Part 1

1998 Kata
Rizky Arveansyah, seorang pria tampan berusia tiga puluh tahun. Berwajah tegas, rambut hitam pendek yang membuatnya terlihat cool dengan rahang yang sekilas nampak di tumbuhi rambut-rambut halus terlihat maskulin dan mata cokelat pekat. Ia sangat tampan dengan tinggi kira-kira 180 cm. Status yang disandangnya seorang duda. Ia telah menikah dengan Almeera pada lima tahun yang lalu dan dikaruniai seorang putri cantik yang bernama Aira Noer Arveansyah. Sangat disayangkan memang, pernikahan mereka berakhir di saat Aira menginjak usia satu tahun. Bukan berakhir perceraian, melainkan Almeera meninggal dunia karena kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari. Sebelum Almeera dinyatakan meninggal, ia mengalami koma selama berbulan-bulan. Dengan biaya rumah sakit yang tidak sedikit, mengharuskan Rizky menjual aset-aset berharganya dari mobil, motor hingga rumah huniannya. Namun apa daya, seluruh pengorbanannya sia-sia saja sebab Almeera akhirnya meninggalkan ia untuk selama-lamanya. Kehidupan Rizky jungkir balik hingga 180 derajat setelahnya. Sekarang ia sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali harta yang sangat berharga dalam hidupnya yaitu putri tercintanya. Di saat keterpurukannya itu, ia ingat bahwa masih ada tanggung jawabnya sebagai ayah. Rizky dan Aira tinggal di kontrakan kecil yang ia bayar sebesar lima ratus ribu rupiah setiap bulannya dan itu belum termasuk listrik juga PAM. Rizky merasa bersalah dengan keadaannya, karena secara tidak langsung Aira harus menanggungnya juga. Ia tidak bisa membahagiakan Aira dengan kemewahan. Akan tetapi dengan semampunya ia berjuang untuk membahagiakan putri kecilnya dengan cara memberikan apa yang Aira mau. Terkadang Aira tidak memaksa jika Rizky tidak bisa membelikannya. Ia seperti mengerti keadaan ayahnya. Bangga sudah pasti, Rizky tidak menyangka putri kecilnya itu bisa bersikap dewasa di usianya. Kini Aira berusia empat tahun, ia sudah bersekolah di salah satu Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disebut PAUD. “Ayah, nanti belikan Aila baju muslim Flozen ya. Teman-teman Aila punya baju itu, katanya bagus. Aila jadi mau, Yah, ucap Aira, yang masih belum bisa menyebutkan huruf 'R', di pangkuan Rizky di dalam bus. Mendengarnya, Rizky tersenyum, “Iya, nanti Ayah belikan kalau sudah gajian ya. Ia mengusap rambut Aira dengan penuh sayang. Aira menengok ke belakang menyejajarkan wajahnya dengan Rizky, “Benal, Yah? tanyanya antusias ditambah dengan mata bulat yang berbinar. Rizky menatap wajah Aira, “Benar, sayang. Kita akan beli baju itu nanti tapi Aira harus sabar menunggu ayah gajian ya.” “Ayah, gajiannya kapan?” “Ehmm, mungkin dua minggu lagi,” jawaban Rizky membuat binar mata Aira perlahan meredup, kecewa. “Masih lama ya, Yah?” Raut wajahnya menjadi murung. Ia ingin segera membeli baju Frozen agar bisa memakainya bersama teman-temannya. Ia tidak menyangka harus menunggu lebih lama lagi. Rizky menghela napasnya, ia tahu jika putri kecilnya kecewa. “Iya, sayang. Maafkan ayah. Kamu harus menunggu dulu sampai ayah gajian. Aira hanya menunduk, tidak menjawab. Setelah turun dari Bus, mereka berjalan menuju sekolah Aira walaupun tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan Aira diam saja, dan tetap terus menundukkan kepalanya, seolah tanah lebih menarik daripada obrolan bersama sang ayah. Sesampainya di depan sekolah, Rizky berjongkok agar setara dengan tinggi tubuh Aira, lalu menghadap putrinya dengan senyum terulas. “Di sekolah Aira jangan nakal, perhatikan Guru yang mengajar ya. Aira mau jadi anak pintar, kan?” Aira hanya mengangguk. “Bekalnya juga harus dihabiskan, jangan jajan di luar dan jangan berbicara dengan orang asing, anggukkan Aira menjadi jawabannya, ya sudah, ayah pergi kerja dulu. Nanti siang ayah jemput. Rizky mencium pipi Aira lalu mengusap kepalanya, dan kemudian Aira masuk ke dalam kelas dengan perasaan sedih. Ia merasa kecewa harus menunggu sedangkan teman-temannya sudah memilikinya. Rizky berlari mengejar waktu takut terlambat kerja. Ia harus naik angkutan umum kembali untuk sampai kantornya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Aira yang menginginkan pakaian muslim Frozen. Ia terpaksa menekan perasaannya, membuat putri kecilnya bersedih adalah penyesalan dalam hidupnya. “Aku harus bertahan kan, Almeera, demi putri kita?” bisik hati kecilnya. Sesampainya di kantor Rizky segera mengerjakan pekerjaannya membuat laporan pengerjaan gedung kementerian yang ia tangani. Ia bekerja sebagai konsultan lapangan di sebuah perusahaan konstruksi. ♥♥♥ Di ruangan yang temaram dengan minim cahaya seorang Pria gemulai berjalan mengendap-ngendap menuju ke arah gorden, dengan cepat tangannya menarik tali gorden. Sekejap cahaya mentari masuk menerangi seluruh ruangan yang bias dari kaca. Gadis itu mengerutkan keningnya saat matanya yang tertutup diterpa cahaya yang menyilaukan. “RORO!” teriaknya. Ia tahu ini adalah ulah asistennya. Dengan kesal gadis itu bangun dari tidurnya, matanya terpaksa terbuka lebar menatap tajam Pria yang ada di hadapannya. “Kamu mengganggu tidurku, Roro! Kamu kan tahu lagi malam aku tidur jam berapa, hah?” Pria yang diteriakinya mendengus, “Jangan panggil aku 'Roro'!” sahutnya kesal. “Aku tahu kamu pulang dini hari tapi kamu juga harus tahu kalau sekarang sudah jam sebelas siang dan kamu ada pemotretan jam satu, Zeeva!” ucapnya tak kalah sengit. Gadis itu menggembungkan pipinya, “aku masih mengantuk, Roland!” ucapnya sambil memeluk boneka kesayangan miliknya, Teddy Bear berwarna coklat muda dari seseorang yang ia sayangi. Roland mendekatinya lalu duduk di ranjang, “Zee, jangan bermalas-malasan begitu. Ini kan resiko kerjaan kamu, jadwal kamu minggu ini padat sekali. Kalau kerjaan kamu sudah selesai sesuai kontrak, kamu bisa liburan semaumu. Ok!” Ia mengedipkan mata genitnya. “Janji?” “Iya, sekarang kamu mandi terus sarapan. Aku sudah belikan makanan tadi sebelum ke sini” Zeeva tersenyum manis, “baiklah, akan aku ingat janjimu itu. Awas kalau tidak!” Ancamnya saat beranjak ke kamar mandi. Terima kasih... RORO!” teriaknya dari dalam kamar mandi sambil terkikik geli. Roland sangat benci dipanggil seperti itu. “ZEEVA, AKU BENCI DI PANGGIL SEPERTI ITU! MEMANGNYA AKU RORO FITRIA, HAH?” “Tidak apa-apa seperti 'Roro Fitria' kan dia kaya raya, kali saja nanti kamu ikut kaya, Roland!” sahutnya lagi dari dalam kamar mandi. Zeeva membayangkan wajah Roland yang betapa kesalnya. Pria gemulai yang selalu setia menemaninya pergi ke mana pun sekaligus menjadi sahabat yang ia sayangi. Ia mulai membersihkan tubuhnya, sembari bersenandung sesekali. Selesai mandi dan berpakaian, gadis itu menarik kursi dan bergegas mendudukinya. Ada beberapa potong Sandwich tuna kesukaannya telah terhidang di atas meja. Diambil sepotong, lalu dimakannya. Ia sudah rapi dan wangi. Rambut panjang coklatnya dicepol, menampilkan leher yang jenjang dan putih bersih. Ia memakai make-up simpel namun tidak mengurangi kecantikannya. Bulu matanya yang lentik membingkai indah di kedua matanya yang bulat jernih. Tubuh profesional seorang model, sungguh membuat banyak sekali wanita iri padanya. Gadis itu adalah Zeeva Olivia Dermawan yang kini berusia dua puluh enam tahun. Roland sedang sibuk di kamar, merapikan perlengkapan Zeeva yang akan dibawa. Ia keluar membawa tas besar dan beberapa gaun Zeeva untuk menghadiri acara pertunangan temannya. “Roland, kamu sudah sarapan belum?” Zeeva bertanya sebelum meminum jus jeruknya. “Sudah tadi di jalan. Oh iya, pakaian untuk pemotretan sudah disiapkan di sana. Jadi aku cuma bawa gaun buat nanti malam ke acara Shila.” Zeeva hanya mengacungi jempolnya, bibirnya dihiasi senyuman bertanda puas dengan pekerjaan Roland. “You're the best, Ror,” kata Zeeva. Roland memandanginya garang. “Ups, you're the best, Roland. I love you...” segera ralatnya cepat. Roland mendelik namun ia tersenyum juga. Dengan santai Zeeva menikmati sarapan paginya dan memulai aktivitasnya seperti biasa. “Zee, sudah selesaikan. Kita berangkat sekarang,” ucap Roland yang memandangi Zeeva memasukkan ponsel ke dalam tas. “Siap, Bos!” sahut Zeeva yang menghampiri Roland lalu menggandengnya keluar apartemen. Di dalam mobil, Zeeva duduk di belakang, dan sedang asyik menikmati musik lewat earphone di telinganya. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya nan mancung. Ia sedang melihat-lihat hasil fotonya kemarin di IPad dan sangat puas dengan pose-posenya. Roland sedang mengemudi dengan ponsel di tangan kirinya. Ia akan menelepon, sampai kemudian mendadak menginjak rem. Citttttttttt Tubuh Zeeva berguncang hebat ke depan, ia sangat terkejut akibat Roland mengerem mendadak. IPad yang Zeeva pegang sampai jatuh ke bawah. “Roland!” teriaknya. Roland diam membeku di tempat duduknya. Aneh dengan keadaannya, Zeeva menepuk bahunya. “Kenapa?” tanya Zeeva, mulai cemas. Roland masih diam. “Kamu kenapa, Roland?” tanyanya lagi. Tubuh Roland gemetar, “Aku.. Ku, uh, sepertinya me—menabrak, Zee,” ucapnya terbata-bata. Seketika mata Zeeva terbelalak di balik kacamatanya. “WHAT?! Kamu menabrak seseorang, Land?” Tubuh Zeeva ikut gemetar. “Kita harus melihatnya!” ucapnya panik. Roland menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibirnya yang tak henti bergetar. “Aku takut, Zee—Aku takut. Aku tidak berani turun.” “Terus kita harus bagaimana? Atau kita kabur saja?!” Zeeva serba salah apa lagi usulnya itu sangat menyesatkan. Roland menggelengkan kepalanya lagi. “Kita harus membawanya ke rumah sakit.” “Ya, sudah! Kita bawa dia ke sana. Dan pertama yang kita harus lakukan adalah turun dulu!” Zeeva hendak membuka pintu mobil “Kamu saja yang turun, aku takut Zee...” “What the..!!” desis Zeeva seorang diri. “Iya, kamu yang turun. Please, Zee tolonglah aku butuh waktu sebentar saja untuk menenangkan diri. Please, Zee...” Roland memohon wajahnya sudah pias. Karena tidak tega, Zeeva menarik napas panjang memberanikan diri. Ia akan melihat seseorang tergeletak bersimbah darah. Ia menggeleng kepalanya mengusir pikiran tersebut. Perlahan, Zeeva membuka pintu mobil. Jantungnya berdebar tidak keruan karena takut yang teramat sangat. Kakinya melangkah dengan berat serta gemetar ke arah depan mobil. Tanpa terduga tidak ada orang yang tergeletak atau pun darah, melainkan... Zeeva memandangi seorang gadis kecil yang sedang duduk dengan tenang sambil memeluk seekor anak kucing. Posisinya hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari depan mobil miliknya. Gadis kecil itu menoleh ke arah Zeeva lalu mengedip-ngedipkan matanya, polos. Seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya padahal sedetik saja ia hampir kehilangan nyawanya. Gadis kecil itu seolah bercahaya di mata Zeeva, membuat kedua matanya berbinar-binar saat melihatnya. Mata bulat nan hitam jernih itu menghipnotis Zeeva, pipi bulat, bibirnya yang berwarna pink dan kulitnya berwarna putih bersih. Gadis kecil itu seperti boneka. Perlahan Zeeva mendekatinya, mereka saling menatap lekat. Ia jongkok di depannya. Tangannya terulur mengelus rambut gelombang gadis kecil itu. “Kamu tidak apa-apa, kan?” “Ehm,” angguknya. “Aila tidak apa-apa. Ya kan?” tanyanya malah kepada kucing yang ada didekapnya. Zeeva tersenyum karena tingkah lucu Gadis kecil di hadapannya ini. “Syukurlah,” Zeeva mengelus dadanya. Kini udara mulai masuk ke dalam paru-paru dengan normal kembali, ia bisa bernapas lega sekarang. Tanpa ragu ia menggendong gadis kecil itu, “kenapa kamu ada di jalan raya seperti ini, uhm?” Zeeva menuntun bocah itu dan berjalan ke arah trotoar. “Aila mau menolong si empus ini,” tunjuk si gadis kecil. Kucing tersebut diam saja menurut kepada Aira. Zeeva berdiri di pinggiran trotoar sedangkan Roland masih di dalam mobil. “Oh, tapi kamu tidak boleh kalau seperti itu. Nanti kalau tertabrak bagaimana?” Roland melihat Zeeva menggendong gadis kecil di trotoar. Ia langsung keluar dari mobil. “Zee! Mana orangnya yang tertabrak?” Zeeva dengan tampang garang, “Ini orangnya!” Ia memainkan matanya ke arah gadis mungil yang di gendongnya. “Hah!” tampang bodoh Roland sangat lucu. Kalau saja tidak sedang keadaan seperti ini Zeeva sudah tertawa terbahak-bahak. “Iya! Ini orangnya, hampir saja kamu menabrak gadis mungil ini! Makanya kalau menyetir jangan suka main ponsel!” omelnya saat Roland menghampiri. Roland ingin mengambil gadis mungil itu untuk memastikan apa ada yang terluka atau tidak. Namun gadis kecil itu merengut ketakutan. Tangan kanannya memeluk leher Zeeva. Kepalanya menyuruk, ia tidak nyaman dengan kehadiran Roland. Sementara kucingnya terjepit di antara mereka. “Gadis manis, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Roland khawatir. Aira menggelengkan kepalanya membelakangi Roland. Roland mengelus dadanya, lega. “Syukurlah, jantungku hampir copot tadi” “Memangnya kamu punya jantung, Land? tanya Zeeva meledek. Roland melotot. Zeeva menyengir. “Oh ya, nama kamu siapa, Sayang?” tanya Zeeva. Gadis mungil itu menegakkan tubuhnya. Ia melepaskan tangan yang merangkul leher Zeeva. “Aila.” “Aila?” ulang Zeeva. Aira menggelengkan kepalanya. “Ai. La!” ucapnya lagi dengan susah payah menyebut huruf 'R' namun tidak bisa. Zeeva menyengir, ia bingung sendiri. Roland langsung menyahut, “Aira?” gadis kecil itu mengangguk cepat. “Begitu saja tidak bisa menebak. Iyuh, payah! Ternyata kamu yang tidak punya otak Zee. Hahaha!” “Sial!” umpat Zeeva. Dilihatnya Aira ikut tertawa. “Ehm, Aira kok sendirian?” Ia mengedarkan pandangannya ke belakangnya yang ternyata sekolah PAUD Aira yang dekat dengan jalan raya. Terlihat lenggang sepi begitu pun pos satpam kosong. “Aila lagi menunggu ayah jemput.” Merasa sepi Zeeva dan Roland masuk ke dalam sekolah PAUD. Ia menatap sekeliling mencari orang yang bisa ditanyai. Mereka duduk di depan pos satpam tersedia tempat duduk dari tembok. Aira mengelus-ngelus kucingnya dengan sesekali tersenyum. Ia merasa tidak takut dengan Zeeva tapi masih merasa takut pada Roland. “Aira!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN