2 -| Ciuman Pertama

1657 Kata
Sudah lewat beberapa hari Gabriela menjalani kegiatan di sekolah barunya, tidak ada yang berubah, telinganya masih saja gatal karena bisikan dari orang sekitar. Gabriela sendiri tak tahu alasan apa mereka membicarakannya dibelakang, sekali lagi ia tak ingin peduli. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Seperti biasanya, Gabriela berangkat ke sekolah menggunakan motor kesayangannya. Tak ada niat sedikitpun untuk menunjukkan apapun, bahkan niatan untuk mencari perhatian pun tak pernah terlintas dalam pikirannya. Membawa roda dua kesayangannya murni karena Gabriela memang gemar memakai motor, saat di negara asalnya saja Gabriela bebas menggunakannya kemana pun. Saat ia pindah kesini, rasanya kurang seru jika tak membawa si black, nama motor yang sudah menemaninya beberapa tahun ini. Drrt Drrt Baru saja turun dari motor, Gabriela dikejutkan dengan ponselnya yang bergetar. Merogohnya dari saku jaket lalu menatap sekilas nama yang tertera dilayar, Gabriela tersenyum tipis, jarinya lincah menggeser icon hijau lalu membawa ponsel itu kesamping telinga. "Ya mom" sapanya lembut "Kenapa tidak mengabari mommy saat sudah sampai di sana hm? Bagaimana cuaca disana? Apa putriku membutuhkan sesuatu? Biar daddy mengirimkan sesuatu jika kamu membutuhkannya sayang" ucap dari seberang sana Gabriela memutar bola matanya malas, sudah ia duga sejak menerima panggilan ini, bukan mommy nya jika tidak khawatir seperti sekarang. Melepas ransel yang bertengger di punggung, Gabriela mendudukan kembali tubuhnya diatas motor. Melirik arloji sekilas, memastikan bahwa bel masuk masih beberapa menit lagi. "C'mon mom, aku gak sempat. Banyak yang harus aku urus disini. Lagipula bukan kali pertama aku ke Indonesia kan. Tentang cuaca dan lain sebagainya aku rasa masih aman. Dan mommy tidak perlu mengkhawatirkan aku sebegitunya oke" jawabnya masih dengan nada lembut, sama sekali bukan Gabriela seperti apa yang orang lain tau. "Benarkah sayang?" Tanya mommynya memastikan "Tentu, mommy tenang aja nanti kalau ada waktu luang aku akan menghubungi mommy. Sekarang sudah waktunya aku masuk kedalam kelas, mommy tidak ingin putri cantiknya ini terlambat kan?" Terdengar helaan nafas dari sang mommy, "Oke mommy mengerti, cium mommy dulu untuk tanda sayang" Gabriela terkesiap, menegakkan punggung sembari berdeham, lalu tangannya menutup diantara sisi bawah ponsel dan mulut. Melirik sekitar, takut-takut akan ada yang mendengar "Muah, bye mom" ucapnya lirih Menghela nafas dalam, Gabriela mematikan panggilan dari mommynya. Memasukkan ponsel kedalam saku jas lalu berjalan masuk kedalam kelas. Fyuh.. Mati-matian Gabriela membangun karakter dingin tak tersentuh dihadapan orang lain, mana bisa ia jatuhkan begitu saja hanya dengan mendengar dirinya berbicara di telepon dengan mommynya. Untung saja ia aman tadi, jika tidak ia sendiri tak tau apa yang akan terjadi. Image cueknya pasti akan hancur. Begitu berada dikursi yang sudah beberapa hari ia huni, Gabriela kembali menampilkan sifat biasa. Kembali tak mempedulikan seseorang yang tengah meliriknya tanpa berkedip. Merasa semakin diperhatikan, Gabriela menoleh kesamping sembari mengangkat alisnya sebelah, sedang seseorang yang meliriknya segera berpaling. "Kena kau!" Batin Gabriela Kembali memalingkan wajah, Gabriela menarik satu sudut bibirnya. Adrian tadi penasaran saat melihat Gabriela berbicara dengan seseorang disambungan telepon, gelagat gadis itu mencurigakan, apalagi saat Gabriela menutup mulutnya dan berbicara sangat pelan. Sungguh bukan apa-apa, Adrian hanya penasaran. Tapi buat apa juga dirinya peduli, memang siapa Gabriela. Dengusnya dalam hati, merutuki kebodohannya barusan. ... Saat terdengar suara bel istirahat menggema diseluruh penjuru ruangan, segera seluruh siswa berhambur keluar. Berbeda dengan Gabriela yang bangkit dengan malas, tadinya ia tak berminat untuk sekedar beranjak dari kursi. Tapi karena perutnya kosong belum terisi apapun sedari tadi, Gabriela memutuskan untuk mencoba makanan di kantin sekolahnya. Selain karena mencegah sakit perut yang akan merepotkan dirinya sendiri, hitung-hitung Gabriela juga menghemat biaya hidupnya diluar. Ah pintar sekali dirinya! "Sabar ya nak" bisiknya sembari mengusap perutnya yang keroncongan Melangkah santai, Gabriela membawa tubuhnya menuju kantin sekolah, masih sama dari pertama ia datang, seluruh mata pun tertuju kepada dirinya. Gabriela tak acuhkan semua itu, diluar ia akan selalu menampilkan perangai tak peduli. Tanpa membuang waktu, Gabriela segera mengambil beberapa menu makanan dan minuman, membawa nampan makannya di meja paling pojok yang sedang kosong. Sebenarnya masih banyak kursi kosong disana, namun karena Gabriela selalu suka menyendiri akhirnya meja paling pojok adalah pilihan terbaik. Terbiasa mandiri, Gabriela sudah tidak merasa kesepian. Ia malah lebih suka jika tak diganggu orang lain, walau banyak yang menawarinya makan bersama dan kebanyakan dari mereka adalah pria, Gabriela sedikitpun tak merespon, jangankan menjawab ajakan mereka, menoleh saja tidak. "Sombong banget gadis pindahan itu" "Cih, sok banget" "Maklum lah orang cantik" "Cantik-cantik, jutek" "Tapi dia tuh beneran cantik loh" Begitulah kicauan yang terngiang ditelinganya, sekalipun mereka menjuluki Gabriela seorang wanita jutek atau entahlah apa pun ia akan tetap tak akan terpengaruh. Memilih menyuapkan makanan kedalam mulut lalu mengunyahnya santai, Gabriela lebih fokus kedalam kegiatan makannya kali ini. "Ngapain lo duduk disini?" Tak ada angin tak ada hujan, sudah ada seseorang berdiri menjulang didepan Gabriela duduk. Gabriela menatapnya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan kala ia tau siapa yang baru saja menganggunya, tanpa menjawab Gabriela kembali makan dengan lahapnya. "Nih bangku punya gue, eh semua bangku disekolah ini ding. Karena lo udah duduk dibangku gue, lo harus nemenin gue makan kalo gitu. Itung-itung lo bayar sewa" Bukannya pergi karena penolakan terang-terangan yang Gabriela lalukan, pria itu malah mengambil duduk tepat didepan Gabriela sambil mengoceh panjang lebar, baiklah Gabriela baru tahu kalo pria didepannya ini sangat menyebalkan. Ingatkan dirinya jika pria didepannya ini adalah putra pemilik sekolah. Iyuh! Sedang pria tadi sengaja meletakkan nampan makannya ke meja lalu dengan tak tahu malunya, pria itu mulai meyuapkan makanan kedalam mulut. Tak mengindahkan tatapan tajam Gabriela yang tadi ia layangkan sebagai tanda penolakan. "Selain budeg lo bisu juga ya ternyata" tukas pria itu Gabriela menghentikan kegiatan makannya, menatap jengah kearah Adrian. Ya, pria tak tahu diri itu adalah Adrian, teman sebangku Gabriela. "Kok bacot!" batinnya Menghela nafas dalam, Gabriela meletakkan sendok dengan kasar keatas nampan, ia beranjak berdiri dan tanpa bisa dicegah ia berjalan meninggalkan Adrian sendirian. Ia kesal, Adrian ternyata sangat menganggu padahal dirinya diam saja tadi. Astaga Gabriela hanya ingin menjalani hidup dengan tenang. Menatap penjuru ruangan yang tengah memperhatikannya sembari berbisik sinis, Gabriela membawa kakinya pergi dari sana. Membuat semua orang yang berada disana terheran-heran. Sedang Adrian yang masih berada ditempat duduk pun hanya memperhatikan Gabriela dari jauh, ikut menghentikan makannya, meletakkan sendok yang ia pegang lalu tersenyum miring. "Lucu" lirihnya Bukannya marah karena merasa terhina, Adrian malah menampilkan senyum sumringah saat melewati beberapa siswa di kantin, membawa langkahnya pergi dari sana. Membuat seluruh siswa disana terpekik kaget, bahkan selama ini tidak ada yang bisa menarik perhatian pria yang dijuluki paling tampan itu. Bahkan untuk membuat senyum tipis terbit saja tidak ada yang mampu. Dan sekarang, hanya karena tak diizinkan makan satu meja saja Adrian sudah begitu senang.Ya, tadi dirinya hanya mengerjai Gabriela, tempat duduk pojokan adalah tempat yang Adrian gunakan biasanya, gadis itu malah sembarangan duduk. Tentu berbeda jika itu bukan Gabriela, mungkin sudah mendapat makian tajam bahkan akan terang-terangan diusir. Dan Adrian sendiri tak mengerti dengan dirinya, seperti ada yang menarik dari gadis pindahan itu. Tak peduli dengan rasa lapar yang tadinya mendera, Gabriela lebih merasa jengkel dengan teman sebangkunya itu. Bisakah ia menjalani hidup dengan normal, walau tujuan Adrian mungkin hanya ingin berteman atau sekedar menyapa, tapi Gabriela tak suka dan tak ingin itu. Meninggalkan kantin, Gabriela berjalan menaiki tangga menuju atap sekolah, kali ini tempat itu menjadi tempat favorite Gabriela untuk menyendiri. Berdiri di pinggir pagar pembatas, Gabriela memejamkan matanya sejenak merasakan sapuan angin diwajahnya, membuka mata lalu menatap lurus kedepan melihat pemandangan dari atap sekolah. Ia menghirup dalam udara sejuk disana, mengarahkan ponsel yang sedari tadi di genggamnya kearah depan. Dilayar ponsel terpampang sosok gadis cantik dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas. "Lihat kak, aku disini sekarang. Aku disekolah lamamu" ucapnya seolah tengah berbicara dengan seseorang. "Woah.. Sungguh tenang disini" imbuhnya Gabriela menyimpan ponselnya ke dalam saku seragam, memejamkan matanya kembali, menikmati silir angin yang menerpa rambut dan wajahnya. Sungguh menenangkan disini, seakan ia terlepas dari jeratan kesedihan yang ia alami. Gabriela begitu larut, meresapi ketenangan yang ia rasakan sekarang. Tak menampik bahwa ia juga menyukai tempat dimana kakaknya dulu sering menghabiskan waktu. Selain diapartemen, Gabriela juga lebih senang disini. Tidak ada yang menganggunya, telinganya aman dari kicauan burung kurang konsumsi, ia juga bisa menjadi dirinya sendiri kala tak ada siapapun. Ia lebih bebas, bebas menyalurkan kerinduan pada kakak yang amat sangat ia sayangi. Karena saking larutnya, Gabriela tak menyadari bahwa ada seseorang yang tengah berjalan mendekat. Ia baru saja tersadar kala merasakan tepukan pelan dipundaknya, ia terkesiap tentu saja. Karena terkejut, dengan cepat Gabriela membalikan tubuhnya ke belakang, mencari tau siapa yang tengah menepuk pundaknya. Namun sayang, saat tubuhnya berhasil berbalik ia sama sekali tak menyadari bahwa kakinya masih tak berpindah posisi. Ia merasa tak seimbang, tangannya mencoba meraih pegangan pada sosok yang saat ini berada dihadapannya. Karena panik, Gabriela menarik dasi orang itu untuk mencegah tubuhnya terjungkal kedepan. Bukannya semakin seimbang, tubuh Gabriela malah terhempas kedepan karena seseorang yang menjadi pegangan menariknya kuat. "Eh eh.." Tubuh mereka berdua limbung dan jatuh kelantai, Gabriela tanpa sadar menutup matanya takut. Merasa bahwa tubuhnya sama sekali tak sakit, Gabriela mengernyit bingung. Bukankah menyentuh lantai dengan keras akan menimbulkan nyeri dibeberapa bagian tubuh, atau setidaknya perih karena lecet kan. Tapi Gabriela sama sekali tak merasakan apapun, namun aneh saat ia malah merasa seperti ada matras empuk dibawahnya, apalagi saat merasakan bibir nya menempel pada benda kenyal yang hangat. Gabriela membuka matanya perlahan, takut-takut jika saja ia sudah berada disurga bersama kakaknya karena jatuh dari atap sekolah. Atap sekolah berada dilantai 5, lantai paling atas gedung sekolahnya. Jika ia jatuh, mungkin paling ringan adalah patah tulang dan yang paling fatal adalah tulang tengkoraknya retak bahkan bisa saja ia meninggal ditempat. Pikirannya melayang jauh tanpa berniat beranjak, dan tepat saat matanya terbuka sempurna. Ia terbelalak kaget melihat siapa yang berada didepannya, ah berada dibawah lebih tepatnya. Dengan posisi bibir yang masih menempel, Gabriela membulatkan matanya tak percaya, setelah sadar sontak ia menjauhkan diri, segera beranjak berdiri dengan wajah memerah seperti tomat. "Lo betah banget diatas, main peluk cium gue segala" "Ad.. Adrian?" Pekiknya dalam hati To be Continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN