Kepergiannya

842 Kata
Dua jam aku menangis hingga Arumi tertidur disampingku. Aku harus bagaimana?. Hanya Arumi yang aku miliki sekarang. Ayah...andai kau menampakkan wajahmu kepadaku ingin kubagi deritaku dan akan sembuh jika kau berkenan untuk memelukku. Aku menghembuskan napas kasarku dan menghapus air mataku. Jika aku terus menangis aku dan Arumi hanya akan mendapatkan derita. Jika aku terus mengeluh cobaan ini tidak akan membangunku untuk berjuang demi kehidupan. Arumi membuka matanya karena ia terbangun karena germisi mengganggunya "Ma, udah nangisnya Lumi masih ngantuk" ucapnya. Aku mengelus pipi montoknya. Ia tidak mengerti siapa yang kutangisi. Lumi mereka kedua orang tuamu. Aku Tantemu bukan ibumu. Ingin sekali aku mengucapkannya tapi aku tahu anak sekecil itu tidak akan mengerti jika aku ibunya karena wajah Alysa dan wajahku sama persis. Wajahku tidak ada bedanya, hanya didadaku ada tahi lalat dan Alysa tidak memilikinya. Alysa yang modis dan feminim sedangkan aku memiliki penampilan sedikit tomboy. Andai saja kedua orang tua Aryo menyayangi Arumi, mungkin Arumi bisa mengenal Opa dan Omanya tapi pernikahan Aryo dan Alysa tidak direstui membuat mereka tidak ingin mengenal Arumi. Aku melihat Arumi membuka matanya. "Ma, Lumi capek" ucapnya menatapku dengan air mata yang tergenang. Jangan nangis nak, Mama akan melakukan apapun agar kamu bahagia. "Kita pulang nak!" ucapku memegang tangan mungilnya dan mencoba untuk tersenyum. "Mama Lumi janji nggak nakal lagi. Mama boleh kok jalan-jalan sama teman-teman mama kalau Lumi ke sekolah" ucapnya membuatku tersenyum. Maaf sayang Mama terpaksa menitipkanmu di penitipan anak jika Mama bekerja. Aku menaiki taksi menuju rumah kontrakkanku, tak ada peninggalan apapun untuk Arumi hanya satu tas berisi bajunya. "Mama lumahnya kecil" ia menatap kosanku yang memang hanya memilki satu kamar, dapur dan toilet. Maaf nak Mama tidak bisa memberikan rumah yang layak untukmu. "Mulai sekarang Lumi tinggal disini sama Mama!" ucapku. "Papa?" tanyanya menatapku dengan tatapan polosnya. Tenggorokan keluh, jika aku mengatakan jika ayahnya sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Saat kecelakaan Aryo dibawa keluarganya. Aku sudah berusaha mencari informasi tapi keluarga kaya itu menutup semua informasi mengenai Aryo. "Papa pergi ke tempat yang jauh nak" jelasku. "Papa kapan pulang?" Lumi mengkerucutkan bibirnya. "Nanti kalau Papa sudah banyak uang" ucapku. "Papa..hiks...hiks...Papa...hiks...hiks..." teriak Lumi membuatku bingung. Arumi masih membutuhkan sosok seorang Ayah dan aku tidak ingin Lumi tumbuh tanpa kasih sayang Ayah seperti aku dan Alysa. "Lumi diam nak nanti tetangga kita marah!" ucapku. Tok...tok...suara ketukan pintu membuatku segera membuka pintu sambil menggendong Lumi. "Arin...kok ribut banget sih? Anak siapa ini?" tanyanya terkejut melihat kehadiran Arumi dikamarku. "Papa hiks....hiks..." "Dia anak Alysa?" tanya Inggrit melihat kemiripan wajah Arumi padaku. "Iya..." ucapku. "Kenapa dia disini?" tanya Inggrit penasaran. "Kemarin, Aryo dan Alysa kecelakaan. Alysa meninggal dan Aryo....aku tidak tahu" jelasku. "Innalilahiwainalilahi rojiun" Inggrit segera memelukku. Satu-satunya sahabatku itu hanya Inggrit. Dia teman seperjuanganku saat SMA, kuliah hingga saat ini. Dia bekerja disalah satu bank swasta dan berbeda denganku yang bekerja disalah satu TV swasta. Aku bekerja sebagai tim kreatif iklan dan program acara TV. "Sejahat-jahatnya mereka berdua masih juga jahat setelah meninggal" ucap Inggrit membuatku mengerutkan dahiku karena bingung apa maksudnya. Dia menatapku dengan sendu "Keluarganya Aryo pasti tidak akan mau menerima anak ini dan lo yang jadi tumbal," ucap Inggrit membuatku mengela napasku karena aku tidak keberatan jika harus membesarkan Arumi. Arumi satu-satunya keluarga yang aku miliki sekarang. "Astagfirullah Nggit. Dia sekarang akan menjadi anakku Nggit...aku akan merawatnya!" ucapku sambil mengelus pipi montok Arumi. Inggrit meneteskan air matanya "Terbuat dari apa hatimu Rin, kalau aku jadi kamu mungkin aku....maaf hiks...hiks..." Inggrit memelukku dengan erat. "Gue janji bakal bantu kamu ngebesarin dia" ucap Inggrit. "Makasi Nggrit...". Ucapku. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti Inggrit dan sejak dulu dia selalu mendukung apapun keputuskanku. "Gue tadi masak Rin dan ada juga kue buat Arumi, tunggu sebentar ya!" ucap Ingrit dan dia menghapus air matnya lalu segera melangkahkan kakinya masuk kedalam. Arumi menatapku dan air matanya masih menetes, "Besok kita pergi jalan ke Mall sama Mama ya nak! jangan nangis lagi dong!" bujukku. "Lumi mau es krim," ucap Arumi dan tangisannya mereda. "Oke besok Mama beliin Arumi es krim, trus mau apa lagi?" tanyaku. "Lumi mau kue, Ma," ucap Arumi dan ekspresi Arumi membuatku tersenyum haru. "Mama sayang banget sama kamu Arumi," ucapku dan aku tidak bisa menahan laju air mataku tapi dengan cepat aku segera menghapus air mataku agar Arumi tidak melihat jika saat ini aku sedang menangis. "Tada ini kue buat Arumi!" ucap Inggrit membuat Arumi tersenyum dan Arumi segera mengulurkan tangannya mengambi kue itu dari tangan Inggrit. "Maaci," ucap Arumi membuat aku dan Ingrit tertawa karena ekspresi Arumi sangat menggemaskan. setelah bercerita banyak dengan Inggrit tanpa aku dan Inggrit sadari ternyata Arumi telah terlelap. Inggrit segera pami ke kamarnya dan aku membawa Arumi masuk kedalam kamar. Aku membaringkan Arumi dikasur dan aku ikut membaringkan tubuhkku disampingnya. Malam ini kembali hujan. Aku memejamkan mataku dan mengingat masalalu. Masa dimana aku merasa sendiri dan dihianati. Masa dimana aku berpura-pura tersenyum tapi tidak dengan hatiku. Aku bukan malaikat yang bisa menerima semuanya dengan mudah. Aku bahkan sengaja pindah ke kota lain hanya untuk menghidari mereka. Bandung tempatku dilahirkan tapi juga tempat dimana sejuta kenangan masalaluku tertinggal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN