Hal. 1 The Birth of Teresa Oriel

2181 Kata
Halaman 1 . . . Dia sama sekali tidak meminta untuk mendapatkan hidup seperti ini. Diantara banyaknya manusia penuh dosa yang perlahan lahir kembali, kenapa harus dirinya. Mendapatkan pilihan tanpa bisa memberontak ataupun menolak? Lahir ke dunia tanpa mengetahui kondisinya sendiri saat itu. Dengan kedua manik yang masih tertutup rapat. Suara tangisannya memenuhi seluruh ruangan. Bergerak menggunakan seluruh kekuatannya. Perempuan manis itu menangis kencang, merasa bahwa kelahirannya mampu membawa kebahagiaan bagi kedua orangtuanya. Telinga itu masih belum berfungsi dengan benar, tidak ada suara selain tangisannya di dalam ruangan. Seolah ruangan itu nampak sepi, semua orang di dalam sana bungkam. Bagaimana mereka memperhatikan sosok perempuan yang baru saja dilahirkan, terlihat sangat menyedihkan. Bahkan tanpa disadari, Ayah kandung bayi itu sendiri reflek menahan rasa mualnya yang tiba-tiba datang. Shock dan kaget bercampur menjadi satu- “Mana putriku?” Suara wanita yang terdengar teduh menginterupsi, tubuhnya lelah dengan kedua mata yang berusaha terbuka. Hendak mencari bayi yang baru saja Ia lahirkan, salah satu tangan menggapai ke arah Suster yang baru saja selesai memandikan tubuh sang bayi. “Putriku,” Kembali berujar, tepat saat suster membawa sosok itu mendekat. Wanita cantik yang awalnya tersenyum teduh, menerima bayi yang masih ditutupi oleh selimut, “Cantik sekali,” ucapnya tersenyum senang. “Coba Ibu lihat kondisimu,” Salah satu tangannya hendak membuka selimut yang menutupi sang putri. “Sa-sayang, lebih baik biarkan dulu selimutnya-” Tapi tangan sang suami berusaha menghentikan pergerakannya. “Kau ini kenapa, aneh sekali.” Terkekeh geli, dan menanggapi ucapan suaminya dengan candaan. Tangan wanita itu tetap bergerak membuka selimut yang menutupi tubuh putrinya. Berharap bahwa bayi mungil itu sehat, “Lihatlah wajahnya cantik sekali. Dia juga pasti sehat-” Senyuman bahagia yang tadinya tercetak jelas di wajah, perlahan memudar. Selimut terbuka memperlihatkan kondisi sang putri. Kedua tangan wanita itu gemetar. Maniknya membulat tak percaya. “A-apa ini?” Tercekat, merasakan sesak pada d**a. Kekehan tawa tadi menghilang dengan cepat, bulatan sinar di kedua mata itu berubah nanar. Air mata mulai menggenang di pelupuk. Wajah wanita itu menengadah menatap suami dan para suster di dekatnya. “Sudah kukatakan,” Suara berat suaminya terdengar pasrah. Semakin mendekati wanita yang masih shock menerima kenyataan. “Bagaimana bisa? Kita sudah memberikan nutrisi terbaik untuk dia kan?!” Gemetar menahan tangisan. Salah satu tangan yang masih bebas menarik pakaian suaminya untuk mendekat, “JAWAB?!!” teriaknya frustasi. Air mata itu meleleh jatuh membasahi kedua pipi yang masih penuh dengan peluh. Matanya membulat shock, tubuh itu makin gemetar. “Jawab!!! Bukannya kita sudah berusaha sebaik mungkin!! Tapi kenapa?!!” Panik, shock, takut, dan ngeri bercampur menjadi satu. Laki-laki itu sama sekali tidak bisa bicara. Dia justru bergerak mengambil putri mereka yang kini kembali menangis kencang. “Kita harus memasukkannya ke incubator,” Sama sekali tidak menjawab. Mengambil sosok mungil itu dengan mudah, tangan istrinya terasa lemas. Menangis menatap dirinya sendiri, “Kenapa!! Kenapa!! Kenapa putri kita harus terlahir cacat seperti itu?!!” Berteriak dengan histeris. Dua suster yang bertugas menjaga, mulai bergerak menyiapkan obat bius sebelum wanita itu mengamuk. “Kemana kaki anakku?!! Kenapa dia harus lahir cacat?!! Apa yang harus kulakukan!?” teriaknya lagi dan lagi, diiringi tangisan sang putri yang bertambah kencang. “Hua! Putriku cacat! Bagaimana kata orang-orang nantinya!!” “Suster tolong rawat istri saya, beri saja obat bius,” Salah satu suster mendekati dan melihat kondisi wanita itu. Mengerutkan kening bingung sebelum akhirnya menggeleng kecil. “Tidak bisa, Tuan! Masih ada satu bayi lagi yang belum keluar,” ujarnya cepat. Saat teriakan sang empunya makin terdengar, “Ahh, perutku sakit!” Kembali menjerit kesakitan, selang sepuluh menit. Kontraksi terjadi, beberapa suster dan dokter bersiaga lagi, “Tuan, saya bawa putrinya dulu. Dia harus segera di tempatkan pada incubator karena berat badannya masih sangat kecil,” Salah seorang suster bergerak hendak meminta ijin untuk mengambil kembali bayi tersebut. “A-ah, iya,” Laki-laki itu hanya terkesiap sekejap, menyerahkan dengan mudah putrinya. “Aku harus menemani istriku,” Seolah tidak peduli lagi dengan kondisi sang putri yang masih menangis kencang. “Berikan saja dia perawatan terbaik,” tukas laki-laki itu sekilas, sebelum akhirnya berjalan mendekati sang istri. Meninggalkan gadis kecil yang masih menangis dengan suster, tanpa sedikit pun merasa cemas. . . . Suara tangisan kencang kembali terdengar, sangat nyaring dan jelas. Sosok mungil yang lahir setelah sang kakak. Menggerakkan sendi tubuhnya dengan pelan. Kali ini tidak ada teriakan histeris atau pun pandangan shock saat memandang putri keduanya. “Bayi Ibu lahir dengan sehat!” Salah satu suster menggendong bayi yang sudah Ia basuh dan bersihkan. “Benarkah?” Wanita yang hampir kehilangan semua tenaganya karena harus bertarung melahirkan dua orang putri. Berusaha sebisa mungkin untuk berbicara, “Aku ingin melihatnya,” Berbicara lagi, tidak perlu menunggu lama, bayi kecil itu langsung berada dalam pelukannya. Kembali mengecek kondisi putri keduanya, tersenyum bahagia melihat bagaimana gadis itu nampak sangat cantik dengan rambut hitamnya, menangis dan menggemaskan. “Dia tidak perlu di tempatkan di incubator karena berat badannya sudah cukup,” “Dia sangat sehat, lihat kaki mungilnya ini, tangan yang kecil, semua nampak sempurna.” Menangis dan tertawa lemah. Memeluk dengan lembut putri kecilnya. Bahagia luar biasa, menatap sosok laki-laki yang ikut menangis. Berjalan mendekati sang istri. “Kau sudah berusaha keras,” ucapnya sembari mengecup kening wanita itu lama, menatap putri keduanya dengan pandangan lega dan bahagia. “Dia mutiara kita yang paling berharga,” lanjut laki-laki itu. “Tentu saja, dia cantik sekali, mirip denganku. Lihat manik dan rambutnya, benar-benar campuran kita berdua,” Kedua orang itu tertawa, memperhatikan buah hati mereka dengan bahagia. Seolah melupakan sosok mungil yang kini menangis dalam incubator miliknya. Tubuh yang sudah tidak diselimuti lagi, kaki kecil itu bergerak menendang kaca incubator dengan lemah. Menangis, dan terus menangis, tanpa ada siapapun yang menenangkannya. Ini kisah tentang hidupnya, Teresa Oriel. Bukti bahwa Tuhan sangat membencinya. Saat pertama kali menangis, tepat sebelum adiknya dilahirkan, tidak ada yang namanya nyanyian menenangkan, doa-doa yang teralun dari bibir sang ayah, ayunan lembut untuk menidurkan, bahkan pelukan hangat dari kedua orangtuanya. Teresa hanya bisa berbaring dalam incubator miliknya, dengan berat badan yang sangat kecil. Dia sama sekali tidak tahu, bahwa di luar sana adiknya lahir dengan tubuh sempurna. Selimut hangat yang menyelimutinya, kedua orangtua yang menangis bahagia, mengucapkan banyak syukur dan doa. Memeluk sosok cantik itu dengan bangga, mengalunkan lagu untuk menenangkan. Tidak bisa merasakan air s**u Ibu untuk yang pertama kali, sementara sang adik mendapatkannya begitu saja. Bagaimana sosok mungil itu dengan posisi tengkurap berusaha menggapai p****g milik sang Ibu, menyesap air berwarna keputihan itu dengan lahap. Apa ini cukup bagi Teresa? Mendengarkan lagu samar dari bibir sang ayah hanya melalui kaca incubator miliknya? Menelan saliva yang perlahan menetes dari bibir, tanpa merasakan air s**u murni dari sang Ibu. Jika kalian berpikir bahwa dengan kondisinya yang seperti ini, dia akan mendapatkan kasih sayang melimpah melebihi adiknya sendiri? Mungkin kalian salah. . . . Teresa Oriel, nama itu diberikan padanya. Orang lain pasti akan berpikir kalau nama indah itu  pasti berasal dari perwujudan rupa pemiliknya yang cantik dan sempurna. Apa yang mereka bayangkan pertama kali? Akankah wajah mereka berubah kaget atau shock saat melihat wujud asli Teresa yang sebenarnya? Lahir dengan menurunkan wajah cantik ibunya, rupa Teresa bahkan sanggup membuat orang lain berdecak kagum, sangat cantik dengan kulit sawo matang seperti orang Indonesia pada umumnya. Manik dan rambut bergelombang kecoklatan diturunkan dari sang ayah, Orang-orang yang melihat wajahnya pertama kali pasti akan berdecak dan terpukau, tapi begitu pandangan mereka terarah turun memperhatikan bagaimana gadis itu menggendong beban tubuhnya hanya dengan satu kaki. Barulah pandangan mereka berubah. Kaget dan shock bahkan tak jarang dia mendapatkan pandangan jijik atau ngeri. Menginjak satu bulan, beberapa sanak keluarga kedua orangtuanya datang menjenguk kedua bayi kembar. Tapi lihatlah? Siapa yang menjadi bintang dan pusat perhatian mereka? . . . “Kau lihat pandangan keluarga, Lily? Mereka merendahkan kita!” Sofia Cardin Mataniel, maniknya berkaca menatap sosok tegap sang suami yang hanya bisa mendesah panjang. Berusaha menenangkan tindakan istrinya. Sifat Sofia yang meledak-ledak memang tidak bisa diprediksi, apalagi saat orang lain menyinggungnya dengan halus. Berteriak penuh amarah, dan mengamuk. “Aku tahu,” Mark Cardin Mataniel, laki-laki paruh baya itu menepuk pundak Sofia. Berusaha memeluk tapi istrinya menolak. Mendorong tubuh sang suami dengan kasar. “Pandangan mereka membuatku muak!! Kau lihat tadi?! Lily, mengejekku!!” teriaknya lagi. Suara tangisan kedua bayi mereka terdengar perlahan, kaget saat ibu mereka berteriak seperti itu. Bagaikan naluri yang bekerja saat ibu mereka kesakitan. “Kecilkan suaramu, Sofia. Astaga, mereka terbangun,” ujar Mark, beralih menenangkan kedua anaknya. Sofia terdiam, berdiri dengan kedua tangan terkepal, mendengar nyaring tangisan kedua putrinya. Melihat bagaimana Mark bergerak mendekati mereka. Sebelum akhirnya menyerah, dan memilih untuk meredakan emosi sendiri. “Hh, maaf,” ujar Sofia tipis, wanita itu meluluhkan emosinya. Berjalan menuju tempat tidur, berdiri tepat di samping putri keduanya. Menggendong tubuh mungil itu dengan lembut. Rasiel Ainsley, nama yang cantik sesuai dengan rupa dan tubuh yang sempurna. Sosok yang mendapatkan kasih sayang kedua orangtuanya, semua secara utuh. “Ssh, jangan nangis putri kecil, Ibu.” Menimang tubuh mungil Rasi dengan lembut, “Dia pasti lapar,” Duduk di samping tempat tidur, Sofia bergegas membuka setengah bajunya, memberikan ASI yang cukup bagi Rasi. “Sayang, setelah ini kau berikan ASI juga pada, Teresa,” Mark bergerak mendekati Teresa, putri pertamanya. Menepuk tubuh dan kepala gadis itu tanpa menggendongnya. Menatap sang istri yang masih fokus menenangkan Rasi. “Aku sudah memompa ASI untuk Teresa, kau tinggal ambil saja di kulkas, setelah itu hangatkan.” ujar Sofia dengan nada ketus, setengah melirik ke arah bayi pertamanya. Ia mendengus kesal- “Kau pikir gara-gara siapa aku harus menerima ejekan dari keluarga-keluarga lain yang menjenguk kita?” Kembali fokus pada Rasi. “Manisnya putri, Ibu. Minum yang banyak sayang, ASI ini khusus untukmu saja,” Sembari mengalunkan lagu tidur. Mark hanya bisa menghela napas panjang melihat sikap Istrinya. Dia memang tidak bisa menyalahkan Sofia, wanita itu sudah berusaha keras melahirkan kedua putri kembarnya. Mendapatkan kenyataan bahwa salah satu putri mereka lahir dengan tidak sempurna. Melirik ke arah Teresa kembali, menarik tangan yang tadi menepuk tubuh putrinya. Tidak ada senyuman dalam raut wajahnya, “Kenapa kau harus terlahir cacat, Teresa?” Bertanya pada putri sulungnya. Tidak mendapatkan jawaban tentu saja, tangisan Teresa justru semakin kencang. Membuat kekesalannya memuncak. “Ah, berada di sampingmu selalu membuat Ayah frustasi!” tukasnya ketus, mengabaikan tangisan Teresa, Mark justru berjalan keluar. Menutup pintu ruangan dengan kencang. Sementara Sofia masih terfokus menidurkan Rasi dalam pelukannya. Tidak ada yang peduli dengan tangisan Teresa, dia hanya merasa haus dan meminta siapapun memberikannya s**u. Hanya itu saja. Susahkah? . . . “Non Teresa, jangan menangis, sshh- Bibi berikan s**u yang banyak ya,” Hanya satu diantara banyak pelayan dan keluarganya saja yang peduli. Bibi Amari, wanita berumur enam puluh tahun yang masih setia menjaga Teresa. Menggendong tubuh mungil dan mau menimang tubuh Teresa penuh kasih sayang, menenangkan sembari memberikan s**u yang pas untuk tubuh mungil itu. Saat usianya masih menginjak satu bulan, tentunya Teresa masih sesekali menolak untuk minum melalui dot, dia ingin minum langsung dari s**u ibunya. “Nyonya,” Pandangan Bibi Amari menatap ke arah wanita cantik yang masih setia menimang putri bungsunya. Menemani sosok mungil itu dan menikmati sinar matahari pagi yang terpantul dari jendela kaca kamar mereka. “Hm, ada apa?” jawab Sofia singkat. “Bi-bisakah Nyonya bergantian memberikan Non Teresa s**u? Dia tidak mau minum dengan dot hari ini,” Berbicara dengan nada takut, sedikit tidak berani mengganggu waktu Nyonya-nya. “Kau cari saja cara supaya dia mau meminum lewat dot itu,” ujar sang empunya ketus, mencoba kembali fokus dengan Rasi. “Tapi Nyonya, Non Teresa tidak mau. Dia menangis terus,” Panik, berjalan mendekati wanita itu. Berusaha menyerahkan tubuh mungil dalam gendongannya, “Saya mohon, Nyonya!” “Kubilang tidak mau! Berikan saja s**u di botol itu! Jangan menggangguku!!” Tangisan Teresa merembak, begitu juga Rasi. Kedua anak kembar itu seolah terhubung, menangis bersama. “Lihat? Kau membuat putriku menangis!” Bibi Amari menangis, memeluk erat tubuh Teresa, “Tapi dia juga putri anda, Nyonya!” Menatap sosok Teresa yang menangis, bahkan terbatuk kecil, bibirnya mulai kering karena merasa haus. “Diam!” Menimang tubuh mungil itu terus menerus, menenangkan tangisannya. “Saya mohon, untuk kali ini saja, Nyonya. Dia sangat kehausan, Non Rasi sudah minum cukup banyak dari ASI anda, tolong berikan kesempatan pada Non Teresa juga,” ucap Bibi Amari penuh harap, tanpa menjauh sama sekali dari sisi sang Nyonya. Sofia menatap Rasi yang terus menerus menangis, kembali pada Teresa. Mereka berdua menangis kencang. Jika Teresa berhenti menangis mungkin begitu juga Rasi. Berpikir kembali. Mendesah beberapa kali, Bibi Amari bahkan kini menundukkan tubuhnya. Memohon agar sang Ibu mau memberikan s**u bagi putrinya sendiri. “Saya mohon-” “Ck, baiklah! Hanya kali ini saja,” decaknya kesal, “Kau tenangkan Rasi, tidurkan dia dengan benar,” Masih dengan suara yang ketus, mereka berdua menukar kedua bayi itu. Bibi Amari menggendong Rasi dan menimangnya pelan. “Terimakasih, Nyonya,” Tersenyum kecil pada wanita di depannya. Sementara Sofia, menggendong tubuh Teresa dalam pelukannya, melihat bagaimana salah satu kaki bayi itu bergerak pelan. “Ambilkan selimut,” Berujar tiba-tiba, “E-eh? Untuk apa, Nyonya? Bukannya Nyonya mau menjemur Non Teresa juga sebentar? Sinar matahari pagi bagus untuknya-” “Kubilang ambilkan selimut! Kenapa kau masih berbicara, Bibi?” Menaikkan nada suaranya, Bibi reflek kaget. “A-ah, iya saya ambilkan.” Sedikit bingung, bergerak menuju tempat tidur dan mengambil satu selimut kecil. Masih menggendong Rasi, mendekati wanita itu lagi. “Ini Nyonya, tapi untuk apa?” tanya Bibi Amari ragu. Sofia mendengus tipis, tersenyum miring. Mengambil selimut kecil itu cepat. “Tentu saja untuk menutupi tubuh anak ini, aku tidak mau melihat kecacatan kakinya lebih lama. Itu membuatku mual,” Tanpa memikirkan bagaimana kaget wajah sang Bibi saat mendengarkan kalimat majikannya. Sofia bergerak, mulai memberikan ASI bagi Teresa. Dengan kondisi tubuh putrinya yang tertutupi selimut. Tidak peduli dia kepanasan nantinya, “Minum seperlumu saja, Teresa. Padahal Ibu sudah menyiapkan s**u yang banyak untukmu di kulkas, tapi kenapa masih saja kau bersikap manja seperti ini?” Tanpa timangan, tubuh tegap Sofia hanya berdiri memberikan s**u bagi putri sulungnya. Mengabaikan bagaimana Bibi di sampingnya berusaha keras menahan tangisan, memendam isakan dan berjalan menjauh. Teresa tidak pernah meminta kepada Tuhan. Siapa yang akan menjadi ibu dan ayahnya nanti, dia tidak meminta untuk lahir dengan kondisi tidak sempurna. Teresa hanya ingin hidup, penuh dengan kasih sayang, hanya itu saja.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN