SIDANG DADAKAN

1676 Kata
"Kamu ini lho, le. Bikin malu Ibu aja." Ucap Bu Wanti geregetan pada putranya itu. Padahal kemarin-kemarin saja sudah menolak mentah-mentah keinginannya untuk menikah. Dan hari ini, malah langsung nyosor anak perempuan orang. Arham menunduk sambil meremas jemarinya sendiri. Lagipula yang tadi itu bukanlah sebuah kesengajaan. Siapa suruh Fasha mendorongnya, kan tubuhnya jadi tidak seimbang. Dan sekarang siapa yang salah? Tapi Arham juga diam saja saat ciuman itu berlangsung, tidak melakukan apapun. Hanya diam dan menikmatinya sampai akhir. Akhirnya ketahuan! Ia benar-benar disidang oleh dua perempuan paruh baya hanya karena salah paham. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah resikonya harus begini. Sedangkan Fasha? Dia malah asik dengan ponselnya. Seperti tidak menganggap jika masalah ini adalah masalah yang sangat serius dan sensitif. Ah, atau hanya pikiran Arham saja. Perasaannya jadi tegang begini, padahal saat ia melakukan bedah, perasaan tegang tak seperti ini. Rasanya dia hendak ditembak mati saat itu juga hanya karena dia ketahuan mencium perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. "Pokoknya, Ibu ndak mau tau. Bulan depan kamu nikah sama Fasha. Belum apa-apa aja, kamu udah main nyosor aja. Apalagi kalau kelamaan," ucap Bu Wanti yang membuat Arham sontak langsung kaget. "Lah, kok jadi gitu? Lamaran aja belum," ketus Arham sambil melipat tangannya di d**a. Rasanya otaknya langsung konslet saat mendengar kata pernikahan. Memangnya pernikahan itu main-main apa. "Kamu tinggal nurut aja," jawab Bu Wanti sebagai penutup dari sidang sore itu. Bu Dena hanya bisa diam melihat calon mantu dan calon besannya sedang berdebat. Lagipula memang benar jika pernikahan mereka harus dipercepat, pasalnya takut jika kedua bocah itu akan melakukan hal-hal dibelakang mereka. Walaupun awalnya memang atas dasar tidak sengaja. Disisi lain, Fasha tidak terlalu mendengar perdebatan antara Arham dan kedua perempuan paruh baya di sana. Ia hanya sedang sibuk dengan materi kuliah yang baru saja di share di grup w******p kelasnya. Fasha mendengus kesal, bagaimana bisa dosen satu itu memberikan tugas mahasiswanya sebanyak itu. Ada seratus soal yang harus selesai dalam waktu dua minggu. Dan ingat, tidak ada coretan tipex, coretan pulpen, tulisan harus jelas dan bisa terdeteksi mata tentunya. Kenapa pula dengan semester empat ini, susah sekali otaknya untuk dikondisikan. Apalagi sekarang sikunya masih nyut-nyutan tak jelas. Ditambah otaknya juga ikut nyut-nyutan. Bagaimana kabar IPK-nya jika ia sampai tidak bisa mengerjakan semua tugasnya ini. Alur pembuktian, lagi dan lagi. Lagipula muridnya juga tidak akan diajarkan masalah pembuktian. Bisa-bisa sampai rumah mereka langsung muntah-muntah akibat keracunan rumus. Sama halnya dengan dirinya yang sudah lelah dengan mencari mengapa satu tambah satu sama dengan dua. Memangnya dia yang mencetuskan apa? Lagipula kenapa mata kuliah matematika jadi berubah saat di bangku kuliah? Kenapa angka-angkanya begitu saja menguap tanpa sisa. Hanya tinggal dalil-dalil abstrak yang harus dibahas. Pandangan matanya kemudian beralih pada sofa yang di duduki Arham. Diam-diam ia ikut tersenyum menatap Arham yang sedang memijit pelipisnya. Ia jadi ingat adegan ciumannya dengan Arham tadi. Ternyata dokter itu adalah calon suaminya. Kalau begini ceritanya kan, dia tidak akan susah-susah menolak. Lagipula Arham memang ganteng dan dia suka dokter itu. Walaupun terkadang judes dan cuek padanya. Mungkin memang pembawaan dokter seperti itu. Lama-kelamaan pasti Fasha juga akan terbiasa. "Pak dokter," seru Fasha ke arah Arham yang masih memijit pelipisnya. Bu Dena dan Bu Wanti baru saja keluar dari ruangan rawat inap Fasha entah kemana. Arham menoleh sejenak dengan wajah frustasi, "kenapa? Minta dicium lagi?" Ketus Arham karena kesal dengan ucapan Fasha tadi, yang bilang jika bibirnya manis. Membuat dirinya harus disidang oleh ibunya dan akhirnya harus menikah sebentar lagi. Kedua bola mata Fasha tiba-tiba berbinar, "boleh!" Serunya senang. Bukannya takut, eh malah kegirangan. Membuat Arham memelototkan kedua bola matanya. Kenapa calon istrinya begini, ya Allah. Rasanya ia jadi ikutan gila kalau begini ceritanya. Selama ini ia tidak pernah menghadapi pasien yang gilanya nggak ketulungan. Memang sih dia ganteng, tapi banyak perempuan yang jaim alias jaga image di depannya. Lah ini, makhluk satu ini sama sekali tidak ada jaimnya sedikitpun. Menurut Fasha sendiri, mendapatkan Arham adalah rejeki nomplok. Walaupun diawal ia memang tidak setuju. Tapi dilihat-lihat, Arham bisa dijadikan tempat move on yang pas. Dokter ganteng itu akhirnya keluar dari ruangan Fasha dengan wajah kesal. Bukankah niatnya tadi hanya untuk menuruti ibunya yang mau menjenguk yang katanya 'calon mantu' eh malah dianya yang kena sial. Sudah ketahuan nyium anak orang, sekarang anak orang itu malah ketagihan dengan dirinya.   ---oOo---   Pagi harinya, Arham sudah siap dengan snelli yang melekat di tubuhnya. Matanya masih terserang kantuk karena Bu Wanti tidak membiarkan Arham tidur dengan tenang. Gara-gara Arham yang meninggalkan Fasha sendiri. Lagipula memangnya Fasha bayi yang harus ia jaga terus-menerus. Arham kembali mendudukkan dirinya di kursi empuk yang merupakan singgasana baginya. Siang nanti ia harus mengecek kondisi pasien yang sekarang sudah naik pangkat menjadi calon istrinya. Arham mengganti snelli miliknya dengan pakaian steril karena ia harus melakukan pembedahan pada salah satu pasiennya. Setelah melakukan berbagai prosedur awal sebelum masuk dalam tahap pembedahan, seperti melakukan Rontgen untuk melihat seberapa parahnya jaringan yang rusak. Lalu beberapa pertanyaan akan ditanyakan seputar penyakit apa yang diderita pasien agar mempermudah penanganan. Hari ini benar-benar sangat melelahkan. Tubuhnya rasanya dipaksa bekerja ekstra. Apalagi sekarang sudah jam makan siang dan dirinya baru saja selesai dengan tugasnya. Arham kembali menguap beberapa kali, tugasnya hanya sampai jam satu. Dan mungkin mengecek kondisi Fasha adalah tugas terakhirnya di hari ini. Jalannya sedikit gontai, pasalnya ia malas meladeni celotehan perempuan manis tapi suaranya sedikit membuat orang-orang jadi pusing dibuatnya. "Dokter Arham," suara lembut seorang perempuan cantik membuyarkan lamunan Arham yang hendak berjalan masuk ke dalam ruang rawat Fasha. Arham menoleh, "ada apa dokter Arin?" Jawab Arham seadanya. Masih dengan wajah lelahnya. Perempuan yang dipanggil dokter Arin itu hanya mendekat ke arah Arham sambil mesem. Entah apa yang akan dia katakan, yang jelas dia mulai berjalan mendekat ke arah Arham dengan perasaan bahagia. Mungkin habis menang lotre dan akan membaginya bersama dengan Arham. "Dokter Arham, setelah ini ada acara?" Tanya dokter Arin yang memasukkan kedua jarinya di saku snelli miliknya. Arham menaikkan sebelah alisnya, "saya? Saya masih mau mengecek kondisi pasien," jawab Arham dengan tatapan menyelidik. Apa yang akan dokter cantik itu katakan padanya? Inilah yang tidak dia sukai dari perempuan jaman sekarang. Kebanyakan dari mereka lebih berani untuk mendekatinya duluan, memang sih dirinya orang yang kaku. Tapi dia tidak suka dikejar dan diagresifi. Dia lebih suka mengejar, walaupun ia tak yakin dengan siapa dia akan mengejar. Pikirannya tiba-tiba melayang pada Fasha di dalam sana. Walaupun ia belum mencintai perempuan bawel di dalam sana, setidaknya mereka sudah dijodohkan. Jadi dia tak akan macam-macam. "Oh begitu ya, kalau setelah memeriksa pasien, dokter Arham mau makan siang?" Tanya dokter Arin yang belum mau menyerah. Mungkin usahanya terlalu keras. Arham masih diam, ia sendiri bingung. Lagipula ini hanya makan siang, tapi dia sendiri tidak merasa nyaman. Tapi jika dia menolak, kan dia tidak ada kepentingan lain. Sampai sebuah lengan bergelayut manja di lengan kanannya. Arham menoleh dan mendapati Fasha sedang menatapnya balik. "Sayang, kok masih di sini? Nggak mau nemenin Fasha di ruangan sana apa? Fasha kesepian tau nggak," ucap Fasha manja dengan senyuman manisnya. Asli, Arham kaget setengah mati. Untuk kali ini Arham akan bilang jika perempuan di sampingnya ini benar-benar dalam keadaan waras alias otaknya sudah benar. Dan untung saja dia datang untuk menyelamatkan Arham dari perasaan tak enak yang menyerang. Sedangkan dokter Arin menatap Fasha dengan canggung. Pasalnya ada kata 'sayang' yang terselip pada kalimatnya. "Oh halo dokter, saya Fasha. Calon istrinya Pak dokter," ucap Fasha yang mengenalkan dirinya seraya tersenyum manis. Eh, dokter Arin hanya bengong dan memperkenalkan dirinya seadanya pada Fasha. Lalu pamit untuk duluan karena ada tugas katanya. Padahal sih, dia hanya malu karena mengajak calon suami orang makan siang. Namun, setelah dokter Arin pergi. Fasha kembali pada sifat semula. "Hm, nyaman kalau gini terus," jawab Fasha yang masih pada posisi yang sama. Sedangkan Arham hanya pasrah saja, lagipula perempuan yang satu ini tidak akan pernah lelah untuk membujuknya. Jadi, biarkan saja. Fasha kembali ke ranjangnya diikuti Arham yang kini sedang mengecek kondisi Fasha. Yang menurutnya sudah baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan dari perempuan di depannya ini. Lagipula, mau sakit atau tidak. Mulutnya juga tetap saja berisik. Sekarang saja Arham sudah merasa gendang telinganya akan pecah. Fasha sedang menceritakan rumus-rumus tak jelas yang bergentayangan di dalam kepalanya. Fasha harap, Arham bukanlah limit tak hingga. Yang kadang, sudah dicari sampai penuh satu halaman buku hasilnya hanya nol. Maksudnya, setelah ia berusaha mendekati Arham dan tidak ada hasil sama sekali di akhir. Jika Fasha boleh jujur, dia sudah menyukai Arham duluan. Tapi dia kan perempuan, gengsi lah kalau bilang duluan. Setelah selesai memeriksa, Arham duduk di ranjang. Tepatnya di depan Fasha yang sekarang duduk bersila di atas sana. Tatapan keduanya bertemu, seakan memberi ruang di dalam hati masing-masing. Entah mengapa, telapak tangan Arham sudah mendekat ke arah wajah Fasha. Jemarinya menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Fasha ke belakang telinga perempuan itu. "Pak dokter suka Fasha nggak?" Tanya Fasha dengan kedua bola mata yang mengerjap. Kedua bola mata mereka seakan tak mau lepas. Arham menghembuskan napas pelan, "jangan baperan! Saya masih fokus sama karir dan kamu masih anak kecil. Kuliah yang bener dan jangan bikin malu saya. Saya harap, saya bisa mencintai kamu secepatnya." Jawab Arham dengan seulas senyum tipis. "Pak dokter nggak suka ya, sama Fasha?" Sedih Fasha yang kini hanya menundukkan kepalanya. Jika begini, Fasha sangat terlihat manis dan menggemaskan menurutnya. Entah dapat dorongan dari mana, ia berhasil menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Membelai rambut Fasha pelan dan merasakan euforia detak jantung mereka yang seakan ingin meledak. "Aku bukan bilang nggak suka kamu. Tapi belum," ucap Arham yang memeluk hangat calon istrinya itu. Ah, keduanya terlalu menikmati pelukan hangat itu. Sampai-sampai tak sadar dengan kehadiran dua perempuan yang amat mereka hormati itu. "ARHAAMMMM," Suara itu sontak membuat Arham melepas pelukannya. Lehernya sudah disetel otomatis untuk menoleh ke arah Bu Wanti yang sudah berkacak pinggang di depan pintu sambil menatap putranya itu. Ya Allah, kenapa sih mesti kepergok Ibu terus. Lagian kamu sih Arham, iman goyah mulu. Batin Arham dalam hati yang hanya bisa nyengir ke arah ibunya. Mungkin akan ada sidang episode dua. Baiklah, kita tunggu saja.   ---oOo---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN