2. Bingung Sama Rata

1050 Kata
Satu porsi besar ayam nanking yang dibawa Rendi menjadi santapan makan malam dirinya juga istrinya, putranya tentu tidak bisa makan yang seperti ini, dan lagi jam segitu dia sudah tidur. Rendi selalu pulang larut malam, setelah bekerja biasanya tidak langsung pulang. Berdiri di dekat lampu merah mengumpulkan donasi, terkadang dia juga mengirimkan email ke banyak lembaga juga mengakses social media meminta donasi. Dari situ ditambah dengan penghasilannya, lumayan bisa membantu pengobatan anaknya meski mereka harus berhemat ketat. "Udah lama gak makan beginian," kata Amirah menuang air. "Maaf ya, sejak Aidan lahir situasi makin sulit." Rendi merasa bersalah. "Gak perlu minta maaf, Mas udah berusaha." Amirah membesarkan hati suaminya. "Gimana kata dokter?" tanya Rendi ingin tahu. Amirah mendesah pelan, tadi mereka ke rumah sakit lagi untuk cuci darah dan dokter memberikan kabar yang tidak baik. Gagal ginjal pada anak mereka ini sudah semakin menyulitkan dan menurunkan kualitas hidup anak itu. Entah sebutannya apa Amirah tidak jelas dan mengerti, yang dia tahu bahwa Aidan harus segera menjalani transplantasi ginjal kalau ingin sembuh. Rendi mendesah pelan, anaknya ini masih kecil sekali. Transplantasi berarti harus mencari donor dan itu tidak mudah, kalau pun ada pastinya akan meminta imbalan yang besar. Mungkin dia akan mengajukan diri untuk diperiksa untuk mencari kemungkinan bahwa ginjalnya mungkin cocok untuk anaknya. Tapi pengambilan ginjal juga transplantasi itu adalah tindakan operasi yang pastinya menguras biaya yang tidak sedikit. Uang dari mana. "Gak bisakah tetap cuci darah saja seperti biasa?" tanya Rendi dengan lemah. "Kata dokter sih bisa Mas, tapi harus berapa kali dia harus cuci darah? Dia masih sangat kecil." Amirah mulai meneteskan airmata. Kembali Rendi dilanda gundah, donasi yang dia dapatkan itu tidaklah banyak bila dibandingkan kebutuhannya menebus obat, memberi makanan bergizi kepada anaknya juga keperluan lain. Lembaga yang dia datangi belum memberi respon dan yang dikirimi email belum memberi jawaban. Apalagi yang harus dia lakukan, setiap hari sudah bekerja di dua tempat, bahkan dia juga tidak mengenal hari minggu. Rendi membuka pintu kamar, menatap ke arah putranya yang sedang terlelap. Tadi dia habis cuci darah, bagian tubuhnya tidak lagi menggelembung berisi cairan seperti kemarin. Napasnya terasa sesak membayangkan apa yang dirasakan oleh anak itu, dia sudah berusaha maksimal sesuai yang dia tahu. Pelan Rendi menutup pintu kamar, istrinya hanya menatapnya dengan wajah kuyu. Meski ini adalah pemandangan sehari-hari. *** Santi menceramahinya hingga rasanya telinga hampir budeg, membeli suami katanya. Manusia itu bukan barang yang bisa diperdagangkan, sekejab Santi berubah seperti ustadzah yang kerap memberi ceramah di layar televisi. Mendengarkannya saja rasanya sudah pegal, tapi Santi masih saja bicara seperti bebek. Akhirnya Kay memutuskan mengalah dan tidak membahas itu lagi. Telinganya tidak sanggup lagi. Kay menggeliat pelan sebelum akhirnya meninggalkan ruangannya diikuti oleh Santi, seharusnya dia sudah pulang sejak dua jam lalu, tapi hingga sekarang dia masih di kantor. Jadwal Kay hanya ada sedikit, bekerja, main dan tidur. Temannya tidaklah banyak, mereka biasanya hanya datang ketika butuh saja, manusia memang picik sekali. Kalau sedang tidak butuh mereka hanya akan pura-pura akrab saja, sialan memang. "Ibu tadi telpon," kata Santi. "Urusan cari suami lagi? Gak sabaran amat sih," gerutu Kay. "Katanya mau datang ke rumah bawa foto calon mantu." Santi menambahkan. "Perasaanku jadi gak enak," gumam Kay. "Ibu sama bapak ngebet amat sih Mbak mau mantu, kan ini bukan di kampung." Santi mengutarakan keheranan. "Tanya sendiri sana, kau pikir aku gak pusing? Mending disuruh menangin tender daripada disuruh cari suami," gerutu Kay sekali lagi. "Menangin tender kan Mbak Kay tinggal nyuruh bawahan, jelas gampang gimana sih," tak urung Santi menggerutu juga. "Pulang aja yuk, jangan lupa pesenin makan malam." Kay berpesan. "Di rumah kan ada koki, kenapa pesan di luar?" tanya Santi, pemborosan. "Aku lagi pengen makan sushi, comfort food." Kay menjawab disusul celengan kepala Santi yang segera menelpon restoran favorit majikannya. High heels itu beradu dengan lantai mencipta suara teplok-teplok mirip suara kaki kuda, bersahutan antara milik Kay juga Santi. Hari ini cukup sampai di sini saja dan mereka akan pulang dan lanjut makan sushi di rumah saja. Otaknya sedang membutuhkan ketenangan, mencari suami itu ternyata tidak mudah meski target sudah dia dapatkan. Hanya sebatas target, dia sudah beranak istri dan sepertinya sangat menyayangi keluarganya. Menjengkelkan. Ketika di perjalanan Kay menoleh lagi ke arah yang sama di mana dia bertemu dengan pria bernama Rendi itu. Dia ada di sana seperti biasa, gerimis itu membasahi pakaiannya menampakkan garis tubuh yang menggoda mata Kay. Pria yang menjadi targetnya itu, apakah mungkin bisa dibeli seperti keinginannya. Merayu untuk menikahinya jelas tidak mungkin, anak istrinya ditaruh di mana. Kedatangan Kay di rumah disambut oleh mamanya yang dengan semringah menunggu di ruang tengah, sedikit basa-basi mereka terlibat percakapan yang serius. Apalagi kalau bukan tentang pernikahan, Kay bahkan merasa tidak sempat bernapas kalau begini caranya. Kalau ingin mendapatkan penerus lain kenapa mama tidak beranak lagi saja, atau papa menikah lagi dan mendapat keturunan. Beban itu kenapa dia yang harus menanggung. "Kay, Mama abis arisan kemarin tuh," kata mama antusias. "Arisan brondong?" tanya Kay jahat. "Enak aja, bukaaaaan. Itu arisan, gak tau deh arisan apaan yang penting ngumpul ngeksis aja sih," jawab mama mengaku juga. "Trus, kesini cuma mau cerita itu? Mama kurang kerjaan amat," tanya Kay dengan malas. "Eeee bukaaan, ini Mama datang bawa foto. Anaknya temen Mama ini katanya baru lulus Oxford, PhD itu. Kan berarti ini orang pinter bener." Mama menyodorkan sehelai foto. "Astagaaaa," gumam Kay begitu melihatnya. Bukan bermaksud merendahkan ciptaan Tuhan, tapi pria dalam foto itu benar-benar bukan tipe pria idaman bagi Kay. Memang terlihat pintar dengan kacamatanya itu, tapi rambutnya hanya sedikit, baiklah sebut saja botak. Mungkin kepalanya terlalu panas dipakai untuk berpikir terus semasa sekolah. Dan mama mau menjodohkannya dengan pria seperti ini, selera mama kenapa menurun drastis. Kalau mama saja memilih seorang Ardiyanto Tanzil kenapa Kay harus menerima pria seperti ini. "Mama, gak salah?" tanya Kay. "Gak salah, pinter loh dia. Kan bagus buat memperbaiki gen, sapa tau nanti cucu mama juga pinter." Mama dengan berapi menjawab. "Memperbaiki keturunan? Mama pikir aku bodoh?" tanya Kay agak emosi. "Kan cuma usul, gimana sih emosian amat." Mama bergumam. "Mama mau, kalo ternyata cucunya cewek. Pinter gitu, tapi botak gegara nurun bapaknya?" tanya Kay makin kesal. "Ya jangan," jawab mama perlahan. Kay menggeleng lemah, lelah sudah hayati rasanya. Wahai bakiaknya Mak Lampir, di mana ada toko yang menjual suami, Kay mau beli. Ren ... bisa gak kamu dibeli?, Kay membatin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN