Episode 3 : Kejadian Aneh

1850 Kata
“Seorang wanita tidak bisa menjadi Ratu, jika di tubuhnya ada bekas luka. Memangnya, kamu tidak mau menjadi ratu?” Episode 3 : Kejadian Aneh *** “Kalau memang di kehidupan sebelumnya ada orang yang benar-benar peduli bahkan tulus mencintaiku, aku mau kembali ke masa itu dan melupakan perasaanku kepada Kak Shean.” Suara itu terus menggema, menguasai kehidupan Shelena. Shelena tahu itu suaranya, tetapi ia tidak tahu maksud suara itu menguasai kehidupannya. Namun, sayup-sayup Shelena mendengar derap langkah kaki kuda berikut suara hewan yang identik dengan simbol kekuatan, kecepatan, juga ketangkasan, turut menggelegar. Sedikit demi sedikit, kesadaran mulai Shelena dapatkan. Namun ketika kedua matanya baru saja setengah terbuka, ia dikejutkan oleh suara bising menyerupai bunyi pedang yang beradu, lengkap dengan percikan cairan warna merah yang mendarat di wajahnya. Seketika itu juga nyawa Shelena langsung terkumpul, saking terkejutnya. Gadis itu mendapati dirinya menumpangi sebuah delman yang tengah melaju kencang tanpa kusir, sedangkan di belakang sana ada pertarungan hebat dan memang sampai menggunakan pedang. Kejadian kini mengingatkan Shelena pada adegan drama peperangan di kerajaan-kerajaan kuno yang sering ia tonton. Shelena dibuat tak mengerti, kebingungan dengan pemandangan yang terjadi. Tak hanya penampilan aneh orang-orang yang berperang dan hanya mengenakan celana selutut berwarna cokelat muda, sedangkan tubuh mereka yang kekar dibiarkan tak terlilit kain barang sehelai benang pun. Dan untuk kepala mereka mengenakan ikat kepala, kecuali salah seorang pria bertubuh paling kekar yang dikepung oleh banyak orang di sana. Pria yang jaraknya paling dekat dengan Shelena, sekitar lima meter itu menutupi kepala berikut sebagian wajahnya menyerupai seorang ninja. Tiba-tiba saja dunia Shelena seolah berputar melambat. Suasana asri sekitar berhasil membiusnya. Ia yang terbiasa hidup terkurung dibuat takjub, hanyut mengamati. “Ini, aku di mana? Ini sangat asing. Sepetak jalan tanah menyerupai jalan di pedesaan yang jauh dari kemajuan infrastruktur, sementara sekitarnya perbukitan? Ini seperti kawasan dataran pegunungan? Selain itu, udara di sini juga tetap segar walau di sekitar jalan tergolong gersang. Suasana yang teramat jauh dari kemajuan teknologi. Tak ada tanda-tanda bangunan kokoh apalagi gedung pencakar langit, juga menara-menara yang biasanya menjadi penyalur gelombang komunikasi. Wilayah di sini sangat jauh dari kata maju. Aku benar-benar seperti bermimpi bisa berada di tempat seperti ini ...?” batinnya. Meski sempat merasa sangat terkesan dengan alam bebas yang selama ini sangat ia dambakan, tetapi Shelena langsung kalang kabut ketika menyadari delman yang membawanya, tak hanya tak berkusir, karena di depan sana selaku tujuan mereka merupakan jurang! Celaka, apa yang harus ia lakukan?“Ya Tuhan ... Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kak Shean, Kak Shean tolong aku! Siapa pun, aku mohon tolong aku!” uring Shelena menangis kebingungan. Shelena menatap pertarungan sengit di belakangnya. Ia bahkan tidak tahu mana yang baik, serta mana yang justru berbahaya untuknya. Jadi, demi berada dalam posisi yang aman, Shelena mengerahkan pikirannya untuk berpikir. Dan sepertinya, kabur merupakan pilihan terbaik. Ia harus mencari bantuan, mencari kendaraan yang bisa mengantarnya pulang! “Aku harus lompat! Nggak ada lima meter lagi delman ini masuk jurang!” Shelena tak hentinya meracau. Ketika Shelena lompat, pria yang kepala dan sebagian wajahnya tertutup kain sutra berwarna merah, menoleh ke arahnya dan langsung menangkap Shelena. “Yaaah, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!” rengek Shelena makin ketakutan. “Jangan asal menyentuhku! Kamu akan dalam masalah besar, kalau kamu macam-macam!” “Hiiiah!” Namun si pria tetap memacu kudanya sesaat setelah sampai membuat delman yang nyaris masuk jurang, menjadi menghadap ke samping. Keadaan tersebut menghalangi langkah beberapa orang yang jumlahnya tinggal sekitar dua puluh orang, dan tadi sempat menyerangnya. “Deru napas dengan jarak sedekat ini. Keadaan seperti ini, mana boleh terjadi! Kami sangat dekat bahkan aku duduk dalam dekapannya? Tu-tunggu!” Shelena menoleh, mencoba memastikan wajah si pria yang sudah mandi keringat bahkan darah. Sayangnya, dengan keadaan pria tersebut yang sampai menutupi wajah menggunakan kain, ia hanya bisa melihat matanya yang tajam.  “Bola mata berwarna cokelatnya, benar-benar asing. Apa jangan-jangan, pria ini Dharen?! Ta-tapi, bukankah Dharen tua bangka yang hobi mengoleksi daun muda?! Ah, tidak-tidak! Aku bahkan tidak tahu, Dharen itu siapa dan seperti apa?!” Shelena masih berbicara dalam hatinya. Shelena terus dilanda kecemasan, terlebih pria berkuda yang membawanya, terus memacu kuda dengan sangat cepat. Semakin jauh, mereka melewati jalan setapak yang kian sempit tak lebih dari setengah meter, sedangkan di sekeliling mereka dihiasi pepohonan besar nan lebat, dan sepertinya mereka tengah melintasi hutan. “Sebenarnya kamu mau membawaku ke mana? Apakah kamu mau mengantarku pulang? Aku mohon, jangan jahat padaku.” Shelena memberanikan diri. Ia sampai menoleh dan menengadah demi menatap si pria, dan tak lama berselang pandangan mereka bertemu. Mata cokelat yang sempat tajam itu menjadi jauh lebih tenang. Bahkan Shelena merasa ada sedikit kehangatan dari sana. Pun meski tak lama setelah itu, mata cokelat itu kembali menajam seiring dengan si pria yang tiba-tiba mendekapnya lebih erat, di mana si pria juga sampai nyaris merebahkan tubuh. Tunggu dulu, tadi Shelena seperti mendengar suara sayatan dan tiga buah belati juga tertancap pada pepohonan besar di seberang yang baru mereka lewati. Kemudian, ia mencium bau anyir bersamaan dengan lengan tangannya yang terasa basah. Ketika ia memastikan, ternyata itu darah tetapi ia tidak merasa sakit. Di mana, kenyataan itu terjadi lantaran si prialah yang terluka. Pria yang bahkan tidak ia kenal itu menyelamatkannya? Hati Shelena menjadi terbesit. Sungguh tidak bisa ia percaya, ada yang tulus menyelamatkannya? Shelena segera membekap sebelah punggung tangan si pria yang terluka. “Aku mohon berhenti, kamu terluka dan harus segera diobati. Tadi, belati-belati tadi yang menyebabkan ini, kan?” tanya Shelena dengan nada suara yang jauh lebih lembut. Bagaimana tidak, pria di hadapannya begitu melindunginya dan Shelena merasa berkewajiban untuk membalasnya. Namun, bukannya membalas, pria itu justru menatapnya tajam kemudian menutupkan sebagian kain penutup wajahnya pada wajah Shelena. “Ini ada apa lagi?!” rengek Shelena ketakutan. “Apakah di depan sana ada perang besar lagi bahkan lebih besar dari sebelumnya? Sebenarnya, dia tersesat di mana? Bukankan Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945?” pikir Shelena. “Matahari di depan akan membuatmu kesilauan kalau tidak pakai penghalang,” ucap si pria. Mendengar itu, Shelena yang selama ini merasa menjadi orang paling terkekang di muka bumi, menjadi penasaran bagaimana silaunya matahari di alam bebas keberadaannya, setelah ia juga sempat merasakan indahnya suasana asri yang bahkan berkabut berudara dingin, ketika berada di tengah jalan setapak berikut rerimbun pepohonan.  Benar saja, warna jingga yang kental di antara kilau yang teramat tajam, menyambut sekaligus memanjakan pandangan Shelena tatkala mereka keluar dari rerimbun hutan. “Ini sangat indah ...,” lirih Shelena terperangah.  Jalan di depan mereka menikung dan itu membuatnya sampai menoleh untuk tetap bisa menikmati matahari tenggelam yang selama ini hanya bisa ia lihat sebatas gambar dan video. Melihat matahari tenggelam, di mana senja bertemu dengan matahari setelah penantian panjang, merupakan salah satu momen yang menjadi bagian dari mimpi Shelena. Jadi, ketika pria yang membawanya sampai menghentikan perjalanan mereka dan kemudian menurunkannya, Shelena segera berlari bak bocah yang begitu kegirangan. “Ini sangat indah ...,” seru Shelena sembari berlari ke sana ke mari sambil membentangkan tangannya. “Sunset ... indah sekali ....” Si pria menatap aneh apa yang Shelena lakukan. Ia mengamati penampilan wanita bertubuh semampai yang mengenakan sepatu flat, gaun selutut berlengan panjang motif brokat, dan baginya itu sangat aneh, meski kecantikan Shelena diam-diam sudah mencuri hatinya. Kulit wanita itu yang begitu putih, mata besar berwarna hitam lengkap dengan bulu mata yang begitu lentik. Pun dengan alis tebal wanita berhidung mancung itu. Mengenai fisik, di matanya Shelena sempurna. Dan ketika gadis yang sampai mengendong ransel menghampirinya, ia pun bertanya, “kenapa penampilanmu sangat aneh? Barang-barang yang kamu pakai juga aneh? Kamu aneh ....” Shelena bergeming. “Pria ini? Sebenarnya ini di zaman apa? Kenapa dia menganggap aku aneh? Bukankah dia yang aneh? Bahkan dia sampai harus mengenakan penutup wajah dan hanya mengenakan celana seperti orang dulu dari Negara Bagian Timur Tengah saja!” batinnya. “Yang aneh itu kamu ... memangnya kamu nggak takut masuk angin, nggak pakai baju begitu? Apa jangan-jangan, kamu ini tipe pria yang suka tebar pesona termasuk pamer roti sobek?” Si Pria mengernyit, “roti sobek? Apa itu ... apakah itu merupakan daerah jajahan? Atau kerajaan baru yang belum banyak diketahui?” Shelena bergidik. Melihat penampilan pria di hadapannya yang memiliki tubuh begitu atletis, juga ketangkasan pria itu memacu kuda bahkan berperang, masa ia istilah semacam roti sobek saja tidak tahu? Apalagi, bila melihat usia si pria yang Shelena yakini seumur Shean. Namun, bila mempertimbangkan suasana alam bebas sekarang, Shelena jadi ragu. Jangan-jangan, ... dirinya tersesat di daerah yang salah? Namun bila memang iya, kenapa pria di hadapannya juga masih menggunakan bahasa Indonesia? “Lupakan saja,” sanggah si pria sambil menepis keberadaan Shelena, lantaran wanita tersebut justru terlihat kebingungan.  Pria itu memilih mengamati matahari tenggelam. “Kalau boleh tahu, sebenarnya ini di mana?” tanya Shelena sambil menyisir suasana sekitar melalui pandangannya. Bukannya menjawab, si pria justru menyeringai, menertawakan Shelena. Kemudian ia duduk di tepi jalan setapak menghadap terbenamnya matahari. Kaki kirinya terselonjor, sedangkan kaki kanannya sengaja ia tekuk menjadi penopang tangan kanan yang tergores. Shelena yang sempat kesal menjadi bergegas jongkok dan menurunkan ranselnya, kemudian mengeluarkan kotak P3K dari sana. “A-apa lagi, itu? Itu benda apa, dan apa yang akan kamu lakukan kepadaku?” tanya si pria cemas. Apalagi ketika Shelena juga sampai membuka benda-benda yang sekali lagi sangat aneh sekaligus asing baginya. Shelena mengeluarkan alkohol, kapas, obat merah juga plester berikut perban. Ia mengobati pria asing yang belum ia ketahu asal usul walau sekadar nama. “Baik, lah. Mungkin kita memang berasal dari dimensi lain. Tapi percayalah kepadaku karena aku bukan orang jahat,” ucap Shelena sambil mulai mengobati luka gores di punggung tangan kanan si pria. “Tahan, ya ... aku akan membersihkan lukamu menggunakan kapas dan alkohol, jadi ini akan terasa sedikit perih ....” “Luka ini terjadi karena kamu menyelamatkanku. Jadi, sebagai balasannya, aku akan merawat dan mengobatinya sampai lukanya sembuh,” ucap Shelena sambil menatap saksama luka gores terbilang dalam itu sambil meniupinya ketika ia menempelkan kapas yang ia bubuhi alkohol. “Seorang wanita tidak bisa menjadi Ratu, jika di tubuhnya ada bekas luka. Memangnya, kamu tidak mau menjadi ratu?” “Ra-ratu?” Shelena tergagap dan menatap si pria tak percaya. Si pria menyeringai. “Sudah kutebak. Kamu pasti sangat terobsesi menjadi ratu,” ucapnya sambil menyeringai lantaran kecewa. “Kata siapa? Siapa bilang aku ingin bahkan terobsesi menjadi ratu? Seumur-umur, cita-citaku hanya satu yaitu hidup bebas seperti ini! Bebas lari ke sana ke mari. Menghirup udara di alam bebas seperti ini. Melihat matahari tenggelam. Menggenggam tanah seperti ini!” rajuk Shelena kesal, kemudian membuang tanah yang ia raup pada kaki kiri si pria yang langsung menatapnya tak percaya bahkan merasa terganggu. “Lebih baik kamu diam karena aku masih ingin melihat matahari tenggelam dengan tenteram!” tegas Shelena masih kesal. Pria yang Shelena obati hanya diam mengamati setiap lekuk wajah Shelena dengan saksama. Baginya, selain cantik, Shelena juga lemah lembut. Namun ketika ia tak sengaja melihat paha Shelena, ia segera terpejam dan berangsur memalingkan wajah kemudian menarik penutup kepala hingga rambut keemasan pendeknya tergerai. Ia menggunakan penutup tersebut untuk menutupi paha Shelena. Shelena terdiam tak percaya dengan posisinya yang masih menatap luka gores, perihal apa yang ia rasakan, ada kain sutra yang terasa begitu lembut bersemayam menutupi pahanya. Dan ketika ia memastikannya, benar, kain sutra yang sempat menutupi sebagian wajahnya itu menutupi paha berikut sebagian besar kakinya.  Ternyata pria yang menolong dan sedang Shelena obati memiliki wajah yang begitu tampan. Mata tajam berwarna cokelat, alis tebal, hidung bangir, bibir tebal, serta rahang yang tegas. “Kalau kamu tidak hati-hati, pahamu bisa kelihatan. Pantas saja tuan saudagar tadi begitu mati-matian mencoba mendapatkanmu!” ucap si pria. Shelena terkesiap tak percaya. “Tu-tuan, saudagar? Jangan-jangan itu Dharen?!” sergah Shelena cemas.  “Bagaimana jika aku benar-benar bertemu Dharen di sini, sedangkan dia menginginkan pernikahan secepatnya?” batin Shelena ketar-ketir. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN