"Kamu yakin, Mas, kita harus pergi menemui dia? Aku rasa ini semua tidak penting lagi. Aku dan dia sudah usai semenjak dia memutuskan untuk tidak datang di pernikahanku." Viona menatap Davin yang sedang fokus pada jalan raya yang sedang mereka lalui.
Davin menoleh sekilas sebelum mengangguk. "Tentu saja aku yakin. Kamu memang harus melakukan ini agar kamu tahu apa yang membuat dia seperti ini. Agar kamu juga tahu apakah kegagalan selama ini saling berhubungan atau tidak. Dan aku tidak ingin ada kisah yang hanya selesai sepihak di dalam rumah tangga kita. Ya, tapi itu kalau memang kamu tidak ingin mengakhiri ini semua."
"Kamu yakin tidak akan mengakhiri ini semua?.Mmm … maksudku,"
"Viona. Ikatan tali pernikahan itu sangat suci. Dan bukan hanya sebatas aku dan kamu saja. Disana ada janjiku kepada Tuhan. Jadi tidak mungkin aku mengingkari itu semua."
Viona membenarkan apa yang dikatakan oleh Davin. Tapi, hatinya yang masih penuh dengan cinta lama kepada Haris, tentu saja membuatnya terombang ambing dalam keraguan.
"Vio, kamu tidak perlu berpikir keras seperti itu. Aku hanya memberitahu arti sebuah pernikahan kepadamu. Maaf, itu malah membuatmu takut dan bingung.. Tapi, percayakan, aku tidak akan memaksa karena kita sama-sama tidak memiliki rasa. Dan kamu tahu, aku juga sedang patah hati. Berpikir untuk sama-sama mengobati luka denganmu."
"Terima kasih, Mas. Kamu begitu baik padaku. Aku sudah tahu bagaimana caranya untuk berterima kasih kepadamu."
"Berapa kali harus aku katakan, kamu tidak boleh mengatakan itu lagi. Sebagai suami aku gak ingin kamu berterima kasih, sedangkan ini adalah keharusan yang dimiliki sebagai suamimu."
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa, jika terima kasih tidak kamu perbolehkan.".
"Cukup lalui saja semuanya. Tanpa harus menoleh ke kiri dan kanan. Saat kamu tak sanggup atau menemukan tambatan hati yang lain, aku tidak akan pernah menahanmu. Aku akan melepaskan tanpa ada syarat apapun." Davin mengusap pucuk kepala Viona.
"Aki tidak bisa menjawab ucapanmu. Karena kata terima kasih tidak kamu diterima lagi."
"Kalau begitu, kamu cukup jawab dengan baik apa yang pria itu katakan. Semuanya aku serahkan dan kembalikan padamu."
Viona mengangguk. Meremas rok span selutut yang ia kenakan saat melihat restoran tempat pertemuannya dengan Haris. Itu artinya ia harus turun dan berbicara dengan pria itu. Entah apa yang akan pria itu katakan sampai memaksa untuk bertemu, saat orang-orang mulai beranjak untuk istirahat.
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menemanimu dari kejauhan. Lagipula, dia tidak mengenalku, maka dia tidak akan pernah curiga kamu datang bersamaku."
Viona mengangguk. "Jangan duduk terlalu jauh. Dan jangan terlalu lama menyusul ke dalam. Kamu paham, Mas?" Menekankan setiap kata yang ia ucapkan.
Jujur saja Viona sangat takut bertemu dengan Haris. Hatinya mengatakan tidak benar dan ada rencana terselubung di balik ini semua.
Namun, Viona bisa terus diam dan menghindar. Seperti yang dikatakan Davin, semuanya harus diselesaikan. Agar tak ada lagi yang mengganjal di hatinya lagi. Siapa tahu kedepannya hubungan mereka bisa sempurna seperti pasangan suami-istri lainnya.
"Aku paham, Vio." Davin menjawab dengan santai. Tanpa mengurangi kewaspadaannya kepada situasi yang ada.
"Jujur saja aku belum siap bertemu dengannya."
Bukannya keluar dari mobil, Viona justru hanya membuka pintu dan menatap nanar pada restoran.
"Aku ada untukmu. Percayalah." Mengusap pucuk kepala Viona. "Apa perlu sebuah pelukan, agar kamu bisa siap kesana?"
"Kamu sangat baik. Aku beruntung." Viona membalas perlakuan manis Davin dengan sebuah senyuman yang amat manis, mengalahkan manisnya biang gula.
Davin sedikit terkekeh untuk mengusir ketegangan di antara mereka berdua. Ia ingin Viona memiliki keberanian bertemu dengan pria pengecut yang telah lari dari pernikahan mereka berdua.
***
Davin yang telah memastikan Viona masuk ke restoran, segera menyusul. Mencari tempat strategis untuk mengawasi segala pergerakan yang dilakukan Viona dan pria berkemeja merah maroon di hadapannya.
Kedua alis Davin bertaut saat melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Rasa-rasanya ia mengenal pria itu, tapi entah di mana. Dan ingatan Davin yang tak seberapa itu sangat jelas mengingat pria itu mengatakan akan segera menikah. Tapi bukan hari ini, melainkan dua bulan yang lalu. Tapi tetap saja Davin tidak ingat siapa dan di mana bertemu dengan pria itu.
Sepertinya setelah ini Davin harus membenturkan kepalanya ke dinding agar ingatannya bisa kembali berkumpul.
"Aku heran denganmu. Bisa-bisanya masih memiliki muka untuk bertemu denganku, padahal kau telah melempar kotoran ke wajahku dan ayah. Kau tahu, ayahku sampai masuk rumah sakit dan nyaris kehilangan nyawa karena kau lari begitu saja. Padahal pernikahan ini bukan aku yang ingin, tapi kau yang bersikeras. Tapi nyatanya apa? Kau yang berjanji kau pula yang mengingkari!"
Viona menatap tajam kepada Haris yang hanya diam mendengar apa yang ia katakan. Pria itu memasang wajah pias, seakan menjadi manusia yang paling tersakiti. Pria yang paling teraniaya karena batalnya pernikahan mereka.
"Vio, aku tahu maaf tidak cukup untuk mengampuni segala dosa dan kesalahan yang telah aku perbuat." Meraih tangan Viona agar bisa digenggam.
Viona menepis.
"Tidak perlu meminta maaf. Aku sekarang bersyukur kau telah pergi. Sehingga aku menemukan pria yang tepat untuk dijadikan suami. Dan aku minta jangan lagi repot-repot meminta maaf karena aku sudah memberi maaf padamu. Aku sudah melupakan semua kesalahan, termasuk kenangan kita."
"Aki tidak percaya itu. Kamu tidak mungkin bisa melupakan aku dalam waktu beberapa jam saja setelah melewati banyak waktu bersama."
Viona menggeleng. "Kamu jangan percaya diri dulu. Buktinya kau mengganggu malam pertamaku dengan dia," balasnya sengit.
"Jangan berbohong. Kamu adalah gadis yang sangat setia. Mustahil bagimu bisa melupakan aku, yang telah memberi banyak kenangan indah."
"Aku tidak peduli dengan kenangan indah itu."
"Sekarang kamu tidak peduli. Tapi setelah kamu tahu apa apa alasanku tidak datang, bisa dipastikan kamu akan menyesal buru-buru menikah dengan pria asing itu." Haris mengangkat satu tangannya saat melihat Viona ingin membuka mulut, menepis apa yang dikatakannya.
"Jangan coba-coba mengarang cerita tentang identitas pria itu. Aku tahu siapa dia, Viona. Dia adalah teman dekat rekan bisnisku. Dia di rumah sakit karena ingin mengunjungi rekan bisnisku itu, yang baru saja menyambut kehadiran putrinya. Dia Davin, dan dia tidak ada di daftar pertemanan apalagi calon yang bisa dijadikan pengganti aku."
"Jangan sok tahu kamu. Aku justru bahagia menikah dengannya. Biar pria asing, tapi aku lebih percaya dengan segala yang dia ucapkan. Jadi jangan merasa hebat dulu."
"Aku tidak sok tahu. Tapi aku benar-benar tahu bagaimana kamu, Viona. Kamu itu gadis yang sangat sulit jatuh cinta apalagi melakukan hubungan suami istri dengannya. Jadi jangan coba-coba berbohong dengan mengatakan kamu akan melakukan hubungan suami istri dengannya."
"Aku tidak pernah meminta kau percaya padaku."
"Tapi aku percaya dengan apa yang aku katakan barusan." Haris menegakkan punggungnya. "Kamu tahu, aku sangat terkejut mendengar kamu menikah saat aku sampai di rumah sakit. Menyusulmu yang pergi membawa ayah ke sana. Kamu tahu, aku bukannya tidak datang. Melainkan datang terlambat karena mobil yang kami tumpangi mengalami kecelakaan. Ayah masuk rumah sakit. Dan kamu tahu saja. Barang-barang orang yang mengalami kecelakaan merupakan sasaran empuk bagi segelintir orang untuk dijadikan uang. Dan itu yang aku dan keluarga alami. Tapi nyatanya musibah yang aku alami bukan hanya membuat ayahku dirawat.
Beberapa harta benda hilang. Tapi aku juga harus kehilanganmu, Vio."
"Aku tidak percaya dengan apa yang kau katakan."
"Sama sepertiku yang tidak percaya kamu siap menjadi istri yang utuh untuk pria itu." Haris melirik Davin yang duduk tidak jauh dari tempat mereka duduk. "Kamu menghadirkan luka bagiku. Aku pun akan melakukan hal yang sama. Tunggu saja kejutan dariku. Dan aku pastikan kamu akan memohon agar aku menerimamu kembali. Dan saat itu tiba, aku pastikan kamu masih suci."
"Tidak. Aku dan dia akan menginap di sebuah hotel untuk melakukan malam pertama. Kau pergilah. Mengganggu saja." Viona segera bangkit dari tempatnya duduk saat Haris mengenali sosok Davin.
"Jangan berbohong. Aku tahu siapa kamu, Viona. Cinta kita yang amat besar, akan mencegahmu melakukan itu semua, sekaligus menuntunmu pulang kepadaku."
Belum sempat Viona melangkah pergi, Haris sudah lebih dahulu beranjak pergi. Viona menyentuh dadanya. "Ini sangat menyakitkan. Kebohongan apa yang sedang kau lakukan untuk menyiksaku?" Menatap nanar pada punggung Haris. Pria yang hingga detik ini masih sangat ia cintai.