kuy lah!” Noah nyimpan ponsel disaku celana. Segera meminum kopi moca hingga tandas. Nyelipin uang berwarna merah dan pamitan sama Pak Budi.
**
“One ... two ... let go!”
Whuuusss!
Dengan cepat motor KLX yang Noah bawa ninggalin jalur star.
“Noah! Noah! By one! By one!”
Teriakan para penggemar Noah memenuhi area balap liar. Alan dan Erza hanya tersenyum miring menatap sahabatnya si raja jalanan berada didepan Edwin. Si ketua geng Paten.
Cukup dengan waktu lima menit, Noah sudah berada dijalur finis. Noah melepaskan helm, lalu tersenyum penuh kemenangan, tos dengan Alan dan yang lainnya.
“Bangsad!” Edwin memukul helm. Ngambil amplop coklat yang dibawa oleh rekannya. Lalu melempar kearah Erza.
“Uugghh ... Tebal banget, brew.” Memamerkan amplop yang baru aja ia dapat.
“Memang hebat lo, No! Nggak perlu diragukan lagi!” Alan meninju bahu Noah.
Noah tak menjawab. Hanya tersenyum sombong penuh kepedean. Tetiba terdengar sirene polisi, semua yang ada diarea langsung tancap gas. Kabur nyari aman.
**
Menuntun motor pelan, masuk kehalaman rumah. Sekarang sudah jam sebelas malam, rumah sudah gelap karna penghuninya pun sudah bobok.
Alan memasukkan motor ke garasi, berjalan mengendap masuk melalui pintu samping.
“Nah kan, baru pulang!” Yana bersedekap disamping pintu kamar Alan. Menatap wajah anak bungsunya dengan tajam. “Kapan berhenti ngeluyur?”
Alan nyengenges. “Enggak ngeluyur kok, Bund.” Mengela, walau tau Bundanya nggak akan pernah percaya alasan yang ia buat.
“Bunda bakalan jual motor kamu kalo kamu masih aja keluyuran.”
Alan duduk dimeja makan. “Jan kek ibu tiri dong, Bund. Alan atut.” Manyun, mengedip-ngedipkan mata. Membuat Yana tersenyum kecil.
‘Kai, liat anakmu. Kalo kek gitu, mirip banget sama kamu. Selalu membuatku mengingatmu setiap saat.’ Batin Yana.
“Laper, Bund.” Rengek Alan, nyomot roti kukus yang tadi pagi Yana buat.
Tanpa menjawab, Yana mengambilkan sepiring makanan untuk Alan, lalu menaruh dimeja depan anaknya.
“Kamu dari mana?”
Memasukkan sesendok makanan ke mulut. “Biasa, Bund, ngapelin calon mantunya Bunda.” Nyengir dengan mulut penuh.
Yana sedikit terkejut. “Kamu udah punya pacar?”
“Calon, Bund. Doain cepat pacaran dan halal ya.”
Yana tersenyum menanggapi ucapan putrannya. “Jangan pernah sakiti hati wanita. Bunda nggak batasi pergaulan kamu, asal kamu bisa jaga diri. Da—“
“Iya, bunda sayang. Ini udah malam banget, mending Bunda istirahat deh. Nanti aku beresi mejanya.”
Yana menghela nafas. “Yaudah, Bunda mau tidur.”
Setelah selesai makan, Alan mencuci piring kotor. Bukan hanya bekasnya tadi, tapi sekalian semua yang tertumpuk diwastafle.
**
Usai sarapan, Alan segera menaiki motor meninggalkan rumah. Sedangkan Rayna berangkat kuliah dengan naik ojol. Bukan karna tak peduli, tapi Alan kapok dijawili teman kuliah Rayna yang gemes lihat wajah imutnya.
Seperti biasa, Alan berhenti dipertigaan lampu merah. Detik kemudian, seorang wanita dengan jilbab warna hitam berhenti tepat disamping motor Alan.
Bibir Alan langsung melengkung keatas, menciptakan sebuah senyuman manis. Membuka kaca helm. “Tante Bella.” Sapanya.
Bella menoleh, kelihatan sangat terkejut. Nggak nanggapi Alan yang tersenyum sambil melambaikan tangan. Memilih kembali menatap lurus kedepan.
“Tante, kok kita ketemu lagi, ya? Tante kintilin gue?”
Bella memutar bola mata, males. Menatap arloji ditangan kiri. Lalu angka yang berwarna merah diatasnya.
“Tante, nanti pulang kerja gue jemput ya.” Tawarnya. Bella tetap diam nggak nanggapi. Alan sedikit memiringkan tubuh hingga mendekat ke Bella. “Tante, kancing kemejanya kelupaan satu.”
Mendengar ucapan Alan, Bella langsung menunduk. Menatap kemeja warna putih yang ia kenakan. Sial! Memang kancing kemeja yang dibagian d**a terbuka.
Alan nyopot jaketnya, nyerahin ke Bella. “Nih, pakai jaket gue.”
Tin! Tin! Tin!
Bunyi klakson dari belakang bersahutan. Ternyata lampu sudah berubah warna menjadi hijau. Alan menutup kaca helm dan segera menjalankan motor. Bella pun terpaksa memakai jaket Alan dan menjalankan motornya.