Chapter 3

1248 Kata
"Enak banget, ya, si Alfa. Dari SD sampai sekarang dapat bantuan terus. Mending jadi anak yatim piatu, ya, ternyata." "Iya, tasnya tadi keren banget." "Dapat seragam baru lagi." Tanpa sengaja penuturan sekumpulan anak lelaki itu sampai ke telinga Alfa. Keinginan macam apa? Jika bisa, Alfa malah ingin menukar semua bantuan yang ia terima dengan sosok orang tuanya. Kedua tangannya terkepal kuat. Dengan perasaan marah ia mendekati teman-teman yang tengah membicarakannya. "Maksud kalian apa?" tanyanya setengah berteriak. "Eh, Alfa. Enggak kok, kita cuma lagi ngobrol." "Dapat informasi dari mana kalau menjadi anak yatim piatu itu enak?" tanya Alfa lagi dengan nada suara yang lebih lirih dari sebelumnya. "Kita lagi bercanda, Al," sahut anak lelaki berkacamata yang kini beradu pandang dengan Alfa. Alfa mencengkram kerah seragam teman sekelasnya itu, seraya berkata, "Kamu pikir hal seperti itu layak dijadikan bahan bercandaan? Kamu gak tahu, 'kan gimana sakitnya hidup tanpa orang tua? Nggak akan ngerti juga gimana kosongnya hari-harimu tanpa kehadiran mereka. Dan kamu gak akan sadar seberapa berharga mereka sampai kamu merasakan sendiri sakitnya ditinggalkan. Kalau kamu mau tas ini, ambil! Ingin seragam dan peralatan sekolah ini, silakan! Tapi, jangan pernah berkeinginan menjadi anak yatim piatu hanya karena sesuatu yang akan kamu sesali nantinya. Perlu kamu tahu, mendapat limpahan bantuan sebanyak apa pun, gak akan pernah sebanding dengan kasih sayang yang kalian dapatkan  dari dua sosok hebat yang dinamai orang tua!" Alfa bergegas meninggalkan mereka. Lagi, hatinya dibuat sakit. Selama ini ia pura-pura buta dan tuli terhadap orang yang menatapnya iba, berkata sesuka hati tanpa tahu ada yang terluka. Sekarang, sudah benar-benar keterlaluan. Mereka melontarkan kata-kata yang dengan atau tanpa sadar membuat Alfa tersinggung, seolah menjadi anak yatim piatu itu adalah pilihan Alfa. Padahal bukan. Tuhan yang merencanakan semuanya, termasuk kepergian kedua orang tuanya. *** "Iya, Neng. Kalau di klinik itu teh Nenek selalu nunggu lama. Yang didahulukan pasti pasien umum aja. Udah teh, ya, suka judes perawatnya." Orion tersenyum getir mendengar ucapan nenek berjilbab di hadapannya. Rupanya masih ada saja tenaga kesehatan yang membeda-bedakan seseorang hanya dari statusnya. Untung saja di tempatnya bekerja tidak ada kebijakan demikian. Siapapun yang pertama datang, itu yang terlebih dahulu ditangani. Lain lagi jika ada pasien urgent, maka itulah yang didahulukan. Berperilaku tidak menyenangkan pada orang lain hanya karena status sosialnya saja, rasanya sangat keterlaluan. Seperti tak tahu teori mengenai roda yang berputar. Sewaktu-waktu kita berada di titik teratas. Jangan lupa, bahwa akan ada masa di mana roda itu bergulir, pelan, tapi pasti akan mempertemukan kita dengan titik terendah. Orion tersadar dari lamunannya ketika ponsel dalam saku celananya bergetar. Dahinya mengernyit melihat nomor tak dikenal menghubunginya. Laki-laki yang semula duduk berdampingan bersama temannya di bagian administrasi, berjalan ke ruang farmasi untuk bicara sejenak dengan orang di seberang telepon sana. "Hallo." *** Nao mengayuh sepedanya dengan semangat. Hari ini ia hendak menemui Alfa lagi——dan kakaknya bila beruntung. Cukup sore, seharusnya anak itu sudah pulang dari sekolah. Nao sengaja pergi ke mini market lebih dulu, membeli beberapa makanan kecil untuk di rumah Alfa nanti. Rumah Alfa tak begitu jauh dari komplek perumahan tempat tinggalnya. Hanya harus menyusuri gang sempit saja untuk sampai ke sana. Nao senang pada akhirnya ia dipertemukan dengan seseorang yang membuat pikirannya terbuka seluas-luasnya, bahwa di dunia ini banyak orang yang tak seberuntung dirinya. "Alfa!" Gadis itu berteriak memanggil anak laki-laki yang tengah berjalan sendiri. Lihatlah, seragamnya bahkan tampak kotor. Merasa terpanggil, Alfa langsung menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya, berbalik ke sumber suara. "Nona Sepeda," gumamnya kemudian. Setelah posisinya sejajar dengan Alfa, Nao menarik tuas rem dan berhenti. "Alfa, kamu mau ke mana? Terus ini kenapa kok kotor sih seragamnya?" Alfa menggeleng. "Kalau Alfa gak mau cerita, Kakak gak mau berteman sama Alfa lagi." "Nona Sepeda, tadi aku berantem di sekolah." "Kok bisa?" Alfa diam lagi. Bingung harus mulai bicara dari mana. "Kakak antar kamu pulang, ya? Kita boncengan. Ceritanya di rumah aja, biar enak." "Nanti Abang marah." Nao menggeleng cepat. Kalau ada yang berani memarahi Alfa, maka siap-siap saja berhadapan dengannya. Waktu SD dulu, Nao pernah menggigit lengan temannya sampai anak itu menangis. Pernah pula memukul kepala anak nakal di kelasnya dengan sapu. Masih banyak lagi sebenarnya, tapi Nao malu mengingatnya karena itu bukanlah prestasi.  "Tenang, nanti Kakak yang jelasin sama Abang kamu." *** Orion yang tadinya hendak lembur, demi menambah bekal untuk adiknya, malah terpaksa izin pulang lebih awal. Ada pemberitahuan dari pihak sekolah kalau Alfa baru saja bertengkar dengan kakak kelasnya. Rahang Orion mengeras menahan marah. Ia tidak mau terlihat meledak-ledak di depan adiknya. Bagaimanapun Orion harus bisa mengontrol emosinya. Langkah lelaki itu terhenti begitu menyadari tak hanya ada sang adik di dalam rumah. Ada sepeda berwarna merah muda yang saat ini terparkir di pekarangan rumahnya. Orion menajamkan telinga, terdengar gelak tawa yang bersumber dari dalam rumah. "Alfa!" Tawa Alfa kontan terhenti. "A--bang," jawabnya terbata. Melihat aura yang terpancar dari wajah sang kakak, jelas sekali kalau kakaknya sedang kesal. Pasti pihak sekolah telah membeberkan perihal pertengkarannya tadi.  Nao tersenyum ramah kemudian mengulurkan tangan. "Hallo, aku Nao. Kamu Orion, 'kan?" "Sedang apa kamu di rumahku? Kami tidak pernah mengundang orang asing ke sini." Nao menarik kembali tangannya yang tadi terulur begitu percaya diri. Kekaguman gadis itu luruh seketika. Apanya yang hebat? Orion bahkan sangat tidak ramah terhadap orang lain. "Kamu jangan galak-galak. Adik kamu sedang sedih. Tolong kondisikan suasana hati kamu." "Kamu nggak perlu ikut campur. Aku berhak melakukan apa pun pada Alfa." Alfa beringsut takut. Baru kali ini kakaknya terlihat begitu marah. Apa salah kalau Alfa berusaha mempertahankan kehormatannya? Apa tak bisa dibenarkan kemarahannya yang bersumber dari hinaan menyakitkan itu? "Kamu duduk sekarang, dan dengar apa yang mau aku jelaskan." Nao sudah mendengar semuanya. Tentang mereka yang mengolok-olok status Alfa. Tentang keributan kecil Alfa dengan teman sekelasnya, sampai Alfa yang bertengkar hebat dengan kakak kelas hingga saling pukul. Alasan anak itu cukup masuk akal. "Apa yang mau kamu jelaskan? Perkelahian dengan alasan apa pun gak bisa dibenarkan. Alfa itu pelajar, bukan preman. Untuk apa dia memukuli temannya sampai babak belur?" "Apa untuk membela diri pun salah? Kamu lebih rela Adik kamu menderita diolok-olok karena statusnya sebagai anak yatim piatu? Apa kamu suka melihat dia sakit sendirian? Teman-teman Alfa harus tahu, mana yang bisa dijadikan bahan bercandaan, mana yang tidak. Kamu sebagai kakak, seharusnya lebih bisa memahami Alfa, bukan ikut menyudutkan." Orion tertegun mendengar ucapan gadis itu. Perasaan bersalah menyeruak hebat. Adiknya diperlakukan demikian? Karena apa? Orion menyesal tidak bertanya lebih dulu duduk permasalahannya. Bodoh. Diamnya Orion, Nao jadikan kesempatan untuknya menjelaskan. "Mau aku yang jelasin, apa Alfa aja?" tanyanya sembari melirik Alfa. "Aku aja," sahut Alfa. Orion bergeming. Alfa mulai menjelasan semuanya. Tentang ia yang tiba-tiba dihadang dan dimarah-marahi karena pertengkaran kecilnya dengan Niko. Bahkan Adam——kakak Niko mengungkit kembali statusnya, mengatakan dengan tega kalau seharusnya Alfa tahu diri dan tidak marah karena ia yatim piatu. Selayaknya Alfa bersyukur banyak orang yang mengasihaninya. Jujur, kalimat seperti itu sangat menyakitkan. Di luar kontrolnya, Alfa melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai wajah Adam. Terjadilah perkelahian itu.  " ... Maaf kalau di mata Abang apa yang aku lakukan itu salah. Aku cuma membela diri," sesal Alfa. Ia berjalan cepat masuk kamar setelah menjelaskan apa yang dialaminya hari ini. Dengan perasaan lebih hancur dari sebelumnya. Tubuh Orion gemetar mendengar cerita sang adik. Terlebih ia melihat adiknya itu menangis sambil lalu dari hadapannya. Lagi, ia mengutuk kebodohannya. "Sekarang lihat, apa yang kamu lakukan pada Alfa barusan, lebih menyakitkan lagi, Orion. Kalau kamu beranggapan bahwa dia hartamu satu-satunya, Alfa juga sama. Kamu itu segalanya buat dia. Ketika orang yang dianggap segalanya ikut menyudutkan dia, bayangkan sendiri bagaimana sakitnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN