Rhea 2

2189 Kata
Siapa saja tolong tarik Drian dari mimpi buruk ini. Siapa saja juga tidak akan percaya jika Drian ceritakan bahwa istrinya kembali ke bentuk remajanya. Beberapa saat yang lalu dia, istrinya maksud Drian, berteriak sampai membangunkan putri mereka yang baru saja berhasil Drian tidurkan karena beginilah mereka berbagi tugas untuk menjaga Ale, namun sekarang dia malah menangis. Sekali lagi, yang Drian maksud menangis adalah istrinya. Tangis wanitanya adalah hukuman bagi Drian, tiga tahun menikah Drian tidak pernah melihat Rhea menangis selama ini. Tidak pernah. Kecuali jika mungkin Rhea menangis di belakangnya. Pertengkaran keduanya dua minggu yang lalu berputar bagai rekaman kusut di benak Drian. Drian salah. Ya, memang dia yang salah. “Jangan hanya Sally, Dri! Peluk saja semua perempuan yang kamu temui!” Rhea menatap Drian benci, ia melempar cincin yang laki-laki itu sematkan padanya di depan orang tua mereka tepat mengenai d**a suaminya itu. Sakit. Itu yang Drian rasakan. Beraninya Rhea melakukan hal yang menyakitinya padahal Drian tidak pernah membuatnya kesakitan dalam hal apapun. Melihat dengan kepala sendiri bahwa istrinya tidak merasa bersalah telah membuang benda yang mati-matian ia dapatkan untuk bersamanya juga membuat Drian marah. Namun nama yang disebut Rhea entah kenapa membuat Drian merasa segala amarah dan sakitnya tidak lagi berarti. Petaka sudah menyambangi rumah tangganya. Drian tau itu. “Rhea, Ale bisa ketakutan kalau kamu-” “-Terserah!!! Ale lebih baik ketakutan sekarang daripada menanggung malu karena memiliki pria b***t kaya kamu sebagai Papanya.” “Cukup Rhea.. aku dan Manda tidak ada apa-apa, maksudku aku belum bisa disebut selingkuh.” Jujur Drian sendiri pening dengan kalimat yang barusan terucap. “Aku tidak peduli Dri!!” “Tolong pahami aku, Rhe.. aku hanya bingung sesaat. Ka- kamu terlalu sibuk dengan Ale dan aku-” Drian tidak sanggup melanjutkan ucapannya karena istrinya menutup mata dan menggeleng kencang. Drian yakin ia pun tidak akan sanggup mendengar kelanjutan ucapannya sendiri. “Begitu? Berarti aku yang salah Dri, aku!” aku Rhea dengan tatapan tersakiti. Alesha Zaneta Russel adalah putri mereka, Drian mengaku mencintai putri mereka lebih dari apapun begitupun Rhea. Namun kemudian Drian menjadikan darah daging mereka sebagai alasan kenapa ia berpaling. “Jika ada cara, apapun itu untuk membuatku tidak bertemu dengan kamu dan tidak tergila-gila padamu maka akan kulakukan apapun resikonya, termasuk mempertaruhkan keberadaan Ale,” teriak Rhea. Meninggalkan sang suami, kemudian mengunci kamar. Membuat jarak yang selama ini Drian buat diam-diam menjadi begitu nyata. Jadi.. apakah sekarang istri Drian sedang berada di masa lalu dan membenarkan apa yang menurutnya salah sejak awal? Apa ini masuk akal? Tapi di balik semua kenyataan yang menakutkan ini Adrian Russel lebih takut jika Rhea mendapatkan cara apapun yang disebutnya itu sehingga Drian tidak lagi memiliki wanita itu dan putri mereka. Di sisi kamar yang lain, Rhea menatap pria itu dengan kedua alis menyatu. Rhea mengakui bahwa dirinya adalah gadis bodoh yang rankingnya di kelas selalu berada di ambang batas. Tapi dia cukup pintar untuk tidak mempercayai ucapan Om ini, apa dia pikir Rhea sedungu itu hingga bisa diperdaya olehnya? Tidak, Rhea harus pergi dari sini! “Jangan berpikiran untuk kabur dariku Rhea! Kamu harus bertanggung jawab atas kami.” Belum juga bergerak dari posisinya, Rhea merasa sudah ketahuan. Seperti Om ini bisa mendengar isi kepalanya saja. Rhea kemudian mengangkat kepalanya hingga ia yakin si Om bisa melihat betapa kesalnya ia saat ini. Rhea juga bisa melihat pria itu juga tengah kesal padanya. “Tanggung jawab?? Memangnya aku menghamili, Om? Enak saja!” ucap Rhea yang sudah selesai dengan tangisnya. Oh tentu saja ia menangis. Kejadian hari ini bahkan lebih menyeramkan dari dirinya yang pernah hampir tidak diterima di SMA tempatnya belajar sekarang. Kamu tidak tau rasanya duduk di bangku cadangan, bukan? Berada di daftar tunggu, dengan kemungkinan tidak ada siswa baru yang mengundurkan diri sehingga ia tidak bisa bersekolah adalah hal paling menyeramkan seumur hidupnya. Yang sekarang sudah tergantikan dengan permintaan tanggung jawab yang pria ini lontarkan beberapa saat yang lalu. “Sekali lagi aku mendengar kamu memanggilku Om maka kita akan berakhir di ranjang! Dan sekedar mengingatkan... aku yang menghamilimu sampai kita memiliki Ale!” ucap Drian kesal. Dia hanya lahir setahun lebih dulu dari Rhea dan wanita atau gadis ini memanggilnya dengan sebutan paling konyol yang pernah ada. Namun perkataannya barusan membuat Rhea memeluk dirinya defensif. Rhea mengerti dengan ancaman barusan terlalu baik. Sejak beberapa menit yang lalu ia tidak menyadari bahwa selain berhadapan dengan Om aneh, ia juga bisa dilecehkan oleh laki-laki ini kapan saja. Drian melihat Rhea remaja melangkah mundur dan menatapnya dengan takut-takut. Dia yang merasa begitu ketakutan dengan apa saja yang mungkin istrinya tengah lakukan di masa lalu melupakan kemungkinan bahwa Rhea remaja tentu tidak tau apa-apa. Dan barusan Drian melakukan kesalahan dengan melampiaskan amarahnya pada gadis polos di depannya yang terlihat ingin kabur. Sekarang Rhea remaja memeluk dirinya penuh perlindungan. “Aku minta maaf. Aku tidak serius dengan ucapanku barusan. Aku mohon untuk tidak lagi berteriak, biarkan Ale tidur dan aku janji akan mencari jalan keluar untuk kita,” ucap Drian dengan nada lembut. “Ale?” tanya Rhea bingung. “Alesha Zaneta Russel, putriku yang kamu lahirkan delapan bulan lalu.” Drian melirik box bayi yang berisi putri cantiknya melalui sudut mata yang diikuti oleh gerakan yang sama dari Rhea remaja. Rhea dasarnya adalah gadis keras kepala. Meskipun sempat takut, nada lembut Drian barusan rupanya membuat kepercayaan dirinya kembali ke singgasana. “Wow wow wow.. bisa ga, Om bicara yang lojik sedikit? Mengingat umur Om yang sudah lanjut ini rasanya sudah ga pantas lagi untuk berimajinasi. Aku adalah siswi SMA yang untuk naik kelas saja susah.. mana mungkin aku punya suami. Apalagi suamiku sudah tua begini?” Rhea sungguh tidak terima. Ia belum pernah pacaran sekalipun sumur hidupnya tapi pria ini mengatakan bahwa dia adalah suaminya Rhea. Dan Rhea tidak pernah berencana untuk menyukai pria yang wajahnya ditumbuhi bulu seperti pria ini. Rhea memang belum memiliki standar pria ideal, tapi mulai detik ini ia sudah menemukannya. Pria yang menjadi pacarnya boleh memiliki fisik seperti apa pun kecuali seperti pria di depannya ini. Pria yang menjadi pacarnya harus memiliki fisik yang jauh dari Om yang mengaku menjadi suaminya. Drian meneguk ludahnya kasar. Berapa lama waktu yang terlewati sejak ia bersama Rhea remaja? Belum sampai beberapa jam tapi kenapa Drian merasa seolah Rhea Davina Russel yang kabur darinya ke masa lalu sudah berhasil melakukan langkah besar yang mungkin bisa mengubah masa depan? Kenapa begitu? Karena Rhea yang Drian kenal adalah perempuan yang mencintainya dan bertahan begitu lama untuk ia cintai balik. Jadi bagaimana mungkin Rhea remaja ini mengucapkan kalimat seperti dirinya tidak akan menyukai Drian lagi? This is too much, Adrian tidak tau apa yang sedang terjadi dan ia menjadi begitu putus asa. “Tolong kembalikan Rheaku karena dia masih harus menyusui Ale!” ucap Drian lirih. “Aku Rhea.. dan aku merasa tidak harus menyusui siapa-siapa,” pekik Rhea. Beraninya dia mengatakan ‘menyusui’ pada anak gadis sepertiku, pekik Rhea membatin. Semakin tidak terima ketika mata Om ini mengarah pada barang berharganya. Dasar m***m! Dan oh, anaknya kembali menangis. >>> Rhea melihat Om yang mengaku sebagai suaminya itu menjambak rambutnya kesal. Om itu duduk tepat di depan Rhea, di seberang meja makan. Melihatnya frustasi membuat Rhea ikutan sakit kepala. Rhea juga ingin menyelesaikan masalah ini, makanya ia mencoba mengingat apa yang ia lakukan sebelum tidur. Dan seingat Rhea, sebelum terbangun gara-gara mimpi jatuh dari ketinggian itu, ia berada di kamarnya dengan pakaian tepat sama dengan yang ia kenakan saat ini. “Dengar Om, sebelum aku bangun dan terdampar di rumah orang asing begini, aku tahu persis bahwa aku tidur di kamarku, di rumah Bapak dan Ibuku. Aku bahkan belum mengerjakan PR Sosiologiku!!! Jadi mohon kembalikan aku pada orang tuaku karena besok pagi aku sudah harus sekolah!” “Ibu sudah tidak ada, Rhea.. dari dua tahun yang lalu,” ucap Drian lirih. Bagaimanapun kerasnya ia memutar otak Drian tetap tidak bisa menemukan cara untuk membuat Rhea Davina dan Rhea Davina Russel kembali ke tempatnya masing-masing. Benar bukan? Perempuan yang ada dengannya saat ini bukan lah istrinya, setidaknya belum. Berarti dia masih seorang Rhea Davina. Lagi pula apa yang sedang terjadi saat ini bukan sesuatu yang bisa dicerna akal sehat manusia. Wanita dua puluh tujuh tahun kembali ke usia belasan? Omong kosong karena ilmuan di seluruh dunia bahkan tidak pernah berhasil menciptakan mesin waktu atau mesin yang bisa mengembalikan manusia ke wujudnya beberapa tahun yang lalu. Jikapun alat itu ada, istri Drian perlu masuk ke dalam alat tersebut sedangkan Drian mengetahui dengan pasti bahwa Rhea berada dalam pelukannya semalaman. “Ha ha ha dasar gila! Om menculikku ‘kan? Bilang saja kalau kamu membutuhkan pengasuh untuk anak itu -yang anak itu juga kamu culik atau justru anak harammu dengan cewek sinting psikopat sama sepertimu- aaaakkkhhh bunuh saja akuuuuuuuu.” Aku gila, aku Rhea membatin dan ia lebih memilih gila dari pada terjebak dengan orang asing satu ini. Lama Rhea menangis sesenggukan menatap Drian yang dibalas hanya dengan tatapan datar. Rhea benar-benar berharap pria itu menghentikan semua ini dan mengantarkannya pulang. Ini juga bukan September, jadi tidak mungkin dirinya sedang diberi kejutan ulang tahun, begitu pikir Rhea. Tadinya ia berencana menangis sampai pagi, tapi belum sampai dua jam tangisnya berhenti dengan sendirinya. Sekarang hanya tersisa jejak aliran air mata yang hampir mengering sehingga meninggalkan kesan lengket di sepanjang pipinya. Rhea sudah tidak memiliki keinginan untuk menangis lagi. Bagaimana caranya pulang? Aku tidak mau diusir lagi karena tidak membuat PR. Gumam Rhea membatin. “Nah,” Drian menyodorkan sebuah ponsel yang menunjukkan halaman sebuah sosial media milik Rhea. Rhea tau itu miliknya karena dia selalu memakai ‘Rheana = Rhea Davina’ untuk semua akun media sosialnya karena lebih terdengar feminim. Satu hal yang tidak ia sukai yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar omongan Om ini tidak dibuat-buat adalah tulisan di Bio instagramnya: Wifey to Adrian Russel and momma to Alesha Zaneta Russel. “Ini juga,” ucapnya lagi sambil menyodorkan buku nikah dan beberapa bingkai foto di saat Rhea sedang syok dan sibuk menggulir layar ke bawah. Sungguh, Rhea tidak percaya dengan postingan-postingan yang ada pada akunnya sendiri. Siapa orang kurang ajar yang melakukan hack pada akun siswi SMA yang bahkan tidak terkenal ini? Kusumpahi tangannya buntung!! Doa yang teraniaya selalu dikabulkan, bukan? “Aku tidak sedang masuk acara TV ‘kan, Om?” ucap Rhea memelas, jujur saja perutnya mulas melihat semua ini. Belum sempat Om menjawab, bayi kurang ajar itu kembali menangis sehingga Rhea tidak mendapatkan jawabannya. Tinggallah ia sendiri di meja makan sambil memukul-mukulkan kepala ke meja. “Kemari Rhea!!” panggil Om Drian dari arah kamar sana. Bukan sok kenal, tapi Rhea mengetahui nama pria tersebut dari buku nikah yang saat ini masih berada di hadapannya. “Tidak mau, enak saja!” Rhea kembali memeluk tubuhnya sendiri. Demi apapun ia tidak bisa menyusui, payudaranya bahkan belum berkembang sesempurna itu untuk menjadi seorang ibu dan yang paling penting adalah Rhea masih gadis. “Rhea!!!” panggil Drian dengan nada penuh peringatan. “I-iya ah!” Rhea tidak tau kemana perginya energi yang harusnya tersimpan dalam tubuhnya karena sebelum tidur ia sempat makan dua porsi bakso karena saat ini rasanya tubuhnya terasa seperti jeli. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju Drian yang menghardiknya barusan. “Ale haus!” ucap Adrian begitu Rhea memasuki kamar dengan ragu-ragu. “Jangan gila, Om!! Aku tidak bisa menyusui anak itu!” Rhea melotot dan berlindung di balik pintu. “Jangan membuang waktuku Rhea, cepat kemari dan pegangi Ale. Aku harus membeli s**u untuknya.” “Tidak mau! Aku tidak bisa berdekatan dengan anak kecil, aku saja yang beli susunya.” “Dan membiarkan perawan Rhea berkeliaran tengah malam begini? Aku lebih sayang pada diriku sendiri, Rhea. Tetaplah menjadi perawan sampai kamu bertemu dengan Adrian Russel di masa lalu.” Kurang ajar sekali mulut Om ini, kalau saja badannya tidak setinggi dan sekekar itu mungkin aku sudah memberikan pelajaran padanya. Atau kuracuni saja dia? Rhea masih memikirkan apa yang ingin ia lakukan pada Adrian ketika tiba-tiba tubuhnya diseret mendekati ranjang dan kepalanya diarahkan ke dekat bayi perempuan yang ternyata cantik sekali. Awalnya Rhea masih mencoba berontak meski ia tau tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Om Adrian. Tapi ketika matanya bertemu dengan manik hitam legam milik bayi cantik itu, Rhea justru ingin menatapnya lebih lama. “Jaga anakku sebentar!!!” ucap Drian dan tidak menoleh lagi pada Rhea. Dia sengaja meletakkan telapak tangannya di atas tengkuk Rhea dan kemudian mendorongnya agar gadis itu menatap Ale. Bayi Drian yang harus ia jaga selagi Drian pergi untuk membeli s**u. Rhea tertegun melihat seberapa eloknya paras bayi di depannya ini. Refleks ia mengusap pipi basah bayi perempuan yang Om tadi beri nama Ale. Ale menggapai bajunya dengan kedua tangan mungil itu dan seolah mengerti dengan bahasa bayi, Rhea segera mengamankan payudaranya dengan menyilangkan kedua tangan di d**a. Enak saja anak ini mau menyusu padaku, tidak anak tidak bapak sama saja. Aku hanya anak perempuan yang payudaranya baru mau tumbuh, masa sudah menyusui anak orang? Anak orang loh.. kalo anak sendiri mungkin aku, tidak lupakan saja pikiran barusan. “Eh, eh, jangan nangis dong, Om lagi beli s**u tuh. Sa- sabar ya,” ucap Rhea terbata melihat anak ini sudah bersiap kembali untuk menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN