Lamaran Kerja

1005 Kata
Aku tiba di mall pukul sepuluh pagi. Tepat ketika pintu mall dibuka, aku masuk. Mungkin hari ini aku adalah pengunjung pertama mereka. Secepat kilat aku masuk ke toko sepatu. Siang ini aku harus datang untuk wawancara kerja. Sialnya, baru semalam aku tahu, kalau sepatu pantofelku yang sudah lama menganggur dan kusimpan rapi dalam dus, sudah tidak layak pakai lagi, bagian kulitnya sudah banyak yang mengelupas. Aku nekat juga melamar lowongan kerja yang diinfo Erna semalam dengan menggunakan fotokopian KTP lamaku saat masih lajang. “Kalau nanti kamu keterima kerja, tunggu beberapa saat sampai mereka tahu kamu karyawan yang bisa diandalkan. Nah, saat itulah kamu bisa jujur dengan statusmu.” Begitu saran Erna kemarin melalui pesan Wh*tsApp. Awalnya aku enggan. Aku orang yang paling tidak bisa berbohong, tetapi penasaran juga, apakah kira-kira aku bisa lolos tes wawancara kerja? Selain itu, aku butuh uang, tentu saja. Mau sampai kapan aku hanya hidup mengandalkan uang santunan kematian Mas Arya? Rania semakin besar dan akan masuk sekolah. Biaya yang dibutuhkan juga pasti semakin banyak. Meskipun Arman adik iparku selalu bilang ia yang akan bertanggung jawab terhadap Rania, tetap saja, aku merasa tak enak menggantungkan hidup padanya. Sebulan dua bulan okelah, tapi kalau terus-terusan, apa kata dunia? Setelah mendapatkan sepatu yang cocok, aku bergegas keluar mall. Ternyata hujan turun seperti ditumpahkan dari langit. Pantas saja berulangkali aku coba order taksi online dari sebelum keluar mall tadi, tidak ada satu pun yang nyangkut. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, barangkali ada taksi lewat. Nasib baik sedang berpihak padaku. Sebuah taksi berwana biru melaju. Lampu di bagian atas menyala, tanda taksi itu tidak berpenumpang. Aku melambaikan tangan dan bergegas membuka pintu ketika taksi berhenti tepat di depanku. Namun, pada saat bersamaan, seorang lelaki bertopi, masuk dari sisi pintu yang lainnya. “Lho?” “Ehm, maaf, saya yang memberhentikan taksi ini,” kataku berusaha sopan. “Saya juga.” Si lelaki bertopi menjawab ketus lalu duduk dan menutup pintu taksi. “Jalan Pak!” katanya lagi tanpa sedikitpun menghiraukanku yang masih terbengong-bengong dengan separuh badan masuk ke dalam taksi. “Eh tunggu-tunggu, enak aja!” Aku mulai hilang kesabaran. Namun, rasanya sia-sia bicara pada laki-laki yang tidak punya sopan santun ini. “Pak, saya tanya, siapa yang memberhentikan taksi ini duluan?” Aku pun memilih bertanya pada sopir taksi. Pak sopir bengong sebentar sambil bergantian memandangiku dan si lelaki bertopi. “Aduuh, kalian ini bikin ribut di taksi saya. Sebenarnya kalian mau ke mana sih?” Ia malah balik bertanya. “Kota Lama,” jawabku dan si lelaki bertopi hampir berbarengan. “Oalah, tujuan kalian sama, tho. Ya sudah bareng saja. Hujan-hujan gini susah dapat taksi. Ayo, Mbak, masuk. Tutup pintunya.” Aku tidak punya pilihan lain. Daripada telat wawancara, biarlah satu taksi dengan orang asing menyebalkan ini. Toh, Kota Lama tidak terlalu jauh dari sini. Jadi, hanya sebentar aku duduk bersebelahan dengannya. “Mbaknya mau ke mana?” tanya Pak Sopir memecah keheningan kami di dalam taksi. “Kafe Mentari, Pak,” jawabku. “Lho kafenya, kan, belum buka, Mbak?” “Iya saya ada tes wawancara kerja di sana.” “Oh gitu. Moga sukses, ya, Mbak, tesnya.” “Makasih, Pak,” jawabku sembari tersenyum. “Kalo masnya, mau ke mana?” “Kafe Mentari.” Jawaban dingin si lelaki bertopi sontak membuatku kaget. Sementara ia masih bergeming, sibuk dengan ponsel di tangannya. “Lho, sama lagi? Wawancara juga?” tanya si Bapak. Lelaki bertopi tidak menjawab. Diam-diam aku mengamatinya, penasaran juga apa benar dia mau melamar kerja di tempat yang sama? Sebagai apa? Tempo hari aku lihat ada beberapa lowongan kerja lagi di Kafe Mentari selain sebagai markom. Waduh gawat, aku bisa punya rekan kerja semenyebalkan dia kalau kami sama-sama diterima. “Sepertinya, kalian memang berjodoh,” seru Pak Sopir diikuti tawa yang cukup keras, membuyarkan lamunan dan membuat hatiku semakin kesal. Tidak lama kemudian, taksi menepi di depan Kafe Mentari. Aku mengulurkan uang seratus ribu pada Pak Sopir. “Mbak, uang pas saja ada? Tiga puluh delapan ribu saja. Saya baru narik, nih, nggak punya kembalian.” “Eh? Aduh, nggak ada, Pak.” Hanya tinggal selembar itu uang di dompetku. “Ini saja, Pak.” Si lelaki bertopi meletakkan selembar uang ke tangan Pak Sopir. “Yah, sama saja. Seratus ribu juga. Saya, kan, sudah bilang nggak ada kembalian,” kata Pak Sopir begitu melihat nominal uang yang ada di tangannya. “Kembaliannya buat Bapak.” Lelaki bertopi menjawab lalu meninggalkan taksi tanpa menunggu respons Pak Sopir. Aku terperangah. Rasanya, apa yang baru saja dia lakukan mencabik-cabik harga diriku. “Wah, makasih, Mas,” kata Pak Sopir setengah berteriak sambil melambaikan selembar uang merah di tangannya. Sialan! Baru juga mau melamar kerja, sudah songong begitu. Setelah mengucapkan terima kasih pada sopir taksi, segera aku melangkah masuk ke kafe. Di dalam, suasana sudah cukup ramai. Usai mengisi daftar hadir, aku bergabung dengan para pelamar kerja yang lain. Mencoba mengobrol basa-basi dengan beberapa dari mereka. Tapi ngomong-ngomong, di mana si lelaki bertopi ya. Lho, kok aku malah nyariin dia sih? Satu setengah jam berlalu. Aku menunggu panggilan wawancara dengan gelisah karena memikirkan Rania. Ia kutitipkan di TK sekaligus daycare milik ibunda Erna, dan mulai khawatir ia rewel. “Nadia Putri Wijaya.” Aku menarik napas lega ketika akhirnya namaku dipanggil. Ketika masuk ke sebuah ruangan, seorang lelaki berpakaian rapi dengan kemeja berwarna biru muda dan celana panjang hitam tersenyum dari balik mejanya. Kutebak, usianya sekitar tiga puluh lima tahunan. Tapi, hey, mengapa ada lelaki bertopi di sebelahnya? Duduk santai sambil memainkan ponsel. “Se-selamat pagi, Pak.” Aku mencoba mengabaikan rasa penasaranku terhadap lelaki bertopi, lalu tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala pada si lelaki berkemeja biru. “Oh, selamat pagi. Silakan duduk.” Lelaki itu menunjuk kursi yang ada di depan mejanya. “Nadia Putri Wijaya?” Ia menyebut namaku. “Iya, Pak.” “Sebelumnya perkenalkan, saya Wira, manajer dari Kafe Mentari,” katanya sambil tersenyum ramah. “Lalu ini ....” Tangan kanan Pak Wira mengarah pada si lelaki bertopi. “Ini Galang, pemilik Kafé Mentari.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN