Pagi harinya, Kanaya bangun dengan kepala yang berdenyut nyeri. Matanya yang sembab, rambutnya yang acak-acakan. Dengan hidung yang memerah. Berkali-kali ia menghela napasnya berat. Masih tetap terluka tiap kali teringat akan hal semalam. Entahlah, apa penjelasan Reynand tentang itu. Hanya saja, semalam. Kanaya langsung saja menonaktifkan ponselnya. Begitu panggilannya berakhir. Masih terlalu sakit untuk mendengarkan kata-katanya. Yang mungkin saja benar. Tentang ia yang memilih mencari kepuasan dengan wanita lain. Selama dirinya belum bisa disentuh olehnya. Dan itu menyakitinya. Walaupun Kanaya sadar, hal itu mungkin saja terjadi. Mengingat jika Reynand juga adalah pria normal. Yang pastinya butuh penyaluran akan birahinya. Kanaya hanya kesal. Apakah tak bisa Reynand memilih untuk m

