Bab 2 - Mustahil

1138 Kata
"Mas, ini masih di halaman rumah orang tuaku!" Ambar menatap sekeliling. Ia takut jika ada keluarga atau tetangga yang mengintip kemesraan mereka. Beruntung, pekarangan rumah dengan pagar tinggi membuat para tetangga tidak bisa menangkap objek di dalamnya. Bayu tertawa. Tidak lupa, pria itu mengurai pelukannya bersama Ambar. "Maaf, aku kelepasan." Ambar mendelik. "Apanya yang minta maaf. Wajah Mas sama sekali enggak ada rasa bersalah, tuh!" Tawa Bayu kembali lepas. Menggoda Ambar adalah satu dari sekian banyak hal yang disukainya. Namun, tawa Bayu berhenti begitu saja ketika rencana menghamili Ambar terlintas di kepalanya. "Ona." Bayu berdehem untuk menarik perhatian Ambar yang masih sibuk menatap tajam dirinya. Berhasil. Ambar tampak menunggu kalimat kedua yang akan Bayu ucapkan. Sekarang perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai sepunggung itu menatap Bayu dengan matanya yang berkedip lucu. "Ayo lakukan apa yang sudah aku katakan tadi." Meskipun suara Bayu terdengar lembut, ada nada tegas di sana. Seolah kalimat yang dilontarkannya bukanlah permintaan, melainkan perintah. "A-aku enggak bisa, Mas." Ambar memainkan jarinya. Bayu yang melihat kegiatan Ambar tentu saja tidak tinggal diam. Ia meraih tangan Ambar dan mengusapnya. Mengecup dua kali, kemudian menggengam kedua tangan kecil itu. "Aku enggak akan memaksa, tapi ... apakah kamu punya rencana lain? Aku tidak bisa terus menunggu, Ona. Aku cinta kamu, begitupun sebaliknya. Lantas, apa yang kita tunggu?" Pria dengan jaket hitam yang restletingnya dibiarkan menganggur itu menanti jawaban dari bibir Ambar. Gelengan dari Ambar sedikit mematahkan harapan Bayu. "Ini salah, Mas. Melakukan hal 'itu' sangat tabu di sini. Apa kata orang nanti?" "Itulah kuncinya, Ona." Bayu masih setia menggenggam tangan Ambar. "Orang tua kamu pasti tidak mau menanggung malu. Jadi, mereka akan menikahkan kamu untuk menutupi aib keluarga." "Lebih baik kita bicarakan hal ini di tempat lain. Aku takut Fina menguping dan mengadukan ke bapak." Mata Ambar menatap jendela rumahnya. Sekelebat bayangan baru saja pergi. Bayu mengiyakan. Motor yang tadinya ingin dijadikan Bayu sebagai bahan pelampiasan itu sekarang mengantarkan Ambar dan dirinya menuju sawah peninggalan almarhum bapak Bayu. Untuk menuju sawah, jarak yang ditempuh bisa dibilang lumayan jauh. Jalan yang dilalui pun tidaklah mudah. Banyak batu di jalan dengan air menggenang bekas hujan kemarin malam yang makin menambah rintangan. "Duh, Mas, pelan-pelan! Aku bisa jatuh dari motor." Ambar berteriak memecah angin. Bayu tidak menjawab. Sebagai gantinya, pria itu mengurangi kecepatan motor sesuai keinginan Ambar. "Gini, dong, Mas! 'Kan, aku jadi makin sayang!" Bayu berusaha mengabaikan rayuan Ambar. Jika menanggapi, Bayu takut akan kehilangan arah dan terjun ke sawah. Di kedua sisi jalan lebar tersebut memang terdapat banyak sekali petak sawah. Bayu bahkan tidak tahu di mana ujungnya. "Selamat sore, Nak Bayu, Nak Ambar," sapa seorang pria paruh baya berpakaian lusuh dengan cangkul yang ada di pundaknya. Selain cangkul, terdapat pula caping yang melindungi kepalanya dari terik matahari. Bayu menghentikan motor hitamnya. Selain sudah sampai tujuan, Bayu juga melakukannya demi kesopanan. "Sore juga, Pakde." "Sore, Pakde." Ambar melemparkan senyum manisnya. Boleh Bayu cemburu? Ambar sangat menyebalkan. Perempuan itu terlalu murah senyum hingga membuat banyak pria kasmaran. "Nak Bayu mau jenguk sawah, ya? Tenang, wae Nak, Pakde rawat baik-baik, kok, sawah peninggalan bapak kamu." Pria yang ada di hadapan Bayu itu adalah tetangga sekaligus orang yang menyewa sawahnya. Bayu terpaksa menyewakan sawah itu karena wabah tikus beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya bisa saja Bayu tidak menyewakan sawah itu. Namun, Bayu sangat tidak terampil dalam mengolah lahan sawah. "Mboten, Pakde. Bayu ke sini cuma mau jalan-jalan sama Ona." Bayu tersenyum kecil. Ia menunjuk Ambar dengan dagunya. "Owalah. Mangga, Nak. Pakde mau langsung pulang, ya. Istri pakde bisa marah kalau pulang kesorean." Setelah saling berpamitan, pakde cepat-cepat mengayunkan kakinya menjauh. Pakde adalah salah satu suami takut istri yang Bayu kenal. Bayu jadi membayangkan, apakah dirinya akan bersikap seperti pakde ketika menikah dengan Ambar? Bayu cepat-cepat membuang pikirannya. Jangankan menikah, mendapat restu saja sulitnya tidak terkira. "Mas. Jangan melamun, dong!" "Maaf, aku hanya tiba-tiba kepikiran tenta–" "Tidak perlu diteruskan. Aku sudah tau apa yang mau Mas katakan." Ambar membekap mulut Bayu dengan tangannya. Bayu mengangkat sebelah alisnya. Tanpa diketahui Ambar, kedua sudut bibir Bayu membentuk sebuah seringai lebar. Dengan jailnya, Bayu mengeluarkan lidah dan menjilat telapak tangan Ambar. "Mas Bayu!" Ambar menarik tangannya. "Ihhh, jijik banget, Mas." Kini tangan Ambar berada di baju Bayu, mengusapnya untuk menghilangkan bekas ludah dari pria itu. "Bilang saja kamu suka. Pipi kamu merah, lo." Bayu tertawa mengejek. Bibir Ambar melengkung ke bawah. "Mas! Kita di sini mau bahas masalah nikah. Kok, malah ngetawain aku, sih." Ambar mengibaskan tangannya pelan. Wajahnya mulai terlihat serius. "Menurutku, ide Mas Bayu enggak terlalu buruk. Hanya saja, itu terlalu berisiko. Dibenci mak dan bapak, dikucilkan warga, atau kemungkinan terburuknya kita bisa diusir dari desa." Perempatan jalan mulai muncul di dahi Bayu. Tawanya sudah berhenti sejak tadi. Pasangan itu benar-benar tahu saat yang tepat untuk bercanda dan serius. "Aku tahu. Tapi enggak ada cari lain, Ona. Semuanya sudah aku lakukan. Mulai dari berbicara baik-baik, memohon, bahkan berlutut di kaki mak sama bapak kamu. Tapi apa? Enggak ada perubahan, Ona. Mereka tetap menolak lamaranku." Gurat sedih tampak begitu kentara di wajah Bayu. Bayu tidak berbohong. Ia sudah membuang harga dirinya jauh-jauh hanya untuk mendapatkan restu dari orang tua Ambar. Sekarang, Bayu sudah putus asa. Ditolak berkali-kali membuat pikiran Bayu hampir buntu. Kini, hanya ada satu cara. Bayu akan memperjuangkannya, walaupun nanti ia akan dibenci oleh Ambar. Cinta benar-benar sudah membutakan akal sehat seorang Bayu Legawa. "Aku mohon, Mas. Jangan egois. Aku enggak mau keperawanku hilang begitu saja." Kalimat yang meluncur dari bibir Ambar membuat hati Bayu perih. Apakah seperti itu pandangan Ambar kepada dirinya? Pria egois? Pria yang seenaknya mengambil keperawanan gadis? Bayu tidak mengerti. Ia hanya ingin menikah dengan Ambar, dan perempuan itu juga memiliki keinginan yang serupa dengannya. Mereka punya tujuan yang sama. Lantas, siapa yang egois di sini? Bayu atau Ambar? Bayu ingin Ambar hamil agar bisa mendapatkan restu, sedangkan Ambar tidak ingin kehilangan keperawanan di luar ikatan pernikahan. Jadi, apakah Bayu yang selama ini bertindak egois? "Apa aku terlihat begitu egois dan kurang ajar di mata kamu? Sebenarnya kamu anggap aku apa, Mbar?" Dengan sengaja, Bayu memanggil Ambar dengan nama aslinya. Hal sesimpel itu dilakukannya hanya untuk mengutarakan rasa tidak suka atas perkataan Ambar. Ambar menangkap sinyalnya. Bayu langsung tahu hal tersebut ketika bola mata Ambar tiba-tiba membulat. Pria itu memang bisa menjadi peka dalam sekejap jika menyangkut kekasihnya. "A-aku enggak bermaksud memojokkan kamu, Mas. Aku hanya tidak ingin keperawananku hilang di saat belum ada kata sah di antara kita." Bayu merasakannya. Ada rasa penyesalan di kalimat Ambar. Namun, hati yang terlanjur tergores tidak bisa sembuh begitu saja. Ambar benar-benar membuat organ dalam Bayu berjalan tidak normal. Aliran darahnya menjadi lebih cepat, dan jantungnya berdenyut nyeri. "Jika pendapat kita saat ini saja tidak bisa bersatu, apa jadinya nanti kalau sudah menikah? Ah, ralat, mendapatkan restu saja rasanya mustahil." ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN