“Menikahlah denganku!”
Pria itu termangu. Mulutnya menganga, matanya membelalak lebar. Benaknya yang semula penuh keputus asaan dan nyaris mati, mendadak terpercik kembali. Sekali lagi hidup dan berpikir.
Namun isi pikirannya kini tidak lebih baik dari kardus kosong.
Seorang wanita berdiri di hadapannya. Wanita itu berpakaian aneh. Ia memakai kemeja alih-alih kebaya, celana panjang alih-alih kain batik, dan jas biru tua alih-alih selendang. Rambutnya yang panjang diikat seutas tali merah alih-alih tusuk konde. Helai demi helainya berpendar dalam keremangan dunia ini. Lehernya diikat seutas tali pita alih-alih bros.
Wanita itu tersenyum lebar sampai gigi-giginya yang putih terlihat. Matanya yang biru berbinar penuh nyala kehidupan, sama seperti seluruh sosoknya yang berpendar di dalam kegelapan. Perempuan itu tidak mungkin lebih tua dari dirinya, tapi ia bersinar lebih terang dari siapa pun di mimbar kematian ini.
Tempatnya bukan di sini, suara dalam benak pria itu berkata tanpa sebab. Dia tidak seharusnya ada di sini.
Sulur-sulur cahaya berwarna merah muncul di udara, mengalir dari tubuh sang gadis, menari dan menyala di tengah kegelapan, di tengah ratusan sulur-sulur biru yang mengelilingi mereka. Sebuah pikiran menyala di benak pria itu.
Gadis ini dari Sekala.
Pemikiran kembali menyala di benak mati pria itu. Ia mengingatnya.
Sekala dan Niskala. Tampak dan tidak tampak.
Gadis ini adalah makhluk Sekala. Dia tidak seharusnya ada di sini; tempat makhluk-makhluk Niskala berada. Alam Niskala.
Sayangnya, gadis di hadapannya seolah tidak peduli. Sekalipun orang-orang di sekitar mereka sebenarnya adalah perwujudan makhluk-makhluk kuno yang siap mencabik-cabik tubuhnya dalam hitungan detik, gadis itu tetap menggenggam tangannya dengan erat, tersenyum berseri-seri..
Ia lantas teringat dengan tawaran sang gadis. Tawaran itu masih menggantung di udara tanpa pernah terjawab.
Bibirnya bergetar. Lidahnya kaku. Ia berusaha kuat bicara, tapi ia terlalu takut untuk bersuara. Gadis itu pun berseru mendahuluinya.
“Oh, ya, benar juga! Astaga, di mana sopan santunku?!” Gadis itu berseru sendiri. Dengan antusias, ia melepaskan tangan sang pria dan dalam hatinya, sang pria itu mengembuskan napas lega.
Itu sungguh tidak biasa. Normalnya ia akan senang ada seorang gadis menggenggam tangannya, tapi untuk gadis ini, ia lebih memilih menjauh secepatnya. Ia melirik ke orang-orang yang masih terdiam dengan kemarahan terlukis jelas di wajah-wajah mereka. Waktu tidak begitu saja berhenti ketika mereka berdua sibuk sendiri.
Pria yang berdiri paling depan mengangkat palu. Hukuman telah dijatuhkan. Eksekusi telah dibacakan. Hanya tinggal memastikan dan….
Sang pria mendongak ke arah langit yang memerah darah. Awan hitam berkumpul tepat di atas kepalanya. Berputar seperti pusaran air dan semakin cepat. Gemuruh petir terdengar dari atas. Kilatan-kilatan cahaya merah terlihat.
Tepat saat itu juga, gadis di hadapannya berlutut kembali. Ia tidak melihat apa yang dikeluarkan gadis itu. Ia terlalu sibuk ketakutan.
“Ini cincinmu, Suami—
“Ya!”
Kata itu keluar tanpa bisa ia cegah. Semua saksi mata tercengang. Bahkan pemilik ekspresi paling beku sekalipun tidak bisa menghentikan dirinya dari tertegun sejenak. Keterkejutan menghantamnya dari berbagai sisi, termasuk dari gadis di hadapannya.
Kemudian, sepasang tangan menyambar tangannya, mencampakkan kotak berisi cincin yang tadi hendak diserahkan kepadnaya.
Kotak itu jatuh menggelinding di lantai, berkelotak pelan saat menghantam lantai batu di bawah, tapi bahkan tidak ada yang memerhatikan.
“Oh, Cintaku!” Ia berseru dengam mata berkaca-kaca penuh kebahagiaan. “Kau bahkan menjawabnya sebelum aku sempat menyerahkan cincin! Aku benar-benar terharu, Suamiku!”
Tanpa ragu, gadis dari Sekala itu mendekat, memeluk, dan menutup jarak di antara mereka hingga ke batas yang sangat tidak wajar untuk dilakukan seorang wanita. Sang pria berjengit ketika dahi mereka saling menempel. Bibir mereka hampir bersentuhan.
Napas sang wanita berembus ke wajahnya. Dingin dan harum. Degup jantungnya melonjak. Kehangatan yang asing menjalar ke pipinya.
“Jadi,” Gadis itu menatapnya penuh kasih. “Kapan kita akan melangsungkan pernikahan kita, Suamiku Tersayang?”
***