Arsenio berjongkok perlahan di depan Mikayla yang masih terduduk lemas di trotoar. Jemarinya yang panjang dan kuat meraih lengan Mikayla, membantu menegakkan tubuh mungil itu. Ia tersenyum hangat, berbeda dari biasanya. Tidak sinis, tidak mengintimidasi. “Kenapa kau sendirian di sini, Mikayla?” tanyanya tenang, seolah pertanyaan itu tidak mengandung kekhawatiran, padahal matanya bicara lain. Mikayla menggigit bibir, berusaha berdiri perlahan sambil menerima uluran tangannya. Lututnya masih terasa ngilu. “M-Maaf, Ar—” Ia buru-buru membetulkan kalimatnya. “Maksud saya, maafkan saya, Pak Arsenio. Saya tadi sedang belanja lalu seperti ada—” Kata-katanya terhenti. Ia menggeleng pelan, tidak ingin terdengar paranoid atau menambah beban pikiran pria itu. “Saya mau pulang, Pak.” Tangannya

