Bahasa Lain dari Cinta

1052 Kata
Aku terhuyung hampir terjerembab saat tangan besar itu mendarat keras di pipi kiri. Tapak lima jarinya membekas di sana. Pedih, tapi di dalam sini rasanya ribuan kali lebih sakit. “Itu hukuman untukmu yang terlambat datang saat sudah kupanggil tiga kali berturut-turut.” Mata besarnya menyalak, menatapku sinis. Dia menyalakan rokoknya, melempar korek dengan kasar. Duduk dengan meletakan kedua kaki di atas meja. Dia lelakiku. Orang yang telah mengucapkan ijab setahun yang lalu Apa aku menangis? Tidak. Aku tidak sudi menjatuhkan air mata setetes pun di hadapannya. Untuk kekerasannya yang kubisa adalah berdo'a. Berdo'a agar Tuhan mau mengetuk pintu hatinya pada kelembutan. Pada kasih sayang, juga pada cinta yang fitrah. “Buatkan kopi!” sentaknya. Gegas langkahku berjalan ke dapur. Membuat kopi kesukaannya. Kopi tanpa gula. Pahit. Sepahit hidupnya. Aku tahu masalalu yang pernah dijalaninya sangat sulit. Menerima kekerasan setiap waktu bahkan pukulan yang bertubi setiap kali hukuman itu jatuh padanya.  Hukuman yang bukan dari kesalahan yang dia perbuat. Hanya untuk melindungi jiwa rapuh dalam hidupnya. Ibu. Dia sangat menyayangi ibunya yang kerap dianiaya oleh sosok yang seharusnya jadi pelindung. Tapi hari itu ibunya pergi saat dia berhasil membawakan obat yang dibelinya dengan susah payah. Dia tumbuh dengan kebencian dengan kesepian juga dengan kesakitan. Bukan fisik tapi sudut hatinya yang kerap menjerit. Aku tahu semua tentangnya dari cerita yang tak berhenti mengalir dari bibir ayah. Aku berusaha mengerti kenapa dia bersikap seperti ini.  Sakit yang terpendam, benci yang lama tertahan dan jati diri yang mulai menghilang. Begitulah yang dirasakannya. Jika aku tak punya hati, mudah saja untuk membunuhnya. Dengan mencampurkan rackus atau sianida ke kopi ini lalu dia meminumnya. Selesai. Apa susahnya?  Tapi cinta tidak sesadis itu bukan? Ia lebih memilih merengkuh luka dengan caranya sendiri. Meredam lara di dalam tabahnya. Mendo'akan yang terbaik bahkan untuk seseorang yang kerap melukainya. Itu caraku menyentuh hatinya. Meski entah sampai kapan batu di hatinya akan terbelah dan kebekuan dalam otaknya bisa mencair.   *** Pagi ini aku melihatnya termenung di balkon rumah. Rambutnya yang sedikit gondrong sebagian hampir menutupi bagian matanya. Melamun lama di sana dengan pikiran yang tidak kuketahui tengah terbang ke belahan dunia yang mana.  Diam-diam aku memperhatikan dari balik pintu penghubung antara kamar dan balkon. Memperhatikannya dalam diam sedang d**a bergemuruh kencang. Tubuh kekar bertelanjang d**a, kotak-kotak di perutnya, bulu-bulu yang tumbuh di dadanya, postur tubuh atletis dengan wajah setampan arjuna. Nyaris sempurna andai dia bisa bersikap lembut sedikit saja. Jangankan kelembutan, tersenyum sekali saja untukku rasanya belum pernah. Sejak menikahiku Ayas tak pernah sekali pun menyentuh. Kami tidur satu kamar, berbaring di ranjang yang sama dengan guling sebagai pembatas. Dan selama itu tidak ada hal yang menghangatkan kebersamaan. Dia tidur memunggungiku dan aku hanya mampu melihatnya pulas dengan posisi meringkuk.  Tinggal satu atap tapi seperti dua orang asing yang tak saling mengenal. Itu menyakitkan, untukku yang perlahan-perlahan mulai mencintainya. “Kau sedang apa nyender di situ?” pertanyaan itu membuatku gelagapan dan hampir menjatuhkan gelas kopi di tangan. Dia sudah berdiri di depanku, sejak kapan? “Membawakan ini.” Aku menyodorkan kopi yang aromanya menguar ke indra penciuman. “Letakkan saja di meja. Keluarlah dari kamar. Aku mau mandi.” Tatapnya dingin.  Ya selalu begitu. Tidak ada ucapan terimakasih untuk segelas kopi, untuk rumah yang bersih, dan untuk makanan yang kumasak dengan susah payah lalu terhidangkan.  Melihatnya sehat dan baik-baik saja itu sudah cukup untukku. Melihatnya pulang melepas lelah karena berkutat dengan pekerjaannya seharian di kantor, sudah membuatku tentram.  Menatap wajah pulasnya saat tertidur atau seringkali mendengarnya mengigau menyebut-nyebut namaku. Di situ fillingku mengatakan ada tempat istimewa di sudut hatinya untukku. “Keluar!” sentaknya menggelegar. Sebelum berlalu dari hadapannya sempat kulihat manik hitam itu merah dan basah. *** “Sebentar,” ucapku menghentikan langkahnya yang hendak membuka pintu mobil. “Apa lagi?”  “Dasinya berantakan.” Aku merapikannya pelan-pelan. Tersenyum padanya tapi lelakiku selalu membuang pandangan setiap kali manik hitam kami beradu. Aku masih berdiri di depan hingga mobilnya menghilang di tikungan jalan.  Tiba-tiba hp di saku bergetar. Ada pesan wa masuk. Dari Ayas. [Jangan jadi perempuan menyedihkan yang setiap hari mengurung diri di rumah besar. Pergilah ke luar. Kau bisa bersenang-senang dengan uang yang selalu kutransfer setiap bulan.] Mataku membulat membaca pesannya. Hatiku menghangat. Tak menyangka jika akhirnya dia menunjukkan sisi perhatiannya.  ‘Aku hanya ingin pergi jika itu bersamamu.’ Gemetar, akhirnya kubalas juga pesannya. ‘Jangan harap. Aku tidak sudi pergi ke luar denganmu.’ Balasan itu membuat hatiku teremas. Lagi-lagi aku harus mengambil napas lalu membuangnya perlahan-lahan. Itu caraku untuk menetralisir kesedihan.  *** Hari-hari berlalu sebagaimana mestinya. Dan lelakiku tetap menjelma sosok fir'aun yang angkuh dan sombong. 17 purnama nyatanya belum cukup untuk bisa mengambil hatinya. Apa aku masih bertahan? Ya, aku masih ingin bertahan dan suatu hari ingin membuktikan bahwa kebencian akan kalah oleh kebaikan yang tulus. Tidak peduli jika sebagian mereka menganggapku perempuan bodoh yang hanya diam ketika diperlakukan kasar oleh suaminya.   Setiap orang berhak menentukan pilihan atas hidupnya. Dan ini pilihanku. Mencintainya dalam diam. Mencintainya dengan sabar. Bukankah batu yang begitu keras bisa berlubang oleh tetesan air yang berulang-ulang.  Begitupun luka dan kebencian dia akan luluh oleh kebaikan. Selama hatiku masih sanggup mencintai maka luka sekalipun masih bisa kunikmati.  Ayas tidak lagi memukulku, tidak lagi membentak saat keinginannya tak terpenuhi, tidak lagi memarahiku karena telat membuatkan kopi.  Dia tak pernah lagi berbicara padaku sejak kedatangan seseorang. Lelaki dari masa laluku. Entah ada perlu apa Seno ke rumah, dia bertemu dengan Ayas dan mengobrol ke tempat yang jauh dari jangkauanku. Sejak saat itu lelakiku membisu. Rumah ini hening bahkan tak pernah ada percakapan lagi. Aku yang sering mengajaknya bicara tak pernah di jawabnya. Malam sudah begitu larut. Ayas belum pulang. Aku menunggunya di depan teras. Beberapa kali menguap hingga akhirnya ketiduran di kursi. Esoknya terbangun dengan kaget saat menyadari sudah terbaring di kamar dengan selimut tebal di badan. Apakah Ayas mengangkat tubuhku semalam? Kenapa aku tidak terbangun dan merasakannya? Tubuhku berbalik dan saat itu kurasakan tungkai kaki waktu berhenti berjalan. Wajah damai yang tak berjarak dengan wajahku. Bisa kurasakan hembus napasnya. Dadaku berdetak ribuan kali lebih cepat. Berada sedekat ini bahkan tadi sempat kurasakan bibir kami beradu tak sengaja.  Dia menggeliat dan cepat aku menarik diri menjauhinya. Duduk termenung lalu melirik jam dinding yang menunjuk angka 04.00 .  Aku harus mandi, menyiapkan sarapan dengan menu istimewa dan merias wajah agar terlihat segar dan menarik di depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN