Minggu pagi ini terasa suram bagi Sita, ia merasa cemburu dengan kemesraan Ari dan Rista. Padahal mereka hanya duduk berdua di halaman dengan Angga berada di stroller, Sita berulangkali mendengus di dalam kamarnya sembari menatap pemandangan di bawah kamar lewat balkon.
"Ada apa?"
Suara bariton dan sepasang tangan melingkar dipinggang mengagetkan Sita, ia menoleh saat wajah suaminya tepat berada dipundaknya.
"Mereka kapan ambil Angga? Kenapa tidak bilang padaku?" tanya Sita sedikit merajuk, tentu saja bukan itu yang membuat Sita kesal. Namun kemesraan Ari dan Rista lah yang membuat hatinya terbakar.
"Tadi, aku yang kasih Angga. Biar kita bisa berduaan barang sekejap." Kata Ardi, ia mengendus leher istrinya membuat Sita merasa geli.
"Mas, masih pagi." Peringatan Sita, ia tidak ingin terpancing napsu pagi ini. Ia sedang sebal, menahan rasa cemburunya kepada sang adik ipar.
"Mumpung Angga ada yang jagain," Angga tetap berusaha memancing hasrat istrinya.
"Mas, aku sedang tidak selera." Rengek Sita lagi, sungguh ia sama sekali tidak minat untuk melakukan itu pagi ini.
Ardi melepaskan pelukannya, dibingkai wajah istrinya.
"Kamu kelelahan begadang mengurus Angga, maaf harusnya aku tidak memaksa." Ucap Ardi penuh pengertian, ia menarik diri. Lalu menjauh dari sang istri, memilih untuk keluar kamar.
Sita bernapas lega ketika Ardi keluar dari kamar, ia kembali ke arah balkon untuk melihat apa yang sedang Ari dan Rista lakukan.
"Kemana mereka!" kesal Sita saat tidak mendapati mereka di tempat itu lagi, ia menyusul Ardi keluar dari kamarnya untuk mengintai sepasang suami-istri tadi.
Di halaman depan, Rista sangat antusias menggendong Angga. Ia senang berinteraksi dengan bayi, selalu terselip doa untuk ia disegerakan menimang buah cintanya dengan Ari. Namun Rista tidak ingin memaksa, ia akan pasrah dengan takdir tuhan yang ia lakukan hanyalah berdoa dan terus berusaha.
"Seneng banget sama Om dan Tante ya?" ucap Ardi sesaat setelah bergabung dengan Ari dan Rista, ia duduk di sebelah adik kembarnya mengambil alih Angga dari Rista.
"Rewel tidak?" tanya Ardi.
"Anteng saja dari tadi." Jawab Ari, sedikit merasa iri dengan kakak kembarnya yang sudah menggendong anak.
"Kalian ada rencana program ke mana? Aku ada kenalan dokter kandungan, siapa tahu cocok?" tanya Ardi dengan hati-hati, takut menyinggung dan tak ingin menghakimi kondisi keduanya. Sebagai kerabat, Ardi tentu saja ingin melihat keduanya bahagia dengan impian yang terwujud.
"Ah, kita sedang menikmati masa-masa pacaran setelah nikah. Iya 'kan, Sayang?" Jawab Ari, ia merangkul Rista mengecup samping kepala istrinya. Menghibur hatinya dan hati sang istri yang dilanda kegundahan, Rista hanya mengangguk saja.
"Oh, ya sudah kalau begitu."
"Terimakasih atas rekomendasinya, Mas." Kata Ari.
"Sama-sama." Balas Ardi, satu tangannya menepuk bahu Ari, menyampaikan dukungan untuknya.
Suara Tari dari dalam membuat bincang-bincang mereka terhenti, ibu mereka mengajak sarapan pagi ini.
"Iya, Bu." Ucap ketiganya serempak.
Ardi meletakkan Angga ke atas stroller, mendorongnya ke dalam rumah. Diikuti Ari dan Rista di belakangnya, Ari dengan lembut merangkul pundak istrinya. Sesekali mencuri ciuman seperti yang biasa ia lakukan, membuat wajah Rista merona. Antara malu dan takut jika dilihat orang rumah.
Di ujung tangga, Sita menangkap momen itu. Bibirnya mencibir sinis, merasa iri kepada Ari dan Rista. Ia ikut bergabung, mendekati anak dan suaminya.
Seperti kemarin saat makan malam, sarapan pagi ini pun terasa sangat lengkap.
*****
"Kamu kapan siap kerja?" tanya Sita kepada orang diseberang sana.
"....."
"Oke, aku sudah atur semuanya. Kamu tinggal lanjutkan rencananya ya." Ucap Sita, ia menutup sambungan teleponnya.
Sita naik ke atas ranjang di mana Angga tengah menangis, dengan enggan ia membuka kancing bajunya untuk memberi ASI untuk putranya.
Hari-hari yang dijalani Sita menurutnya sangat membosankan, tidak bisa kemana-mana dan ruang geraknya terbatas karena Angga selalu menangis saat ia tengah ingin melakukan sesuatu. Misal berlama-lama berbicara dengan teman arisannya ditelpon.
"Sudah belum sih? Capek." Gerutu Sita saat Angga tak berhenti menyusu.
Terpaksa Sita menunggu Angga selesai dengan aktivitasnya, dan berharap nanti Sita bisa memanjakan dirinya untuk sejenak.
Sita memanggil jasa pijat ke rumah, untuk meredakan pegal-pegal terlalu lama menggendong Angga. Juga untuk perawatan wajahnya, semua Sita lakukan di rumah.
Suasana tenang membuat Sita nyaman, berbeda saat Ari dan Rista masih di sini. Baginya semua terasa sesak. Untung saja sepasang suami istri itu sudah pulang dua jam lalu, membuat Sita bernapas lega. Menahan cemburu itu tidak enak, cemburu? Sita tersenyum miring.
"Titip Angga, Mas." Kata Sita saat jasa pijat itu sudah datang.
"Iya, Ma." Ucap Ardi menurut saja, sebagai wujud memanjakan istrinya yang sudah lama tidak pergi ke salon kecantikan.
Pijatan demi pijatan meredakan otot Sita yang terasa kaku, wanita itu sampai tertidur dibuatnya.
****
"Mas, aku jadi kepikiran omongan Mas Ardi." Ucap Rista kepada Ari, mereka baru saja sampai rumah dan memasuki kamar.
"Jangan dijadikan beban ya, kita nikmati saja prosesnya." Kata Ari mencoba menenangkan hati istrinya.
Ari membuka laci nakas di samping ranjang, ia mengambil sebuah berkas. Hasil pemeriksaan yang ia lakukan dulu bersamaan dengan Rista, saking sibuknya jadi lupa memperlihatkan hasil tes kesuburan miliknya.
"Ini punyaku, aku belum sempat memperlihatkannya kepadamu Sayang."
Rista menerima selembar kertas itu, bibirnya tersenyum.
"Alhamdulillah, kita berdua sehat Mas."
Ari mengangguk. "Jadi, kamu tidak usah khawatir lagi ya. Kita berdua baik-baik saja, mungkin Allah ingin kita pacaran dulu."
Pipi Rista merona, ia sangat bersyukur mendapat suami seperti Ari yang selalu berpikir positif dan tidak menuntut.
"Jangan pikirkan suara sumbang orang lain, yang penting kita nikmati saja prosesnya." Ucap Ari sambil tersenyum lembut, senyum yang selalu menenangkan bagi Rista.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, mereka baru ingat belum ada makanan yang masuk ke dalam perut keduanya.
"Kita belum makan, kamu ingin sesuatu?" tanya Ari saat Rista siap membaringkan tubuhnya ke ranjang.
"Eh, iya kah? Tempe penyet boleh? Tiba-tiba aku kepengen."
"Ayolah." Kata Ari menuruti keinginan istrinya, bagi Ari kebahagiaan Rista adalah segalanya. Sudah semestinya ia membahagiakan sang istri, keberkahan lah yang Ari cari.
Ari mengeluarkan sepeda motornya dari bagasi, sengaja ingin menikmati angin malam bersama Rista. Rista menurut saja, naik apapun bagi Rista sama saja. Dipasangkan helm ke kepala Rista, lalu dipasangkan juga tali pengaman helm tersebut.
Mereka sampai di tempat makan langganan mereka, pujasera Ngaliyan. Pusat jajanan dan makanan itu selalu ramai, apalagi warung penyet "Mbak Tik" yang selalu menjadi langganan Ari dan Rista.
Dua porsi tempe penyet sudah tersaji, tempe hangat yang masih mengepulkan asapnya disertai sambal tomat begitu menggugah selera. Ditambah kerupuk dan teh manis hangat menemani makan malam mereka.
"Emmm..." Gumam Ari saat perpaduan tempe dan sambal tomat melebur menjadi satu dalam mulutnya, rasanya masih tetap istimewa seperti saat pertama mereka ke tempat tersebut.
"Enak?" Rista mengamati ekspresi suaminya.
"Masih sama seperti pertama kali ke sini, terima kasih sudah kasih tahu warung makan seenak ini." Kata Ari.
Sebelum kenal Rista, memang Ari tidak pernah makan di tempat-tempat seperti ini. Ia biasa makan di tempat mewah, atau restoran cepat saji bukan warung seperti ini.
"Mau nambah?"
"Boleh, tapi aku harus lebih banyak olahraga biar tidak gendut." Ucap Ari.
Ari memang sangat memperhatikan kesehatannya, bukan asal enak lali kalap makan sepuasnya mungkin sesekali boleh.
"Mas, tambah satu porsi lagi ya?"
"Iya Mbak."
Selesai makan, mereka pulang ke rumah. Berbincang sebentar, lalu mengistirahatkan diri karena besok mereka harus bekerja.
Kendal, 12/01/2020
Repost 12/04/2020