Tiga tahun berlalu ….
“Kita sudah sampai,” ucap seseorang menyadarkan lamunan sosok lain di sisinya.
Pria itu menoleh ke kiri. Tepat di sebuah gedung bertuliskan “Yayasan Insan Mulia”. Rasa rindu kian membelenggu. Tempat itu menyimpan banyak memori masa kecil yang tak terlupakan. Dimana, ia dan sosok yang dicintai selalu bersama bagai perangko tak bisa terpisahkan.
Berdiam diri telah membuat rindunya semakin menggebu. Itu mengapa ia ada disini, disebuah tempat yang pernah disinggahi.
“Mau masuk sekarang?”
“Hmmmm.”
Tak lama langkah kaki keduanya menjejaki area fasad sebelum disambut oleh pegawai yayasan tersebut.
“Pak Ali, ya?” tebak wanita dengan name-tag Lula.
“Iya, salam kenal. Ibu Lula, ‘kan?”
Ali menangkup kedua tangan didepan dadaa ketika melihat wanita muslimah di hadapannya.
“Iya, Pak.”
Sosok pria yang masih memakai kacamata hitam, hanya menunjukkan raut senyuman bersama kedua tangan didepan dadaa.
“Mari saya antar ke ruang ibu kepala.”
Langkah kaki mereka mengekori Lula. Sesekali Ali dan temannya saling beradu pandang, berharap tujuannya kali ini berhasil.
Tiba di ruang kepala yayasan, Lula mengetuk dan mengucap salam, sebelum suara lembut itu akhirnya menyahut.
“Waalaikumussalam. Masuk.”
‘Aku rindu suaranya.’
Pria berkacamata hitam bergumam pelan, seakan tak sabar bertemu pujaan yang pernah terpatri di hati.
Tak butuh waktu lama, pintu pun terbuka. Sosok pria itu memandang ke arah wanita yang tengah menata bunga segar dalam vas, wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan senyum ceria.
“Bu Humaira, ini CEO dan wakil dari Moonlight Edutech yang ingin menjalin kerjasama.”
Humaira yang tengah berdiri—fokus menata bunga segar di meja kerjanya, langsung mendongak. Seketika itu pula jantungnya mencelos.
‘Ha-Hafiz?’
Tanpa terduga vas bunga tersenggol hingga memecah keheningan.
Prang!
Kebisingan terjadi. Lula panik dan langsung menghampiri atasannya.
“Ibu! Astagfirullah, Ibu kenapa?” Tanya Lula, histeris.
Hafiz yang juga merasa cemas sejujurnya ingin mendekat. Namun, ia tetap diam di tempat karena tak ingin Humaira semakin kebingungan.
Well. Ahmad Hafiz—CEO sebuah perusahaan Education Technology yang membantu instansi pendidikan untuk menemukan solusi pembelajaran yang lebih bermutu dan berkualitas. Kedatangannya ke tempat itu bukan tanpa sebab. Alih-alih bekerja sama, Hafiz memang ingin melindungi Humaira diam-diam.
“Sa-saya nggak apa-apa, Lula.”
“Hati-hati pecahan kaca, Bu.”
Lula menuntun Humaira menjauh dari sumber kekacauan. Sementara dua tamu itu masih membeku di ambang pintu, bingung bercampur ragu.
“Lula, bawa tamu langsung ke ruang rapat saja, ya.”
Setelah itu Humaira berbalik, menghindari tatapan Hafiz. Tubuhnya benar-benar tak bisa dikendalikan.
“Baik, Bu.”
Humaira menahan bobot tubuhnya dengan menggenggam ujung meja. Setelah mendengar suara pintu tertutup, ia baru bisa bernafas dengan lega.
Entah mengapa desiran darah bergolak. Humaira bingung mengartikannya. Apakah karena takut, marah, atau … bahagia? Humaira benar-benar tak bisa mendeskripsikannya. Melihat Hafiz dengan tatapan yang berbeda, membuat Humaira merasa asing. Ia tak lagi mengenal pria yang pernah tersenyum manis walaupun tipis.
Penampilan Hafiz pun terlihat berubah signifikan. Waktu itu, Hafiz terlihat sangat introvert, bahkan terbilang ‘cupu’. Dan saat ini, ia melihat Hafiz sebagai sosok berbeda setelah mengenyam pendidikan selama tiga tahun di negara liberal.
Pria itu menjadi sosok penuh pesona—tampan, mapan, tubuh atletis dan terlihat jelas sangat berintelektual. Siapapun wanita yang memandangnya pasti langsung jatuh hati. Humaira mulai terkecoh dengan perasaannya.
‘Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?’
***
“Maaf menunggu lama. Kita mulai saja pertemuan hari ini. Lula sudah bisa dibuka,” ucap Humaira datang dengan kepercayaan diri penuh meski keraguan masih membayangi. Ia mendaratkan bokoong di kursi pimpinan. Saat itu pula matanya bersirobok dengan Hafiz yang ada di serong kanannya.
Tak ada kalimat yang terucap. Hafiz juga cukup terkejut dan mengacungi jempol atas keberanian Humaira bertemu dengannya. Melihat senyum tipis yang menghiasi wajah sang wanita, membuat hatinya menghangat. Ia rindu sosok Humaira yang ceria. Tidak seperti yang ia lihat saat ini. Seakan penuh tekanan dan depresi.
Di ruang rapat hanya ada mereka berempat sebagai penanggung jawab. Ketika Ali sudah berdiri untuk mempresentasikan program kerja mereka. Hafiz dan Humaira tidak benar-benar fokus, cenderung abai terhadap apa yang disampaikan.
Tiga puluh menit berlalu.
Hafiz masih mencuri pandang pada sosok di depan sana. Begitu pula Humaira yang masih tak percaya pria itu ada di depan matanya. Bahkan begitu dekat dalam jangkauannya.
“Ada pertanyaan?” Tanya Ali di akhir presentasi. Namun yang ia dapatkan keheningan. Baik Hafiz dan Humaira sama-sama tenggelam dalam kebimbangan.
“Bu, ada yang mau ditanya nggak?”
Lula menyentuh tangan Humaira hingga wanita itu terkejut.
“Ya, bagaimana Lula?”
Humaira menoleh dengan cepat lalu bergerak tak paham.
“Pak Ali sudah selesai presentasi, ada yang mau Ibu tanyakan nggak tentang program yang ditawarkan.”
Jujur saja, Humaira tak tahu apa yang disampaikan Ali selama tiga puluh menit tadi, secuil pun. Itu mengapa ia tampak linglung.
“Menurut kamu bagaimana?” tanya Humaira. Mereka berbisik hingga hanya terdengar desisan.
“Bagus sih, Bu. Sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Ada juga pertukaran peserta didik ke luar negeri. Ini bisa meningkatkan akreditasi kita.”
Humaira menangkap respon positif dari Lula meski tidak dengan hatinya. Jika mereka bekerjasama, bukankah sama saja akan membelenggu dirinya dengan masa lalu?
Ali dan Hafiz saling bertukar pandang ketika melihat kedua wanita itu tengah mempertimbangkan.
‘Aku harap kita bisa kerjasama, Humaira. Setidaknya, itu cara aku menebus kesalahanku padamu.’
Dalam hening Hafiz memohon. Ada sesuatu yang membuat ia ingin berada di samping wanita itu, melindunginya dari segala ancaman yang membayangi.
Waktu berlalu, kesepakatan itu memang belum terjalin. Namun Hafiz merasa lega karena Humaira ingin mempertimbangkan lagi. Setidaknya ada alasan untuk tinggal lebih lama disana.
Setelah sesi presentasi, mereka beranjak untuk visit tour lahan luas yayasan yang terdiri dari berbagai tingkatan mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Tentu saja Humaira menangani semuanya sendiri. Dan ialah sosok pejuang. Tak pernah ingin terlihat hancur di tengah kerapuhan hatinya.
Lula dan Ali sudah keluar lebih dulu. Tinggal Hafiz dan Humaira yang ada dalam kecanggungan. Ketika mereka hampir beranjak, tiba-tiba sebuah suara menghentikan.
“Humaira ….”
Langkah kaki Humaira berhenti di ambang pintu saat mendengar suara Hafiz yang begitu merdu.
“Apa kabar?” tanya Hafiz ketika tak ada jawaban.
Humaira mematung. Dibalik keterdiamannya ada sebuah getaran di tubuh, respon alami terhadap rasa gugup bercampur emosi.
“...”
“Aku rindu,” sambung Hafiz.
Deg!
Jantung Humaira langsung terhentak. Mendengar kata rindu yang seharusnya tak pernah terucap dari bibir pria itu. Yang ia rasakan adalah kepalsuan. Humaira tak yakin ada rindu menggebu dalam diri pria itu. Jika Hafiz rindu, bukankah mereka sudah lama bertemu?
“Untuk apa?”
Sebuah pertanyaan terdengar dingin. Humaira mengepalkan jemarinya di gagang pintu yang masih tertutup. Sementara ia enggan untuk membalikkan badan.
***