"Laras!"
"Laras!"
"Laras!"
"Eh, Kadal! Lo kira gue ikan ajaib yang dipanggil tiga kali baru muncul?!" ketus Laras memberhentikan langkahnya dan sedikit memutar tubuhnya untuk memaki seseorang yang terus memanggil namanya.
Arken yang sedari tadi mengejar Laras dari kantin kesini hanya bisa menetralkan nafasnya yang hampir habis. "Sabar, Ras. Nafas gue masih tinggal di kantin kayaknya."
"Mau tinggal di kantin, mau dimana kek?! Bukan urusan gue! Malahan kalo bisa lo enggak usah nafas lagi!" ketus Laras lalu kembali melangkahkan kakinya meningglkan Arken, lagi.
Untuk kesekian kalinya laki-laki itu mengambil nafas panjang lalu mengejar Laras kembali yang entah mengapa jalannya setara dengan Arken yang berlari. Oh, Arken lupa jika wanita marah jalannya setara dengan atlet lari.
"Ras, lo marah?"
"Bodo amat gue marah! Bukan urusan lo!”
“Apa jangan-jangan lo marah karena gue gombalin tadi?” tanya Arken membuat wajah Laras semakin datar. Pria itu sebenarnya hanya bercanda menggombali wanita itu. “Jangan baper dong, Ras,” bujuk Arken dengan wajah takut seperti akan diadukan oleh orang tua Laras.
Laras menghela nafasnya panjang. Ia sama sekali tidak marah dengan gombalan Arken. Karena semua yang dikatakan laki-laki itu benar. Tapi, Apa ia benar sesadis itu, sih?!
“Gue baru ingat kalo anggota Osis disuruh ngumpul,” jelas Laras membuat kening Arken berkerut. Perempuan itu sedikit melirik Bonia yang berada di tangan kirinya. Ia sudah sangat telat.
“Tapi, kenapa lo buru-buru banget gitu? Enggak makasih lagi karena udah gue gombalin,” sunggut Arken. Ia kira perempuan itu pergi karena kesal dengan gombalan Arken.
“Gue itu disuruh kumpulnya sehabis istirahat. Gue lupa. Sekarang gue udah telat banget dan karena lo! Gue jadi tambah telat!” pekik Laras kesal. Hal itu menarik perhatian siswa-siswi lain yang berjalan di koridor sekolah.
“Oooo, gitu. Bilang dong!”
Helaan nafas pendek terdengar Laras, wanita itu sedikit memijit kepalanya yang pusing. Pasti ini karena ia belum makan. Laras menyesal menolak sarapn yang dibuat ibunya karena harus datang lebih awal karena piket. Dan, bakso yang ia makan tadi belum habis setengah.
“Kepala lo pusing, Ras? Habis dugem kan lo?” tanya Arken dengan jahilnya.
“Makasih.”
“Hah!?” Arken tak paham. Laki-laki itu bingung karena Laras tiba-tiba mengucapkan terima kasih padanya.
“Makasih udah gombalin gue. Lo orang yang pertama gombalin gue.”
Arken semakin terkejut, laki-laki itu bahkan sampai meneguk ludahnya sendiri. Ada rasa cenut-cenut bahagia saat Laras mengatakan bahwa ia adalah laki-laki pertama yang menggombali Laras. Tapi, Arken tidak yakin. Laras itu mempunyai wajah yang unik, pembawaannya yang galak namun rupanya yang ayu jadi keunikan sendiri untuk wanita itu. Laras itu cantik.
“Sama-sama,” balas Arken yang terkesan malu-malu.
Laras baru tahu, laki-laki seperti Arken itu memilik rasa simpati yang besar. Jika tidak mana mau laki-laki itu mengejar Laras hingga sejauh ini karena takut dirinya terisinggung dengan gombalan Arken. Dan, Laras juga tahu dibalik pertanyaan jahil milik Arken yang menyangakan ia pusing atau tidak itu, sebenarnya adalah rasa peduli.
“Udah gue pergi dulu.”
“Enggak usah!”
“Gue itu mau mastiin lo itu sampai apa enggak.”
“Makasih tapi enggak perlu.”
“Gimana nanti lo digodain om-om?” tanya Arken lagi membuat Laras berdecak kesal.
“Enggak usah,” ketus Laras sambil menekankan kata yang keluar dari bibirnya. Nampaknya Ia harus kembali menarik kata-katanya yang baik tentang Arken. Lihat ini belum beberapa menit, tapi pria itu sudah berulah lagi.
"Kok ketus, sih?" tanya Arken tapi tidak disahuti oleh Laras.
"Oh, iya, lupa. Lo kan modelnya udah kayak gini," celetuk Arken lagi. Tapi, Laras yang sudah sangat kesal hanya bisa menampilkan muka datarnya. Masih terus berjalan tampa memperdulikan Arken yang berada disampingnya.
"Jangan datar-datar amat lah. Nanti tembok sekolah kalah saing, Ras." Arken menjawil dagu Laras gemas dengan cepat pula perempuan itu langsung menepis dan mengilap bekas sentuhan Arken tadi.
"Najis, tau gak?!"
"Peak lo, Ras. Gue tadi cuman garuk-garuk p****t kok."
"Arken!!"
Arken tertawa melihat wajah Laras yang menampilkan ekpersi takut kotor. Tapi, lain bagi Arken. Ekspresi Laras saat ini sangat menggemaskan. Sangat berbeda dengan ekpresi Laras yang selalu sedatar papan penggilas rumah Arken.
"Imut lo, Ras."
Laras terdiam, mendongakan kepalanya melihat wajah laki-laki yang baru saja menyebutnya 'Imut'. Laras sedikit meneliti ucapan itu, antara menghina atau benar-benar memuji. Pasalnya, hanya sederet orang yang kuat imannya yang bisa menyebut laras 'Imut."
"Lo tadi makan batagor, mangkoknya gak di telan juga kan?" tanya Laras membuat Arken tertawa.
"Tenang-tenang! Bukan cuman mangkok kok tapi gelas juga." Arken mengusap-usap perutnya yang membuncit, menyebabkan roti sobeknya tenggelam dalam lautan lemak batagor. Jika sudah begini, pulang sekolah jalan kaki adalah solusinya.
"Bagus sih," ucap Laras mengangguk-angguk. "Lo cepet mati, gue bahagia," ujarnya membuat Arken ingin sekali memakan Laras saat ini. Arken kadang heran, Laras tidak takut apa, tidak mempunyai cowok yang mau menjadi pacarnya karena terlalu galak.
Bukanya sombong atau apa. Tapi kalo sombong juga gak apa-apa. Dari sekian ratus siswa laki-laki di Sma ini, hanya Arken yang memiliki tampang diatas rata-rata yang berani dekat dengan siluman gorila, maksudnya Laras. Cowok nyapa sedikit saja, Laras sudah menampilkan wajah datarnya. Untung-untung si cowok itu gak diketusin. Kan horor!
"Arken!"
Arken dan Laras sama-sama mengalihkan pandangnya pada seorang wanita yang berjalan sambil memanggil Arken. Perempuan bertampang berandal itu langsung mengambil posisi disamping Arken.
"Siapa, Ken? Mainan lo lagi," sahut Yasmine santai sambil menatap Laras dari ujung sepatu hingga atas. Arken yang mendengarkan itu memelototkan matanya sedangkan Laras sudah menampkan ketidak sukaannya terhadap Laras dari tatapannya.
"Tumben banget selera lo sama papan panggilas. Datar, dari atas sampai bawah." Yasmine mengatakannya seperti ingin mengatakan ingin ke toilet, santai. Tidak tahu Arken sudah ketar-ketir melihat dua macan berada didekatnya.
Arken semakin membulatkan matanya saat mendengar ucapan Yasmine. Ia akui, jika dibanding Laras, Yasmine memiliki mulut setajam silet, sepahit pare dan semasam buah mangga muda. Pokoknya benar-benar nyelekit saat kata itu terlontar dari bibir Yasmine.
Laki-laki itu juga mencium bau-bau peperangan yang masing-masing dikeluarkan oleh mereka berdua. Sebenarnya tidak apa-apa, asalkan bukan bau kentut, Arken tak masalah.
"Maksud lo datar dari atas sampai bawah itu apa ya?" sahut Laras tidak santai sama sekali. Sedangkan Yasmine hanya terkekeh menatap Laras layaknya bocah yang baru mendapatkan tamu bulan pertamanya.
"Sewot juga lagi."
"Mending datar plus sewot daripada dandanan kayak preman. Ini sekolah kali bukan pasar. Mau jadi jagoan? Biar dikata hebat?" celetuk Laras sarkas. Yasmine yang merasa pancingannya berhasil, tersenyum senang.
"Apa tadi lo bilang? Preman?" Yasmine maju selangkah. Tangan telunjuknya menyentuh bahu Laras. "Emang kenapa?" tanya Yasmine sambil mendorong bahu Laras.
Laras terkekeh. Menghela nafas pedek, wanita itu menatap Yasmine datar. "Dih, merasa hebat lo?" tanya Laras menatap remeh Yasmine.
"Lo——"
"Udah, Min!" Arken menengahi kedua perempuan itu sebelum sekolah ini menjadi hancur karena ulah mereka berdua.
"Laras bukan siapa-siapa gue kok."
Laras membatu. Tubuhnya menjadi kaku seketika. Netra matanya menatap wajah Arken, laki-laki itu nampaknya jujur mengatakan itu. Lihat? Tak ada rasa penyesalan diwajahnya.
Nyesek. Itu yang Laras rasakan. Ada sesuatu yang membuatnya terdiam lama saat Arken mengatakan hal itu. Entah Laras yang ke bawa baper atau apalah, tapi rasanya sedikit kecewa saat laki-laki itu mengatakan itu. Memang betul mereka bukan siapa-siapa, tapi bukannya mereka pasangan Raja dan Ratu bulan depan. Mungkin Arken menganggap itu bukan apa-apa. Harusnya ia juga bersikap begitu.
Laras mengepalkan kedua tangannya. Ia kesal saat wajah wanita disamping Arken itu sedikit tersenyum.
"Tapi nanti, gue pastiin dia bakal jadi orang yang gue datangin saat gue lelah dan saat gue butuh sandaran."
Hah?!
"Sandaran tuh di pohon!" ketus Laras cepat. Perempuan itu sudah bersiap meninggalkan Arken dan Yasmine, tapi dengan cepat Arken menahan lengan Laras yang hendak meninggalkannya.
"Pulang sekolah nanti gue anterin ya?"
"Enggak usah!"
"Ingat, kita ini pasangan Raja dan Ratu terrrrrr- hot di Sma ini."
"Hem."
Setelah itu Laras beranjak meninggalkan Arken dan Yasmine. Ia tak tahan harus berlama-lama dengan perempuan berpenampilan preman dengan mulut sambal. Benar-benar menguras emosi Laras.
"Siapo lo, Ken?" tanya Yasmine.
"Rencana sih jadi calon gebetan," ucap Arken lalu melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Karena kelas Arken dan Yasmine bersebelahan, akhinya mereka berdua berjalan bersamaan menuju kelas masing-masing.
"Terus habis lo tembak, lo putusin."
"Mati dong, kalo gue tembak dia," goda Arken dengan kekehan kecil. Yasmine yang melihat itu semua kesal bukan main.
"Terus lo apaain? Lo gantung?" tanya Yasmine lagi. Karena terlalu penasaran, perempuan itu menghentikan langkahknya didepan Arken. Memblokade jalan pria itu.
"Seterah gue lah, Min. Kepoan juga lo."
Yasmine mendengus kesal. Tapi, jika dilihat sekilas dari perjalanan cinta Arken. Ia tahu betul, bahwa laki-laki itu tidak akan setia hanya pada satu wanita.
"Hari lo gak akan lupa kan?" tanya Yasmine membuat kening Arken mengerut.
"Emang kenapa?" bukan menjawab, Arken malah balik bertanya. Tentu saja itu mengundang decakan dari mulut Yasmine.
"Hari ini ulang tahun nyokap gue. Dan, lo udah janji sama nyokap gue buat datang kan? Keenan juga ikut loh."
Arken terdiam. Ia benar-benar lupa tentang itu. Karena dari kecil mereka bersahabat, Arken sudah mengenal betul keluarga Yasmine. Apalagi pada Mama Yasmine yang selalu ingin menjodohinya padanya.
"Lo harus datang, Ken!"
Bodohnya Arken hanya bisa menangguk mengiyakan. Melupakan seseorang yang sudah ia janjikan untuk pulang bersama.