Chapter 5 - Dapur Umum

1824 Kata
Agam berbaring di samping Sivia, dia mengusap pipi anaknya lembut. Dia tidak percaya di usianya yang sudah menginjak umur tiga puluh baru bisa memiliki seorang anak lucu. Ibu Sivia pergi meninggalkannya karena bosan selalu ditinggal ketika dia bekerja. Sivia juga diserahkan kepadanya karena mantan istrinya itu ingin kembali hidup bebas. Itu terjadi ketika Sivia baru saja menginjak usia tiga bulan, mereka berpisah baik-baik walaupun Agam sedikit tidak rela karena perjuangan pernikahan mereka tidak mudah, tetapi mantan istrinya itu tetap ingin mereka bercerai. “Ini semua salah ayah, Nak. Kamu nggak bisa dapat kasih sayang ibu.” Ucap Agam dengan suara berat. Dia sudah merelakan perpisahan mereka dulu, Agam sudah tidak memeiliki perasaan apa-apa lagi. Baginya itu semua masa lalu dan dia sudah membuka lembaran hidup baru ketika mendengar ketukan palu ketika persidangan saat mereka sah bercerai. Agam tidak dendam kepada mantan istrinya, dia lega bisa melepaskannya dan tidak terjebak hidup dalam kesepian karena bersamanya yang selalu pergi. Sivia adalah buah hati mereka, tetapi dia tidak bisa menitipkan Savia kepadanya karena mantan istrinya itu pergi keluar negeri. … Agam membuatkan sarapan untuk anaknya ketika ponselnya berbunyi. Ternyata salah satu rekannya menghubungi untuk makan-makan sebagai perayaan berhasilnya tugas mereka. Tentu saja dia akan menolak, Agam tidak ingin mmenghabiskan waktu nya yang berharga demi teman yang hampir sebulan penuh selalu bersamanya. Satu minggu ini khusus untuk dia dan anaknya. “Aku harus bersama anakku, kalian saja yang datang.” Ucap Agam sembari bersandar di meja. Lima belas menit kemudian panggilan itu terputus. Agam melihat layar ponselnya yang perlahan redup. “Ini pilihan yang bagus.” Agam memasak untuk dirinya sendiri setelah memandikan Savia, dia menonton tv sembari mengayun Savia di ruang tengah. Berita masih seputar virus yang semakin meluas di Ibu Kota. “Wah, kalau begini sih memang tidak bisa berhenti penularannya.” Gumam Agam mengomentari. Stasiun tv swasta sedang memberitakan tentang banyaknya masyarakat yang tidak memakai masker ketika keluar rumah. Tidak banyak yang mematuhi karena virus itu baru saja memasuki Indonesia dua bulan yang lalu. Padahal di negara lain sudah menelan banyak sekali korban. Tetapi, tetap terlambat. Indonesia masih menganggap remeh virus itu sebagai virus biasa sampai persiapan hampir tidak ada. Sekarang korban berjatuhan dan banyak yang terinfeksi dari berbagai jenis usia. “Padahal mau ngajak kamu, Nak keluar jalan-jalan kalau ayah pulang. Tapi kayaknya tidak bisa.” Gumam Agam sembari menatap anaknya yang tertidur pulas. Agam memutuskan untuk ikut tidur, dia bosan di rumah. Semua pekerjaan sudah dia lakukan sejak pagi hari. … Serena hari ini meliburkan dirinya. Kompleks rumahnya di jaga ketat dan tidak ada orang yang bisa masuk atau keluar, kejadian kemarin menjadi momok ketakutan bagi tetangga rumahnya dan tidak ada yang berani keluar rumah. Jika ada pun pasti kepepet ingin membeli barang dan langsung pulang dengan cepat. Serena merana harus di rumah, beruntung dia bisa membantu ayahnya membersihkan dan memanen hasil kebun kecil-kecilan yang ada di halaman belakang rumah. “Nak, jangan jadikan beban kalau kamu belum dapat pekerjaan. Ibu sama Bapak nggak paksa kamu bekerja. Lagipula, keadaan seperti sekarang memang seharusnya kita di rumah.” Serena menatap ibunya, dia menatap kedua mata sendu yang sudah di makan usia. “Iya, Ma.” “Iya, tapi pasti kamu masih mau cari kerja kan kalau jalannya sudah dibuka besok lusa?” tanya Fatimah. Serena tertawa, “Pasti bunda. Serena sudah terbiasa selalu bekerja, jadi libur seperti ini rasanya sangat bosan.” “Kamu kan bisa membantu kami disini, lagian Mama juga kangen sama kamu.” “Ma! Biarin anaknya, itu sudah jadi keputusannya. Kita sebagai orangtua cuma bisa mendukung. Yang dikerjain sama Rena kan juga buat bantu-bantu kita.” Ibunya terdiam ketika di tegur ayahnya, Serena hanya bisa berbalik kea rah lain sembari memanen cabai yang sudah berwarna merah. Ayahnya selalu datang tepat waktu, dia selalu membelanya dan tidak pernah gagal. “Kamu itu, loh Pak. Ngebelain Serena terus, kan kangen dia disini lama-lama.” “Iya, tapi kasian dia. Uring-uringan gitu, nggak ada kerjaan.” Kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah, ayahnya sedang berusaha membujuk ibunya agar melepaskan dia mencari pekerjaan lagi. Serena menyelesaikan pekerjaan mereka yang tertuda, dia di kebun selama beberapa jam sampai matahari tepat berada di atas kepala. Dia sendiri yang mencuci dan memasukkannya ke dalam kulkas. Ternyata kedua orang tuanya berada di ruang keluarga dan tertidur pulas di sana. Mereka terlihat sangat letih. Serena berjalan ke kamarnya lalu mengambil ponsel, dia menghubungi kakaknya. “Kak, Fina! Kangen!” Wajah kakak perempuannya itu langsung terlihat di layar ponsel ketika panggilan mereka terhubung. “Kakak juga kangen, bagaimana keadaan bapak sama ibu dirumah?” tanya kakaknya. Serena sekilas melihat mereka melalui celah pintu yang terbuka. “Mereka baik-baik saja Kak. Sekarang sedang kelelahan karena panen di kebun.” “Suruh mereka jangan terlalu banyak bergerak, Ren. Oh, iya. Kakak sepertinya tidak bisa pulang.” Serena melihat wajah sedih kakaknya, dia memang tahu bagaimana keadaan sekarang. “Tapi, kenapa kak? Kan bandara belum di tutup? Baru rencana?” “Kalau kakak pulang, kayaknya harus resign. Kemarin ada teman kakak yang pulang kampung. Tapi, dari HRD langsung di putus kontraknya karena mau pengurangan karyawan.” Jawab Fina. “Yah, sayang banget kak. Sepertinya memang jangan dulu.” Jawab Serena berusaha menghibur kakaknya. Fina mengangguk, dia sedang bersandar di tempat tidur. Serena melihat kamar itu dan sudah menghafal prabotan di dalamnya. Rumah kontrakan yang disewa kakaknya untuk bekerja di Kalimantan. Di sana, dia mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus dan selama setahun ini belum pernah pulang bahkan untuk lebaran bersama. Serena asyik berbicara dengan kakaknya sampai dia ketiduran. Entah bagaimana panggilan itu berakhir, dia tidak ingat. Serena bangun dengan terkejut karena terdengar suara ketukan pintu. Serena mengerjabkan matanya, samar-samar dia melihat ibunya ada di depan tempat tidur. “Serena? Nak?” Serena meluruskan persendiannya, “Iya, Ma?” “Bangun, ada pak RT mau ketemu kamu.” ucap ibunya. Serena langsung loncat dari tempat tidur, dia terduduk di pinggir dan menatap ibunya dengan tatapan bingung. “Eh, kenapa Ma? Serena nggak sakit, nggak flu juga.” “Duh, bukan itu Nak. Kamu cuci muka dulu ya baru kedepan.” Ucap ibunya lalu meninggalkan kamar. Serena masih bingung, tetapi dia tetap membasuh wajah lalu berganti pakaian yang pantas dan keluar. Di teras ternayata ada ayah, ibu serta Pak RT yang sedang menunggunya. “Nah, itu Serena datang. Sini, Nak.” Dia duduk, mengamati pembicaraan. Setelah beberapa meit akhirnya dia sadar kenapa di panggil kesini. Ternyata Pak RT ingin meminta bantuan untuk memasakkan beberapa petugas keamanan yang berjaga di depan perbatasan wilayah mereka. “Boleh, Pak. Saya pasti mau, itung-itung ada kegiatan di rumah. Tapi, berapa lama akses kita akan ditutup?” tanyanya. Pak RT menghela napas panjang, masker putih yang dia kenakan cukup lama mengembang lalu kembali mengempis. “Mungkin sekitar satu atau dua minggu.” “Wah, cukup lama juga Pak. Terus bagaimana kita bisa mendapatkan makanan segar? Seperti sayur dan ikan?” tanyanya langsung. “Mungkin akan dilonggarkan, nanti malam saya rencananya akan membicarakan dengan polisi yang bertugas. Semoga saja mereka bisa meloloskan penjual yang masuk.” Jawab Pak RT. Serena mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, pengamanannya mungkin lebih ketat tapi itu lebih baik dari pada mereka tidak mendapatkan makanan segar. Persediaan kebunnya juga hanya akan bertahan selama beberapa hari.   … Keesokan harinya, dia sudah bersiap di dapur umum, ternyata banyak ibu-ibu yang bergabung dengannya. Mereka membantunya memasak akrena dia yang memilih menu dan memasakkan untuk mereka. Kebetulan dananya di ambil dari desa jadi makanan berlimpah ruah dan cukup untuk di makan banyak orang. Serena membagi-bagikannya dengan cukup kepada semua orang, dia juga tidak memasak lebih karena takut akan tersisa. “Makanan kamu enak ya, Ren.” Puji salah seorang ibu-ibu. Wanita paruh baya itu langsung di tegur oleh ibu yang lain, “Ya jelas, dia kan koki terkenal. Kalau nggak lagi pandemi begini mungkin masih kerja di Jakarta.” “Iya juga, tapi asyik juga dia pulang. Bisa masakin kita yang enak-enak.” Serena tertawa, “Ah, masakanku hanya seperti ini. Nggak bisa dibandingkan dengan seorang ibu yang sudah memasak puluhan tahun.” “Pujian kamu berlebihan, Nak. Lihat saja, semua orang suka dengan masakan kamu. Rasanya pas dilidah bahkan untuk ibu yang suka makanan hambar, padahal tadi ibu lihat kamu tuang banyak garam.” “Hari ini takarannya lagi pas, besok-besok mungkin bisa keasinan.” Candaan Serena itu membuat semua orang tertawa. Setengah jam kemudian, dapur umum itu sepi. Hanya terlihat anak-anak kecil yang bermain di sekitarnya sebelum membubarkan diri karena disuruh pulang. Saat dia sedang bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba Pak RT menghampirinya. “Nak, bisa hidangkan satu porsi nasi dengan lauknya. Ada kapten datang untuk mengecek, nggak enak kalau nggak dikasih makan.” “Oh, iya pak. Mau makan dimana?” Pak RT itu melihat sekitar, tetapi sebelum dia menjawab. Dua orang berseragam polisi sertas satu orang memakai baju kaos menghampiri mereka. “Saya makan disini saja, Pak. Jangan repot-repot.” Ucap seorang pria tegap dengan kaos hitam. Serena hanya melihatnya sekilas sebelum mengambilkan makanan. Ketika dia kembali dengan membawa makanan, pria itu tidak ada jadi Serena hanya meletakkannya di atas meja lalu pergi beristirahat. Ada ibu RT yang datang dan membuatkan minuman hangat untuk mereka. Serena pulang ke rumah, dia langsung mengganti baju dan membersihkan diri. “Nak, ingat. Maskernya langsung dibuang.” “Iya, Ma.” Seharian ini, dia beraktifitas menggunakan masker. Sangat pengap apalagi ketika memasak, tubuhnya bertambah gerah apalagi ketika menyajikan makanan. Serena harus menahannya karena cukup banayk orang di sana. Walaupun mereka semua bertetangga, tetap harus di wajibkan memakai masker. Serena menggunting masker menjadi dua, lalu memasukkannya ke dalam tempat sampah setelah itu masuk membersihkan diri. Ketika dia ingin beristirahat, ponselnya berbunyi. Itu panggilan yang dia tunggu-tunggu, tetapi kabar yang dia terima membuatnya lesu. Lagi-lagi dia ditolak dengan alasan tempat tinggalnya jauh. Padahal dia sudah mengisi memiliki kendaraan aman untuk bepergian. Itu alasan sangat tidak logis untuk menolaknya, mereka pasti sudah memiliki calon yang akan diterima. … Agam terkejut ketika makan suapan pertama, hari ini dia mengecek anggotanya yang sedang bertugas di daerah yang beada di sebuah desa. Ternyata mereka hanya di suruh berjaga agar tidak ada masyarakat yang keluar. Hari ini ternyata keberuntungannya, dia belum makan siang karena sempat pergi ke kantor. Komandangannya meminta laporan, jadi mau tidak mau dia harus pergi ke kantor dan menyerahkan laporan lengkap tugasnya. Selain itu, dia juga berkunjung ke penjara, tempat dimana orang yang dia tangkap di tahan. Keadaannya sudah lebih baik dan tinggal seorang diri tanpa di gabungkan dengan yang lain karna kasusnya masih di proses. “Bagaimana, Nak? Ini dimasak khusus oleh salah satu gadis disini. Dia koki terkenal di ibu kota.” Agam tersenyum lalu mengangguk, “Enak, Pak.” “Alhamdulillah, sayang dia sudah pulang sepertinya. Andai belum, mungkin akan saya kenalkan.” Dia langsung tertawa, ternyata tujuannya itu. Pantas saja sejak tadi tidak berhenti mengajaknya makan siang disini. Agam tersenyum sembari membalas bercandaaannya. Dia  merasa senang disini, kekeluargaannya terasa begitu kental. Tidak sama seperti orang kota yang sudah tidak peduli satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN