CHAPTER DUA : Distraksi Yang menjengkelkan (2)

1604 Kata
               Mendengar uraian Flora, kontan Wenda mengerutkan keningnya. Hampir saja gadis itu tak dapat menahan keinginannya untuk menyahuti Flora saat itu juga, kalau saja Adi yang kebetulan tengah menatap ke arahnya lagi, tidak menggelengkan kepala dengan tegas padanya.                Sungguh sebuah peringatan tidak terucap, agar Wenda tidak menginterupsi apa yang tengah disampaikan oleh Flora. Adi dan Wenda ini sejatinya memang agak lucu. Bayangkan saja, sedari mereka tadi kerap kali saling beradu pandang. Kalau saja mereka tidak saling mengenal karakter masing-masing denganbaik dan tahu batasan yang jelas antara atasan dan bawahan, hubungan kerja dengan hubungan pribadi, wah, gawat! Salah-salah, alamat keduanya bisa saling jatuh cinta.                “Selama ini, keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam rapat internal, mempertegas kesan bahwa perusahaan bukan sekadar pelit, tetapi juga tidak menghargai pelanggan. Padahal tanpa pelanggan yang membeli produk kita, apa artinya kita? Memangnya uang datangnya dari langit?” keluh Flora dengan super sarkas.                ‘Ini  benar-benar sudah di luar batas,’ pikir Wenda yang siap untuk menyahuti dengan tak kalah ganas. Hanya saja, niat Wenda surut seketika. Ekor matanya telanjur melihat gerakan yang dilakukan Ferdi.                Ya, Ferdi terlihat mengangkat tangannya, membuat Flora terpaksa mengambil jeda bicara.               Sepertinya, telinga Ferdi sendiri sudah panas semenjak tadi. Dinilainya, apa yang diucapkan Flora barusan sungguh tidak pantas.               ‘Nah, bilangin anak buahnya tuh, Mas Ferdi. Bisa-bisanya jelek-jelekin perusahaan tempat dia cari makan. Nggak etis!. Kalau sudah gerah, enggak bisa ikut aturan perusahaan, enggak suka kerja di sini, ya buru-buru deh, berkemas. Gitu aja kok repot. Ya kali bukan perusahaan punya moyangnya dia kok mau dia yang atur-atur seenak jidatnya,’ kata Wenda tanpa suara.                “Langsung ke inti persoalan saja, Flo, Tidak perlu melebar ke mana-mana! Juga, tolong dijaga perkataannya!” Potong Ferdi dingin.                JLEB!               Wajah Flora terlihat agak menegang. Dia tampak tak suka, bahkan cenderung tersinggung, karena ditegur seperti itu di depan forum. Tetapi bagaimana pun, dia merasa apa yang menjadi kesulitannya memang harus disampaikan secara tuntas. Karenanya, dia pun melanjutkan menyinggung lagi perihal keberatannya. Tentu saja berusaha mengambil versi singkatnya.                “Oke. Saya lanjutkan sedikit, ya, karena memang apa yang saya sampaikan ini saling berkaitan satu sama lain. Belum ada kata terlambat untuk memperbaiki image perusahaan yang macam itu. Makanya, saya minta, untuk sejumlah pelanggan baru yang saya dapatkan, bisa diberikan kebijakan yang lebih masuk akal. Namanya saja pelanggan baru, kasih dong, mereka perlakuan khusus, kelonggaran kredit, salah satunya. Dengan begitu, mereka akan melakukan repeat order dan bahkan menarik pelanggan lainnya. Bukannya di jaman sekarang, testimoni dari pelanggan itu memegang peran penting untuk keberhasilan sebuah perusahaan?” ungkapan Flora setelahnya manjur membuat telinga Wenda memerah.                “Tuh, kan, ujung-ujungnya selalu begitu. Nggak ada yang lain. Repeat complain ini namanya,” keluh Wenda lagi.                Detik ini, Wenda memutuskan untuk mengabaikan kerlingan mata Adi. Dia tahu Adi, lah, yang senangnya ‘bicara baik-baik’. Adi yang berprinsip semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin dan hati jernih.                ‘Paham sih, Mas Adi ini memang typical pribadi yang nggak suka cari masalah dengan orang, apalagi yang menjurus ke arah debat kusir. Oke, aku bisa memaklumi bila itu diterapkan kepada orang lain, tapi nggak bisa, buat seorang Flora,’ pikir Wenda sebal.                Saking merasa kesabarannya telah disia-siakan, Wenda lekas mengangkat tangannya, tidak lagi meminta ‘ijin’ kepada Adi terlebih dahulu. Dia juga menghindari menatap ke arah Adi, tindakan berjaga-jaga agar Adi tidak memberikannya isyarat untuk diam lagi.               'Nggak. Enough is enough! Si Nona Besar satu ini harus belajar mendengarkan orang lain. Dan sekarg ini saat yang tepat. Sebab kalau didiamkan terus, yang ada bablas dia,' tekad Wenda dalam diam.             “Maaf, boleh saya minta kesempatan untuk mempresentasikan data-data saya sekarang?” tanya Wenda kepada forum. Dia sungguh yakin, data yang akan disampaikannya akurat dan dapat meng-counter semua pendapat Flora, termasuk ‘curhatan’ penuh emosialnya barusan. Wenda percaya bahwa dirinya sanggup mematah-matahkan semuanya itu sampai menjadi bagian kecil dan tak terlihat, bila diberi kesempatan.                Ferdi pun langsung mengangguki Wenda.                “Silakan, Wenda. Flora sudah selesai, kan?” sahut Ferdi. Nada yang dilafalkan Ferdi lebih condong ke kalimat perintah yang tegas dari pada sebuah pertanyaan. Perintah, agar Flora menyudahi ‘keluh kesah’nya yang sungguh mengganggu.                Sudah pasti, Wenda tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Dia membuka data yang ada di laptopnya.               Namun, baru juga sedikit data yang dibahas Wenda, Flora keburu memotong uraiannya. Pakai nada tinggi pula, tak ubahnya orang yang sedang marah-marah.                “Flora, diam dulu! Gantian bicaranya,” tegur Ferdi tegas.               Sontak Flora mendengus kesal. Apa boleh buat, mau tak mau terpaksalah ia mematuhi perintah atasan langsungnya itu.               ‘Sial! Gimana sih mas Ferdi ini! Bukannya anak buah sendiri yang dibelain, malahan belain si Wenda. Konspirasi buat menjatuhkan aku nih jangan-jangan!’ maki Flora dalam hati.                Ferdi masih menatap ke arah Flora. Seakan-akan, dengan jenis tatapan ‘mengawasi’ itu, Ferdi hendak memastikan Flora mendengarkan apa yang disampaikan Wenda.               Pelan-pelan, Flora memalingkan pandangan ke arah lain, semata agar atasannya itu tidak menyadari dirinya tak suka ditatap macam itu, dan mencegah ketersinggungan lebih besar yang mungkin muncul di benaknya.                “Lanjutkan saja, Wenda,” kata Ferdi kemudian.                Wenda mengangguk dan meneruskan kembali pembahasan datanya.               “Basi!” celetukan Flora terdengar nyaring karena suasana ruangan yang relatif tenang. Sudah barang tentu, emosi Wenda terpancing. Dia sudah enggan berbasa-basi lagi, langsung menyebut sejumlah nama pelanggan Flora yang masuk kategori kredit macet. Pikirnya, tidak perlu ada acara baper-baperan lah, bongkar saja semua data. Dan Flora tidak terima. Dia merasa tengah diserang secara frontal, dipermalukan di depan kawan-kawannya. Wajah Flora merah padam menahan amarah. Tangannya, yang ia sembunyikan di bawah meja, telah terkepal.                “Ini maksudnya apa, coba? Kenapa jadi tendensius begini? Kenapa hanya customer saya yang dibahas? Memangnya customer yang lain nggak ada yang bermasalah? Kalau sentimen pribadi, jangan diumbar di depan orang banyak begini, dong!” Sela Flora dengan kemarahan meluap.               Biarpun perkataan Wenda sebetulnya sama sekali tak keliru, Flora yang entah karena mood-nya sedang kurang baik ataukah memang telanjur membenci departemen yang dipimpin Adi karena dianggapnya menghalangi ‘kesuksesan’nya, menganggap apa yang dilakukan Wenda adalah cara untuk menjatuhkan dirinya. Oleh sebab itu, kemudian keluarlah perkataan superpedas dari mulutnya, berkeras mematahkan pendapat Wenda.              “Saya bicara berdasarkan data, bukan mengada-ada. Sama sekali tidak tendensius,” bantah Wenda dengan wajah menegang.              ‘Kurang ajar anak satu ini! Mau adu pengaruh di perusahaan ini? Berani dia? Dia belum tahu siapa Flora!’ batin Flora sinis.              “Begini saja deh, kalau kamu terus bersikap seperti ini, mempersulit urusan saya dengan para pelanggan maupun prospeknya saya, biar saya bilang ke pak Yuda Hermawan saja. Biar pak Yuda yang memutuskan nanti. Pak Yuda kan dekat sama para pelanggan saya,” barangkali merasa tersudut, Flora segera mengeluarkan senjata pamungkasnya. Ya, sebagaimana biasanya, Flora menyebut-nyebut nama General Manager mereka. Sudah menjadi rahasia umum, Pak Yuda ini masih terhitung kemenakan dari salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan tempat mereka berkarya, PT Fortuna Makmur Sejati.              “Nggak profesional amat sih!” sahut Wenda.             Bukannya menunjukkan kegentaran, Wenda malah menunjukkan egonya, ogah kalah dengan Flora. Dia lantas menuduh Flora tengah melakukan pembenaran. Sesuatu yang sangat tidak pantas untuk dilakukan dalam konteks hubungan kerja.              “Siapa yang melakukan pembenaran? Saya? Jangan sembarangan menuduh! Kamu menantang saya?” Flora setengah berteriak.             Merasa disentak, Flora menyahuti dengan volume suara tak kalah tinggi.              Bermula dari sini, keadaan pun memanas. Dua-duanya merasa dirinya yang paling benar. Setiap kali satu orang melontarkan sebuah kalimat, yang lainnya menyahut dengan jumlah kata dua hingga tiga kali lebih panjang. Begitu seterusnya.  Kedua gadis itu terpancing dalam hal yang paling dibenci oleh Adi. Ya, debat kusir!              Kini tak lagi adu data yang akurat. Nuansa ruangan rapat yang semula serius, berangsur menjadi arena adu mulut yang menyiratkan ketidaksukaan pribadi, antar pelakunya. Satu dua perkataan kasar terucap pula dari bibir mereka berdua. Ini membuat Adi tergugah, segera berinisiatif mengambilalih situasi.              “Wenda, Flora, tolong kalian berdua diam! Bersikap dewasa sedikit! Jaga kata-kata kalian berdua! Ini kantor!” seru Adi keras. Mirip bentakan yang mengandung akumulasi kekesalan yang bertumpuk-tumpuk. Mungkin itu suara paling keras yang pernah didengar oleh kawan-kawannya yang telah sekian lama mengenalnya. Orang yang berpembawaan kalem memang bisanya lebih menakutkan kalau sudah marah, kan?                                                                                                                                                                 *^ Lucy Liestiyo ^*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN