“Coba buka mulutnya, ulurkan lidahnya ya... anak pintar. Iya benar, begitu! Bagus, baik!”
Hansika tengah menunduk pada pasien anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Ditangannya senter kecil dan alat pengintai mulut. Hansika tengah mengamati amandel di kanan-kiri yang membengkak.
“Sudah agak mengecil, masih memerah. Makannya tetap dijaga ya. Perbanyak minum air putih.”
Orang tua pasien yang ikut menemani memberi anggukan, “baik, dok. Kalau di rumah ke awasi, dok. Nah pas disekolah yang sulit. Apalagi Verel baru mengenal lingkungan sekolahnya.”
“Bukannya disekolah sudah menerapkan aturan tidak jajan di luar pas jam istirahat, sudah begitu program pemerintah sekarang berjalan dengan baik, mengenai makan gizi nasional.” Walau beberapa kasus keracunan anak-anak sekolah sempat terjadi, tapi program ini terus dievaluasi. Hansika tahu, sebagai dokter anak ia mengikuti perkembangannya juga. Memperbaiki gizi anak-anak, jadi pemerhatian khusus.
“Iya, dok. Cuman pas pulang sekolah, tetap saja jajan di luar sekolah.”
Hansika mengerti kekalutan orang tua ini, tapi juga tidak bisa menyalahkan pihak penjual yang juga berupaya memberi makan keluarganya dengan berjualan. Ia menatap pasiennya, “Verel kalau disekolah boleh kok jajan, tapi jangan sembunyi-sembunyi dari Mama... Misal beli makanan, bawa pulang terus tunjukkan ke Mama atau Papa dulu ya sayang? Tanyakan pada Papa-Mama, apa baik untuk Verel makan? Kan kalau Verel amandelnya ini kambuh, yang merasakan sakit... Verel sendiri? Jadi enggak bisa sekolah, enggak bisa main sama teman-teman.”
Anak itu seperti terkesima menatap Hansika, kemudian memberi anggukan.
Hansika mengusap pipinya, lalu suster mendekat memberikan satu kantung dengan motif super hero yang lucu. Isinya s**u dan biskuit dari sayuran, pun ada alat tulis.
“Hadiah karena sudah berani periksa,”
Senyum bocah itu melebar, “makasih dokter cantik!”
“Aah, jadi senang dipanggil cantik sama Verel. Sama-sama sayang. Nanti obatnya janji harus diminum, dan mau makan. Oke?”
“Oke!”
Hansika berbalik, duduk kembali dan menuliskan resep obat. Dia berikan pada orang tuanya, pasien kecilnya itu juga memberi salam saat melenggang keluar.
“Ada lagi Suster Malika?” Malika—asisten yang bekerja untuknya hari ini.
“Verel, pasien terakhir dok.”
Hansika langsung mengangguk, melepas stetoskop dari leher dan meletakan di atas meja. Ruang beraroma lembut itu hening sejenak, suster Malika merapikan yang lain. Sementara tatapan Hansika tertuju pada berkas medis para pasiennya. Ia mulai membuka satu per satu catatan digital di layar tablet. Mulai menulis evaluasi singkat. Recovery stable dan follow-up dalam satu minggu.
Ia memijat tengkuknya sesekali, kemudian fokus dengan jemari yang mulai mengetik di atas keyboard. Sampai ia tiba-tiba terdiam, lebih tepatnya tertegun saat menatap tangan kirinya yang terdapat cincin pertunangan. Kilau lembut, simbol kebahagiaan pasangan menuju jenjang kesiapan untuk bersama selamanya. Namun, setiap kali ia melihat hatinya seperti berdenyut perih. Seperti ada perasaan salah, memakainya.
Meski beberapa hari sudah berlalu dari pertunangannya, Hansika masih belum mengerti dengan yang terjadi. Apa mimpi atau apa? Jika mimpi, terlalu nyata dan menakutkan bahkan untuk sekedar ia ingat.
Tatapan kosongnya, membuatnya seperti tersesat. Ia sudah berusaha lupakan, tidak ada bukti apa pun. Tapi, tak juga bisa.
“Dok?” panggil lembut Malika, tidak dapati respons, Malika mendekat dan menyentuh lengan dokter muda tersebut.
Hansika tersentak, menoleh cepat pada Malika.
“Dokter melamun lagi.”
“Oh... Ah, saya” ia tidak bisa menghindar karena memang melamun. “Sori, kamu barusan sampaikan apa?”
“Saya tanya mengenai jadwal vaksinasi pasien, besok.”
Hansika langsung membahasnya, tidak lama ia mengambil tas sambil melihat jam di sudut layar ponselnya.
“Satya belum kelihatan datang?”
Satya Fayez, sang Bodyguard yang sudah dihafal oleh Malika dan staf rumah sakit karena terlalu sering muncul dekat Hansika. Menempel bagai bayangan.
“Belum terlihat, dok... Tumben belum jemput,” Malika juga seperti menantikan, "kalau ada Bodyguard dokter satu itu, kata para perawat... Lumayan nyegerin buat dipandang. Cuci mata."
Hansika tidak terkejut, para staf dan perawat di sana sering memberi pujian walau Satya tidak merespons. Seolah tidak peduli, selain tugasnya memastikan Hansika dalam jangkauan pengawasannya.
"Pak Nando juga sih, cuman kalau Satya, rasanya tatapan matanya memicu dopamin berlebih."
"Astaga, bahasa kamu!" Decak Hansika, Malika senyum-senyum saja.
"Tertarik sama wanita tapi kan, dok?" Hansika menggelengkan kepala, Malika membulatkan mata, "enggak?! Ah dokter... Masa semacho itu... ya, walau banyak sih."
"Maksud saya, enggak tahu. Saya jarang ngobrol sama dia. Enggak pernah tanya juga mengenai pribadinya." Hansika jujur. Satya tipe yang bicara seperlunya, kecuali Hansika mulai kesal dan mendebatnya. Dia tipe sedikit bicara, tapi banyak tindakan.
Hanya ada satu kemungkinan paling mungkin, Satya menemui Papi lebih dulu. Sebab pengawalnya termasuk tepat waktu. Tak mau memberi celah Hansika pergi tanpa pengawalan. Jika pun Satya terpaksa tidak menjaganya, ada orang yang ia percaya, tunjuk menggantikannya.
Hansika segera keluar, “aku mau ke ruang Mami dulu saja,” katanya tahu Mami sedang di rumah sakit.
Hansika melangkah keluar, baru beberapa langkah saat mendapati pria tinggi yang suka memakai kemeja hitam atau putih dan celana jeans itu melangkah ke arahnya. Langkahnya tegap, kehadirannya mencuri perhatian para suster di nurses station. Sejak awal Satya mengawalnya, dia langsung punya idola termasuk Malika.
“Belum cukuran janggut kayaknya ya, dok... Tiap lihat Satya, bayangan saya seperti melihat om-om mafia dalam film yang saya tonton.” Bisik Malika.
Hansika berdehem saja, menatap pria dengan tinggi 185 cm tersebut. Tubuh proporsional, ototnya kencang terutama bagian lengan dan perutnya, sebab Hansika sering sakit sekali ketika coba memukul, saat Satya mulai membuatnya kesal karena terlalu penurut pada Papi.
“Kamu kebanyakan baca novel sama lihat film!” Kata Hansika lalu bersedekap.
Satya tiba di hadapannya, memberi anggukan kecil “maaf saya terlambat, mobil saya—“
“Saya heran deh, mobil rongsok yang harusnya udah masuk museum, kamu masih saja dipertahankan... padahal sering menyusahkan kamu.” Kata Hansika mengejek mobil yang suka digunakan Satya pribadi.
Satya pilih tidak menjawab. Lalu saat dia hendak bicara, Hansika mendekat lalu mengulurkan tangannya. Lebih tepatnya menunjuk kening Satya yang memerah. Luka memanjang.
Saya langsung menyentuh keningnya, “terbentur saat saya coba memastikan tidak ada oli bocor di bawah mobil saya.”
Hansika menghela napas, ia berbalik dan kembali ke ruang kerja. Satya mengikuti sementara Malika sudah menyingkir dan mencuri pandang sejak tadi bersama staf dan perawat di sana.
Satya menatap bingung saat wanita itu membuka laci penyimpanan. Mengambil kapas, antiseptik. Lalu dia berdiri depan meja dan menyadarkan bokongnya sambil menyerahkan itu.
“Ck, obati... kamu biarkan, terus jalan ke sini? Walau cuman goresan tidak dalam, polusi Jakarta itu berbahaya. Bukan hanya mengandung debu, tapi bisa jadi ada virus dan bakteri.” Katanya dengan tatapan judes yang khas.
Hansika tarik napas, pilih mendekat dan tanpa aba-aba langsung menyentuh goresan panjangnya. Satya hanya diam, bahkan tidak meringis sekali pun Hansika sengaja menekan-nekannya.
“Biar sisanya, saya yang lakukan sendiri.” Katanya. Aneh dapati peduli Hansika secara tiba-tiba.
Hansika memberikan plester untuk lukanya, Satya berbalik menuju kaca untuk menempelkannya. Hansika menatap punggung Satya yang tegap dan lebar. Ia bersedekap sambil bersandar, lalu Satya sudah selesai dan berbalik.
“Kamu jemput saya dengan mobil rongsok—“
“Selama mengantar Nona, saya tidak akan pakai mobil pribadi, saya tadi kembali ke rumah dan menukarnya dulu. Karena itu terlambat.” Ucapnya.
Hansika ini kadang bermulut pedas, Satya sudah cukup kebal dengan caranya apalagi bila keinginannya tidak Satya penuhi saat Hansika mencari cara lepas dari pengawalannya.
Hansika tak banyak bicara, cepat memutus tatapan dan ia kembali meraih tasnya. Baru membuka pintu dan selangkah diikuti Satya saat Nando berdiri di depannya.
Senyum pria itu awalnya mengembang, tetapi begitu melihat Satya berdiri di belakang kekasihnya bagai bayangan, langsung lenyap senyumnya.
"Aku kirim pesan bukan sekedar untuk kamu baca.” Katanya.
“Tadi keburu ada pasien, jadi aku ingatnya sudah ketik balasan... ternyata enggak ke kirim.” Katanya tetapi matanya tertuju pada perempuan yang juga berdiri persis di belakang Nando.
Perempuan berjas putih dengan nama rumah sakit sama di bagian sisi dadanya. Rambutnya terurai dan tersenyum, “aku juga mau menemuimu, Hansika... kebetulan tadi pas ke sini berpapasan dengan Nando.”
Hansika hanya bergantian memandanginya, mencoba membaca raut wajah dua orang itu benar adanya atau hanya sebuah sandiwara dengan hubungan terlarang seperti dalam ingatannya yang terasa jelas? Bisa jadi, di wajah mereka ada senyum tetapi di belakang punggung mereka menggenggam pisau untuk menusuknya. Sesak juga kembali memenuhi dadanya.
"Nona," suara Satya menariknya kembali. Tapi, sebelum Hansika menoleh, Nando kembali bicara...
"Aku mau makan siang bersamamu, setelah kita resmi bertunangan... belum pernah kita pergi keluar bersama. Jadi, bisakan Satya menjauh darimu dulu?"
Nando, sang tunangan menuntut dengan nada tak pernah senang pada Satya sambil menatap kesal.