Kepalan tangan dari seorang lelaki tampan bekulit putih dan memiliki badan yang tinggi serta tegap itu meluruh ketika mengingat pengorbanan yang sudah sang ibu lakukan padanya.
Ingatannya melayang ke kejadian entah berapa tahun lalu. Saat dirinya masih berusia tiga belas tahun. Ketika itu Marsel disandera oleh lelaki yang mengaku mencintai Erika semasa kuliah. Lelaki itu seolah gila, karena meminta Erika datang dan menukarkan dirinya sebagai tebusan Marsel. Tapi Erika bukanlah orang bodoh, dirinya membawa beberapa polisi untuk berjaga di luar gedung dan akan menyergap mereka ketika Marsel sudah dilepaskan. Ketika lelaki itu sudah melepaskan Marsel seketika Erika mengajak Marsel lari bersamanya, lelaki itu merasa tertipu dan hampir membunuh Marsel. Di situ Erika yang melihat sebuah pisau langsung menghalangi tubuh Marsel, sehingga Erikalah yang terkena tusukan pisau dari lelaki semasa kuliahnya.
Marsel masih sangat ingat saat Erika menitikkan air mata tapi tersenyum sambil membelai wajahnya. Saat itu Marsel sangat takut mamanya kenapa-napa, ditambah papanya tidak ada di rumah dan tidak mengetahui kejadian ini. Jika papanya tahu, sudah dapat dipastikan bahwa Marsel akan terkena marah habis-habisan. Pasalnya Hans Fabiano sangat mencintai Erika. Marsel sudah kalang kabut, takut mamanya tidak bisa diselamatkan.
Tangan seorang lelaki berusia tiga belas tahun itu terus menggenggam jemari Erika sampai rumah sakit. Bibirnya tak bisa berkata apa-apa selain mengucapkan Mama, di sini ada Marsel.
Setelah ditangani oleh beberapa dokter, ternyata ginjal pada bagian kiri Erika terkena tusukan pisau. Marsel sangat terpukul mendengar semua itu. Hanya ada Rafli di sampingnya yang masih berusia empat tahun beserta spengasuhnya dan satu omnya yang berprofesi sebagai dokter spesialis jantung di rumah sakit itu. Tubuh Marsel bergetar hebat karena takut diamuk oleh sang papa yang jauh di Paris.
Untung saja, saat Hans Fabiano tiba di Jakarta saat operasi berjalan, lelaki itu tidak menyalahkan atau menghajar Marsel. Hans langsung menyerahkan masalah itu ke pihak kepolisian agar ditindak lanjuti sampai pada akhirnya lelaki yang sudah menusuk Erika itu frustasi dalam jeruji besi dan mati karena bunuh diri.
Erika harus hidup dengan satu ginjal. Hal itu membuat Marsel merasa sangat bersalah dan sangat menyayangi mamanya. Apa pun yang diperintahkan oleh sang mama selalu saja Marsel lakukan. Tidak pernah sekali pun Marsel membantah atau menolak kemauan sang mama tercinta. Marsel ingat dan sadar, coba saja waktu itu Erika tidak menghalanginya, pasti sekarang Marsel tidak akan sesayang itu kepada sang mama dan tidak tertata hidupnya. Marsel termasuk orang yang nakal saat kejadian itu belum terjadi. Sebelum insiden penusukan itu Marsel selalu saja membangkang, alfa dari sekolahan, mencoba rokok, bahkan mencoba minuman keras di usianya yang masih sangat dini.
"Sel, kenapa kamu diam saja? Katakan sesuatu." Erika menuntut jawaban dari Marsel.
Marsel menghela napas panjang, meredam semua emosinya yang meletup-letup. Dirinya tadi baru saja selesai menjalani operasi pembekuan darah di kepala pada salah satu pasiennya yang mengalami kecelakaan kemarin. Pulang pukul sebelas malam, Marsel ingin langsung melihat kedua buah hatinya sebentar, mandi dan istirahat. Tapi mamanya tercinta itu malah mencegat dan menyuruhnya menikahi seorang gadis yang belum pernah Marsel lihat atau ketahui sama sekali. What the hell, batin Marsel tak paham akan permintaan sang mama. Gagal semua ekspektasinya untuk mengistirahatkan badan. Marsel memejamkan mata dan kembali mengembuskan napas panjang.
"Akan aku lakukan asal Mama bahagia sekali pun itu harus menikahi gadis yang belum pernah aku lihat sama sekali. Sekarang izinkan aku melihat Yudha dan Zulla lalu istirahat." sahut Marsel tegas.
Sifat dingin lelaki itu belum juga hilang. Masih tetap sama, sedingin es bahkan lebih dingin dari es di kutub. Mungkin hanya pinguin yang sanggup hidup di sisinya sampai bertahun-tahun.
"Aa... Terima kasih sayang, kalau begitu besok kita temui keluarganya. Lebih cepat lebih baik." Erika memeluk tubuh tegap putranya dan mencium pipi Marsel.
"Besok pagi-pagi sekali aku harus sudah ada di rumah sakit untuk melakukan operasi transplantasi jantung." Marsel berharap jawabannya bisa membuat mamanya mengerti.
Usai mencium pipi mamanya, Marsel meninggalkan sang mama dan memilih masuk ke dalam kamar putra putrinya terlebih dahulu baru berakhir di kamarnya sendiri.
***
Pengunjung di kebun binatang yang Rafli kunjungi bersama Alexa dan kedua keponakannya itu tidak terlalu ramai. Pantas saja, ini bukan hari libur, jadi ya wajar kalau sedikit lengang.
"Lo beneran nggak sibuk banget nih, Al?" Rafli menatap tak enak kepada Alexa yang menemaninya. Kemarin wanita itu bilang ada kelas pagi.
"Kemarin sore ada pesan kalau Pak Danu nggak bisa hadir dan dikasih tugas buat dikumpulin besok pagi." jelas Alexa sambil melempar-lemparkan makan ikan ke kolam depan.
Rafli hanya manggut-manggut mengerti dan paham akan jawaban dari Alexa. Lelaki itu ikut memberi makan ikan berwarna oranye dan berukuran besar.
"Lo sendiri sih nggak sibuk?"
"Habis gue luangin waktu hari ini buat mereka, gue bakalan sibuk banget. Gue pengen cepet-cepet selesai." terlihat jelas bahwa Rafli ingin segera menyelesaikan pendidikannya.
Sama seperti Alexa yang ingin segera menyelesaikan kuliahnya. Alexa kasihan kepada ibunya yang banting tulang sendiri sehabis ayahnya meninggal dua tahun lalu. Ditambah Alexa memiliki dua orang adik yang masih sangat butuh pendidikan. Keluarga Alexa bukan keluarga dari kalangan atas. Almarhum ayahnya dulu seorang pegawai pertamina. Sedangkan ibunya bekerja di perusahaan yang berdiri di bidang otomotif sebagai manager marketing setelah papanya meningal.
"Bunda, aku laper. Kita cari makan yuk." rengek Zulla menarik-narik ujung kemeja Alexa menggunakan tangan mungilnya.
"Kalian mau makan apa hem?" Rafli menggendong Zulla, mencubit hidung mancung keponakannya.
"Gimana kalau di McD atau KFC aja, Yah?" usul Yudha.
Mereka jika pergi dengan Rafli memang selalu memanggilnya ayah, alasannya supaya mereka dikira anak dari Rafli. Sedangkan Rafli sendiri merasa tidak keberatan dengan panggilan mereka.
"Boleh, ayo kita ke sana." Alexa akhirnya menggendong Yudha yang lebih kecil dari Zulla.
Mereka berjalan keluar kebun binatang dan mencari tempat yang mereka tuju untuk makan. Hari belum terlalu sore, tapi mereka sudah lapar.
***
"Thank udah mau nemenin mereka jalan, Al." Rafli melihat Zulla dan Yudha sudah tertidur di jok tengah.
"Santai aja kali Raf, kayak lo nggak pernah nemenin atau bantuin gue aja.
"Ya udah, besok ada jam pagi nggak? Biar sekalian gue jemput."
"Boleh-boleh, lumayan ngirit ongkos. Hahaha..."
"Hahaha... Dasar lo mah, ya udah gih turun. Mandi terus istirahat, lo pasti capek kan. Gue balik dulu."
"Hati-hati ya di jalan. Makasih jalan-jalan sama makan gratisnya. Hahaha..." Alexa keluar dari mobil yang Rafli pakai selama lebih dari empat tahun belakangan ini.
Alexa melambaikan tangannya saat mobil Rafli beranjak dari depan rumahnya. Gadis cantik itu langsung membuka gerbang depan dan menguncinya kembali. Semua pemilik rumah ini memiliki satu kunci supaya kalau ada yang pergi atau pulang terlambat tidak mengganggu anggota keluarga lain.
Alexa lanjut ke pintu utama dan memasukinya. Tubuhnya sedikit berjingkat kaget saat mendapati sang mama belum tidur, padahal sekarang sudah pukul sembilan malam. Mamanya itu akan tidur tepat pukul delapan malam. Usai mengunci pintu kembali, Alexa memutuskan mendekati sang mama yang asik di depan televisi.
"Mama kok belum tidur? Tumben." Alexa meminum minuman soda yang ada di atas meja. Dia yakin, pasti ini milik sang mama.
"Mama nunggu kamu, Al." jawab Sofya sambil tersenyum manis kepada Alexa.
"Nunggu aku? Ada apa? Ada yang mau Mama obrolin sama aku?" kening Alexa mengerut melihat Sofya malah tersenyum.
"Anak Mama ternyata udah gede ya, udah siap jadi ibu. Mama merestui kalau misalnya nanti kamu menikah dengan lelaki beranak dua itu."
Pft...
Minuman soda yang tadi terus dinikmati oleh Alexa nyembur keluar ketika mendengar Sofya bilang merestuinya yang akan menikah dengan Rafli. Ya, Alexa berfikir bahwa mamanya ini salah tangkap. Dia kira Rafli sudah punya anak dua
"Kok kamu kaget gitu sih, Al." Sofya malah heran sendiri.
"Hahaha.... Mama ini apa-apaan sih? Siapa yang mau nikah sama Rafli? Mama kan tahu aku sama dia itu sahabatan dari jamannya masih SMP. Mama juga tahu kalau Rafli udah punya pacar. Mama ini gimana sih, suka ngaco deh kalau ngomong. Lagi pula itu bukan anaknya, tapi keponakannya." Alexa menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan dia sempat berpikir apakah mamanya ini amnesia.
"Bukan dengan Rafli, Al. Mama tahu kalau Rafli udah punya pacar dan dia cuma sahabat kamu."
Tawa Alexa hilang saat mendengar Sofya mengatakan bahwa yang dia maksud bukan Rafli. Jadi siapa? Siapa yang Sofya maksud duda beranak dua?
"Terus?" Alexa memasang tampang bloonnya.
"Tadi sore Bu Erika datang ke sini nemuin Mama. Dia melamar kamu untuk dijadikan menantu di keluarga Fabiano. Melamar kamu buat anak pertamanya yang sudah menduda selama empat tahun."
What the hell? Bu Erika ingin dirinya menikah dengan kakaknya Rafli? Batin Alexa makin tidak mengerti.
"Hey... Kok malah diam aja. Kenapa selama ini kamu nggak bilang sama Mama kalau kamu ada hubungan khusus sama dokter ahli bedah itu?" Sofya membangunkan Alexa ke dunia nyata.
"Aku nggak pernah ada hubungan sama kakaknya Rafli, Ma. Bahkan bertemu saja belum pernah." kini giliran Sofya yang kaget.
"Tapi anak-anaknya manggil kamu dengan panggilan Bunda kan? Kata Bu Erika, kamu sudah siap menikah dengan putranya. Dan putra dari Bu Erika sendiri juga sudah menyetujui pernikahan kalian."
Alexa semakin kaget mendengar bahwa ayah dari Zulla dan Yudha menyetujui. Bagaimana bisa laki-laki itu mau menerima pernikahan konyol seperti ini? Bahkan lelaki itu pun belum melihatnya sama sekali. Alexa teringat percakapan antara dirinya bersama Erika kemarin saat wanita paruh baya itu bertanya padanya apakah mau menjadi bunda dari Zulla dan Yudha, di situ Alexa menjawab mau.
Astaga! Apa karena itu Erika berpikir bahwa dirinya mau menikah dengan Ayah dari kedua anak yang tadi jalan-jalan bersamanya?
"Biar aku yang bicara sama Tante Rika, Ma. Ini salah paham."
"Bu Erika memberikan alamat ini. Dia bilang datanglah besok tepat jam setengah dua belas." Sofya memberikan selembar kertas kepada Alexa lalu meninggalkan putri sulungnya sendirian di ruang keluarga.
Alexa masih termenung di tempatnya. Apa-apaan ini? Bukan kabar bahagia, malah kabar yang membuatnya harus berpikir berkali-kali lipat. Bagaimana caranya meluruskan kesalah pahaman ini? Alexa meremas kepalanya. Dirinya sudah sangat pusing dengan kuliah akhir semesternya. Ini malah datang masalah baru.
***
Next...
2 Juni 2020.