Ketukan pintu terdengar. Zia yang tengah terlelap langsung membuka mata. Dia tipikal orang yang sangat mudah terbangun. "Aku sudah bangun, Yah." Zia sedikit berteriak agar sosok laki-laki di luar kamar dapat mendengarnya.
Zia melihat ponsel. Ternyata ada banyak pesan yang masuk. "Ck, siapa lagi ini?" gerutunya. Zia terkadang bingung, kenapa ada-ada saja nomor baru yang mengirim pesan? Padahal Zia tidak memberikan nomor ponsel ke sembarang orang.
"Ayah ke masjid."
Zia melihat ke arah pintu yang masih tertutup. "Iya. Ayah hati-hati," balas Zia. Ia segera bangkit dari ranjang. Meskipun tanpa kehadiran sosok ibu dalam hidupnya, namun Zia tetap terdidik menjadi orang yang memiliki kepribadian baik. Ayah menjadi sosok ayah dan ibu secara bersamaan untuk Zia. Sejak ibunya meninggal, Ayah tidak ingin menikah lagi. Ia fokus membesarkan Zia dengan kasih sayang yang sangat besar.
Ayah Zia bekerja sebagai damkar atau petugas pemadam kebakaran. Pekerjaan ini dimulai sejak Zia berumur empat tahun. Jika dihitung-hitung maka sang ayah sudah bekerja selama 14 tahun lamanya.
Zia menatap laptop yang masih terbuka, ia menghela nafas panjang. Tugas yang diberikan oleh dosen tidak semudah yang Zia pikirkan. Zia termasuk anak aktif di kelas, ia selalu dipercaya oleh dosen untuk membuat projek-projek mini. Tentu saja projek itu tidak melewati batas kemampuan Zia.
Meskipun Zia masih semester satu, beberapa dosen menawarkan untuk mengikuti perlombaan bersama rekan-rekan senior dibawah bimbingan mereka tentunya.
Sebelum Zia memikirkan projek yang masih abu-abu, ia segera masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci wajah dan mengambil wudhu. Zia menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba Allah. Meskipun ia belum baik, tapi shalat adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Pukul enam pagi, Zia baru keluar kamar. Seperti biasa, ayahnya sudah berkutat di dapur. Zia bisa masak namun sang ayah melarang dirinya untuk masak. Siapa yang mengajarkan Zia memasak? Tentu saja sang ayah. Sampai detik ini Zia merasa tidak kekurangan kasih sayang walaupun ia memang membutuhkan sosok ibu. Apa yang dilakukan oleh sang ayah sudah membuat Zia merasa bahagia.
"Kalau Ayah terus yang masak, aku kapan pintarnya?" Zia memasang wajah cemberut. Ayah berhenti memotong bawang. Ia melihat ke arah sang anak yang tengah duduk di meja makan. "Selagi Ayah masih ada maka Ayah yang akan memasak, kalau nanti Ayah sudah tidak ada baru kamu masak sendiri."
Deg, jantung Zia berdetak dengan cepat. Ayah Zia mempersiapkan semuanya dengan sangat baik. Contohnya seperti mendidik Zia menjadi mandiri, mempersiapkan biaya hidup dan kuliah Zia sampai selesai bahkan sekarang menabung untuk pernikahannya. Walaupun sang ayah tidak mengatakannya, tapi Zia tahu.
Zia beranjak dari kursi. Ia langsung memeluk sang ayah. "Aku nggak suka kalau Ayah ngomong gini," ucap Zia. Ayah mengacak rambut Zia dengan gemas. "Maaf ya, Ayah salah."
"Nggak mau." Zia pura-pura menolak. Ia bahkan mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Anak Ayah kok cemberut gini?" Ayah menahan tawa.
"Ayah suka ngomong yang enggak-enggak. Kalau Zia yang pergi duluan gimana?" Zia memberikan tatapan penuh keseriusan. Ayah terdiam beberapa saat. Ia bahkan memeluk sang anak dengan sangat erat. Alasan Ayah bertahan sampai saat ini karena adanya Zia. Kehilangan istri sudah menjadi pukulan kuat dalam hidupnya. Dia tidak ingin kehilangan sang anak. "Kamu tidak akan meninggalkan Ayah," lirihnya.
Urusan kematian adalah kehendak tuhan. Manusia tidak bisa memaju atau memundurkan takdir kematian. Ayah tahu itu, namun ia tidak ingin kehilangan sang anak.
"Kok bau gosong?" ujar Zia dengan tatapan polos. Ayah langsung mematikan kompor gas karena ikan yang ada di wajan sudah hangus. Zia dan Ayah saling pandang, setelah itu mereka malah tertawa.
"Kamu sih," ucap Ayah sambil mengelus pucuk kepala Zia.
"Kok salah aku, Yah?" Zia menahan tawa.
"Iya iya, Ayah yang salah." Ayah langsung mengangkat ikan dari wajan. Ikan tersebut sudah tidak bisa dimakan lagi.
"Jangan dimakan, Nak!" ujar Ayah saat Zia ingin mengambilnya sedikit. "Masih bisa dimakan kok, Yah," balas Zia yang tidak ingin menyia-nyiakan masakan sang ayah.
Ayah menggeleng. Ia langsung mengambil piring dimana ikan gosong itu terbaring. Zia tidak bisa berbuat banyak sehingga ikan gosong sudah menghilang dari penglihatannya.
Pukul tujuh lewat dua puluh menit. Zia sudah bersiap-siap ke kampus. Tentu saja ia sudah sarapan bersama sang ayah. Menu sarapan yang awalnya adalah ikan goreng berubah menjadi telur tomat.
"Ini apa, Yah?" tanya Zia sambil mengerutkan alis.
"Kuliah kamu sampai jam sepuluh bukan?" Bukannya menjawab, Ayah malah balik bertanya.
Zia mengangguk. Hari ini ia hanya masuk satu mata kuliah saja. Namun Zia tidak langsung pulang setelah jam mata kuliah habis. Zia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan atau kantin fakultas untuk mengerjakan beberapa projek yang sedang berjalan.
"Ini buat ngisi perut sebelum jam makan siang."
Zia tersenyum. Ayahnya memang luar biasa. Pasti sebelum meninggal sang ibu sangat bahagia memiliki sosok suami seperti ayah. "Terima kasih Ayah," ucap Zia sambil mengecup pipi sang Ayah.
Ayah mengelus pucuk kepala Zia. Kebetulan hari ini Ayah bekerja shift malam sehingga bisa mengantar Zia ke kampus. "Kok shift malam? Bukannya 2 tahun ke belakang Ayah shift pagi atau siang saja?"
"Rekan kerja ada yang tidak bisa masuk malam," jelas Ayah.
"Apa tidak ada yang mau menggantikan selain Ayah?"
Ayah menggeleng. Jujur saja Zia tidak setuju jika sang ayah bekerja shift malam karena umur Ayah sudah tidak muda lagi. "Sudah sudah, lebih baik sekarang kita berangkat."
Zia mengekori sang ayah untuk naik ke atas jok motor. Perjalanan ke kampus menempuh waktu sekitar tiga puluh lima menit. Jika macet maka bisa mencapai empat puluh menit.
Motor sudah berada di depan gerbang. Sebenarnya fakultas Zia berada jauh dari gerbang kampus. Namun ia tidak masalah untuk berjalan kaki ke dalam. "Kalau capek istirahat," ucap Ayah. Zia menahan senyum. Ayahnya tidak pernah memaksa Zia untuk belajar keras. Jika memang lelah maka istirahat.
"Iya Ayah," jawabnya.
"Ya sudah, jaga diri baik-baik ya. Ayah nggak minta apa-apa, tapi kamu harus bisa jaga diri. Itu sudah hadiah paling berharga buat Ayah."
Zia mengangguk. "Baik Ayah. Aku akan selalu ingat pesan Ayah."
Sebelum pergi, Ayah memeluk Zia cukup lama. "Ayah, aku udah terlambat," cicit Zia.
"Ah iya, maaf maaf ya, Nak." Ayah langsung melepaskan pelukannya. Zia mencium punggung tangan Ayah. Setelah itu, ia melambai-lambaikan tangan sebelum berlari menuju fakultas.
Sudah pukul delapan, Zia benar-benar terlambat. Namun ia akan mencoba untuk tetap masuk ke kelas meskipun tidak mendapat absen sama sekali. Bagi Zia, ilmu lebih penting dari absen.
***
"Papa kemana, Ma?" Agam tidak menemukan sang Papa. Padahal Papa Darwin biasa pulang hari ini. Mama dan Papa Agam sangat sibuk bekerja. Papanya adalah seorang profesor penelitian dari salah satu perusahaan farmasi yaitu XXXA Medica. Sedangkan sang Mama merupakan ahli IT di perusahaan yang sama dengan Papa Darwin.
"Papa?" beo Mama tampak sedikit gusar.
"Iya, hari ini kan jadwal Papa pulang ke rumah."
Mama seperti mengalihkan pandangan. "Papa masih ada kerjaan, jadi pulangnya besok."
Agam menghela nafas panjang. Padahal ia ingin menghabiskan waktu bersama Papa. Walaupun seharian hanya di rumah, Agam sudah sangat senang.
"Mama kenapa?" Agam khawatir karena sang Mama seperti menahan rasa sakit.
Mama tersenyum. "Tidak apa-apa, mungkin kelelahan.
"Sudah sudah, lebih baik kita segera sarapan," lanjut Mama lagi agar sang anak tidak khawatir.
Agam mengangguk. Mereka menikmati sarapan pagi.
Meskipun Mama dan Papa sibuk bekerja, mereka tidak pernah mengabaikan Agam. Tentu saja Agam juga mengerti tentang kesibukan kedua orang tuanya sehingga tidak menuntut sama sekali.
Ponsel Mama Ana berbunyi. "Mama angkat panggilan dulu."
Agam mengangguk. Mama sedikit menjauh sehingga Agam tidak bisa mendengar apa yang mereka obrolkan. Diam-diam Agam melirik Mama karena penasaran. Apalagi raut wajah Mama berubah seketika.
"Kenapa, Ma?" tanya Agam saat Mama sudah selesai melakukan panggilan.
"Tidak apa-apa. Mama harus kembali ke perusahaan."
Agam mengerutkan kening. "Tapi sarapannya belum habis."
"Mama sudah kenyang." Mama langsung mengganti pakaian dan mengambil tas yang biasa digunakan saat pergi bekerja. Agam hanya bisa diam sembari memperhatikan setiap tindakan sang mama yang tentu saja terlihat terburu-buru.
"Mama pergi dulu ya," ucap Mama setelah mengecup kening Agam.
Agam mengangguk. Ia hanya melihat punggung Mama yang perlahan menjauh. Namun sebelum menghilang, Mama berhenti sejenak dan berbalik.
"Agam," panggil Mama.
"Iya, Ma."
Mama tersenyum. "Apapun yang terjadi, kamu harus percaya sama Papa."
Agam tidak mengerti. "Maksud Mama apa?" tanyanya.
"Mama berangkat dulu." Mama pergi begitu saja tanpa menjelaskan kepada Agam.
Sebelum Agam berangkat ke kampus. Ia membersihkan rumah terlebih dahulu. Bahkan alat-alat bekas makan sudah bersih dan tersimpan dengan rapi. Namun ia masih memikirkan maksud perkataan sang Mama.
Agam melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Ternyata sudah pukul sembilan pagi. Ia masuk pukul sepuluh dan masih ada satu jam sebelum kelas dimulai.
"Ganteng banget Kak Agam."
"Udah ganteng, pintar terus kaya lagi."
"Cari cowok modelan Kak Agam dimana ya?"
Beberapa komentar dari mahasiswi terdengar saat dirinya baru turun dari mobil berwarna putih. Agam seakan tidak peduli. Ia bukan sombong, hanya saja ia tidak ingin terlalu ramah kepada orang-orang yang tertarik dengan dirinya. Lebih baik membangun dinding tinggi daripada memberi harapan yang seharusnya tidak dilakukan.
"Woi!" Seseorang menepuk pundaknya.
"Nggak usah teriak bisa?"
Yuno menyengir. "Ada apa?" tanyanya karena tiga puluh menit yang lalu Agam menyuruhnya untuk datang.
"Kio buat ulah lagi."
Yuno menghela nafas panjang. Kio adalah senior mereka di dunia organisasi. Seharusnya Kio fokus menyelesaikan pendidikan bukan malah mengurusi organisasi kampus. Apalagi Kio sudah semester dua belas.
"Udahlah Gam, pura-pura buta aja,” respon Yuno. Ia tidak terlihat kaget sama sekali.
"Nggak bisa."
"Lo nggak akan bisa lawan Kio, tolong jangan tambah masalah."
Kio tidak akan sendiri, dia memiliki circle pertemanan yang tidak bisa diremehkan. Bahkan anak kampus tidak ada yang berani untuk melawan atau membongkar apa yang sudah Kio dan kawan-kawannya lakukan.
"Terus gue diam aja gitu?" Agam tidak bisa melakukan itu. Dia ingin menjadi presiden kampus untuk merubah sistem organisasi yang didalamnya rusak.
Yuno memijat pangkal hidung. "Apa yang dia lakukan?"
"Mereka ambil uang donasi," jawab Agam. Ia sudah melakukan penyelidikan 1 bulan dan menemukan fakta ini. Bisa-bisanya seorang yang menempuh pendidikan namun mengambil uang untuk donasi. Bagaimana jika nanti mereka terjun ke lingkungan masyarakat? Mungkin mereka akan melakukan korupsi dalam jumlah yang lebih besar.
"Berapa kali ini?" Yuno tidak kaget lagi.
"Kali ini?" Beo Agam.
"Berapa?" Yuno tidak merespon pertanyaan Agam.
"Dua belas juta. Gila nggak?"
"Udah Gam, jangan dibahas lagi."
"Gue nggak bisa diam, dua belas juta itu nggak sedikit. Kalau lo mau diam ya silahkan, tapi gue nggak akan diam." Agam meninggalkan Yuno begitu saja.
Yuno mengacak rambutnya frustasi. "Agam!" teriaknya dengan suara tertahan.