2. Bos Baru

2095 Kata
“Beli genteng, diantar Vanya. Aa’ Dipta ganteng, Mega yang punya!” Ingin rasanya aku menyumpal mulut Mega dengan cabai dua kilo. Dari pagi dia sudah heboh membicarakan betapa ganteng si Dipta-Dipta itu. Segala pantun receh dia buat demi mengukuhkan kepemilikannya secara sepihak. Benar-benar menggelikan, Si Mega ini! “Ga, kamu bisa diem enggak, sih? Berisiiik mulu dari tadi!” “Terkena pelet, aku, Rin. Ya Allah, aku mau jadi istrinya Ayang Dipta.” Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Mega yang semakin menjadi. Sementara itu, Kiki lebih kalem meski dia bilang apa yang dikatakan Mega memang benar adanya. Mega dan Kiki kompak mengatakan kalau anak laki-laki Pak Dilan yang namanya Dipta itu sangat tampan. Itu artinya, kembarannya yang bernama Davka juga pasti tak kalah tampan karena mereka kembar identik. “Buruan beresin kerjaanmu. Jangan Ayang-ayangan mulu. Dia tahu kamu hidup aja enggak.” “Jahatnya, Kariiin!” Aku terkekeh. “Ya kenyataan, kok.” Setelah laporanku selesai, aku segera menuju mesin fotocopy untuk menggandakan. Baru setelah itu, aku akan ke ruangan Mas Emran untuk menyerahkan laporan ini agar dia periksa. “Ada yang titip enggak, nih? Aku mau ke ruangan Pak Bos.” “Enggak. Aku udah bilang Mas Emran kalau punyaku mau kukasih besok sebelum jam sepuluh. Tanggunganku yang lain masih banyak soalnya.” Kiki menyahut. “Mega sama Syarif gimana?” Keduanya menggeleng kompak, jadi aku segera menuju ruangan Mas Emran yang letaknya hanya di seberang ruangan kami. Ngomong-ngomong, divisiku ini termasuk baru karena produk yang kami kelola juga baru. Kami ini adalah orang-orang yang dipilih atasan untuk mengelola keuangan produk baru yang kebetulan meledak di pasaran. Tadinya, kami berasal dari divisi keuangan yang berbeda-beda. Bisa dibilang, kami cukup diuntungkan di sini. Akhir-akhir ini, gaji kami cukup tinggi dibanding yang lain karena bonus yang didapatkan dari penjualan produk cukup banyak. Tok tok tok ! “Mas Emran ...” panggilku pelan. “Iya, masuk!” Aku melongokkan kepala, lalu kulihat Mas Emran mengangguk. “Duduk dulu, Rin.” “Iya, Mas.” Aku segera duduk di kursi yang berada tepat di depan Mas Emran. Saat ini kulihat dia masih sibuk dengan beberapa berkas di depannya. Bicara tentang Mas Emran, dia ini belum berkepala tiga. Usianya mungkin kisaran dua puluh delapan tahun. Dia terkenal sangat teliti, makanya sekali dipindah, dia langsung dipromosikan naik jabatan. Mas Emran sudah menikah. Dia asli Jakarta dan istrinya orang Jawa Timuran. Mas Emran ini baik, sangat jauh dari bos yang kejam dan otoriter. Kalau denganku pribadi, kami cukup dekat karena satu alumni. Kami berasal dari universitas dan jurusan yang sama. Walaupun begitu, kami kenal setelah bergabung menjadi satu tim. “Laporannya udah selesai, Rin?” “Sudah, Mas.” “Kamu selalu jadi yang pertama ngumpulin, ya? Paling rajin, lah, katakan begitu.” Aku meringis. “Aku enggak suka nunda-nunda, Mas. Soalnya ujung-ujungnya tetep ketemu aku juga.” “Betul!” Mas Emran tampak meraih laporanku, lalu meletakkannya di sudut meja. “Ada yang mau kamu tanyakan, Rin, kok tumben masih duduk?” “Ngusir, ini, Mas?” Mas Emran tertawa pelan. “Ini cuma nanya, karena biasanya kalau enggak butuh apa-apa ya langsung pamit buat balik.” “Aku mau tanya tentang Pak Dilan, Mas.” “Pak Dilan?” Alis Mas Emran langsung menekuk. “Kenapa sama beliau?” “Katanya beliau mau pensiun, ya? Apa bener, Mas?” Mendengar itu, Mas Emran tampak menegakkan posisi duduknya. “Bener, tapi enggak langsung bener-bener pensiun kayaknya.” “Lah?” “Maksudnya, beliau enggak langsung melepas anaknya. Mungkin anaknya diawasi dulu beberapa tahun.” Aku mengangguk paham. “Beresiko juga kalau langsung dilepas.” “Jelas. Karyawan perusahaan ini ribuan, terutama yang bagian pabrik. Kalau salah-salah ambil keputusan, bisa gawat. Banyak yang menggantungkan nafkah di sini. Termasuk kita.” “Iya, sih. Berat, ya, Mas?” “Jelas berat. Kita yang ngurus beberapa produk aja, rasa-rasanya kerjaan ada terus. Apalagi mereka yang harus mikir skala yang lebih besar?” “Tapi sebanding, lah, dengan income bersih yang mereka terima.” Mas Emran tersenyum. “Semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula tanggung jawab. Itu mutlak, Rin, di mana pun itu.” “Iya, Mas. Terus yang ngelanjutin itu siapa? Aku dengar anaknya Pak Dilan ada dua yang cowok. Mereka kembar, kan?” “Yang lanjutin Pak Dilan itu yang namanya Dipta. Yang Davka udah punya karir cemerlang jadi dosen di Jogja.” Ah ... jadi kabar yang dibawa Kiki dan Syarif itu betul. Aku sengaja tanya Mas Emran untuk memastikan kebenarannya. “Seumuran siapa Si Dipta-Dipta itu, Mas?” “Yang kamu panggil ‘Si Dipta-Dipta’ itu calon bos besarmu, lho, Rin. Calon bosku juga.” Aku buru-buru menutup mulut. “Ya ampun, iya, ya? Kelepasan, aku, Mas. Ya udah, aku ganti Pak Dipta. Umur berapa Pak Dipta itu?” “Seumuranku, kayaknya. Atau tua sana dikit mungkin?” “Masih muda berarti.” “Lumayan, dan mereka belum ada yang menikah. Maksudku, baik dia atau kembarannya sama-sama belum nikah.” Itu info penting untuk Mega dan Kiki, tetapi tidak untukku. Aku tidak peduli mereka sudah menikah atau belum. “Yang Pak Dipta itu nakutin kaya Pak Dilan enggak, ya, Mas?” Mas Emran buru-buru menggeleng. “Enggak, yang Dipta orangnya agak santai. Yang sama ngerinya dengan Pak Dilan justru yang kembarannya. Aku pernah nyapa secara pribadi waktu enggak sengaja ketemu di ruangan Pak Dilan. Kamu tahu, yang Davka itu cuma senyum tipis banget. Hampir enggak kelihatan.” Aku bergidik. “Untung yang nerusin di sini Pak Dipta ya, Mas?” “Iya. Serba salah kalau ngadepin orang kurang ekspresif. Kamu bayangin saja, Pak Dilan versi muda. Sekali ngomong, udah berasa ngeluarin belati.” Aku tertawa pelan. “Nancep ke relung hati.” Sudah bukan rahasia lagi kalau Pak Dilan memang irit bicara. Akan tetapi, sekalinya beliau bicara, apa yang beliau lontarkan selalu tepat sasaran. Beliau terkenal tidak pandai basa-basi dan selalu to the point. “Oh iya, ngomong-ngomong Pak Dipta kapan mulai masuk, Mas?” “Aku dengar dari Mas Gilang, katanya awal bulan depan.” Mas Gilang yang di maksud Mas Emran adalah sekretaris pribadi Pak Dilan. “Kalau awal bulan depan, itu berarti sebentar lagi, Mas? Ini aja udah pertengahan menjelang akhir.” Mas Emran mengangguk. “Iya. Bentar lagi.” Belum-belum, aku sudah membayangkan betapa heboh Si Mega_nthropus kalau tahu Ayang Dipta-nya itu sebentar lagi mulai aktif bekerja di perusahaan ini menggantikan Pak Dilan. Bisa-bisa, anak itu kejang di tempat! “Ya udah, Mas. Aku cuma mau tanya itu. Terimakasih infonya.” Mas Emran kembali mengangguk. “Iya, Rin, sama-sama.” *** Akhirnya, Pak Dilan mengumumkan rencana pensiunnya secara resmi. Acara penyambutan untuk anak beliau pun akan segera dilangsungkan. Kabar ini meledak di berbagai penjuru perusahaan. Terutamanya, kabar kalau anak Pak Dilan itu ‘tampan’ langsung menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Entah kenapa, aku masih belum tertarik juga dengan kabar tentang anak Pak Dilan yang bernama Dipta itu. Perhatianku masih tetap sama, yakni hanya tertuju pada Mas Riga, orang yang bahkan sampai detik ini tidak kuketahui keberadaannya. “Acaranya di lantai dua, kan, ini?” tanya Kiki sembari merapikan bajunya. “Yes!” Mega menyahut dengan semangat. Aku melirik Mega, dan ternyata anak itu sedang me-retouch make up-nya. “Jangan tebel-tebel lipstiknya, Ga. Nanti kaya ondel-ondel Tanah Abang!” “Sirik aja, kamu, Rin! Ini demi ketemu Ayang Dipta, tahu!” “Masih mimpi aja, ini anak.” Aku bergidik, sementara Mega hanya mengedikkan bahu tak peduli. Selama menuju ruang acara, aku berjalan gontai dan tidak semangat sama sekali. Pergantian Pak Dilan dengan anaknya tidak akan berdampak besar padaku. Maksudku, bos langsungku tetap Mas Emran. Aku hanya perlu bertanggung jawab padanya. Orang-orang di atas Mas Emran bukan jangkauanku lagi. Kenapa aku bilang begitu? Faktanya, selama kurang lebih dua tahun aku bekerja di perusahaan ini, aku melihat Pak Dilan secara langsung baru dua atau mungkin tiga kali. Bukankah itu juga akan berlaku untuk anaknya? Buat apa aku peduli dengan orang yang bahkan tidak masuk dalam lingkaran orang-orang yang akan sering kutemui? “Yey, bentar lagi acara dimulai!” Mega di sebelahku mulai heboh ketika pembawa acara naik ke podium. “Itu orangnya. Iya, itu, yang pakai jas hitam!” beberapa orang yang duduk di depanku saling menunjuk ke arah bawah, tepatnya ke arah barisan paing depan. Ruang yang digunakan untuk acara penyambutan kali ini memang tampilannya seperti bioskop, yakni semakin maju semakin turun ke bawah. Bayangkan saja ruangan-ruangan yang biasa digunakan untuk acara seminar. Ya, kurang lebih seperti itu. “Yang sampingnya Pak Dilan itu, kan, Ki?” Mega dan Kiki kini sudah mulai saling menyenggol. “Iya, Ga.” “Orang ganteng mah dari belakang aja ganteng.” Mendengar itu, aku langsung memutar bola mata malas. Mega dan Kiki memang hampir sama saja untuk urusan uang dan laki-laki tampan. Mereka mudah silau dengan keduanya. Bedanya, Mega lebih heboh, sedangkan Kiki sedikit jaga image. Selama acara berlangsung, aku tidak begitu memperhatikan depan. Terkadang aku mengecek ponsel, terkadang pula aku hanya melamun tidak jelas. Duniaku masih saja dipenuhi Mas Riga. “Nama lengkapnya, Dipta Auriga Winata.” Kali ini aku segera menatap depan setelah mendengar Kiki menyebut nama lengkap Si Dipta-Dipta itu. Dan ternyata, saat ini kulihat ada seorang laki-laki mengenakan setelan jas berwarna hitam sedang berjalan menuju podium. Tepuk tangan pun mendadak bergemuruh nyaring memenuhi ruangan. Itu, kah, orangnya? ... Hah? WAIIITTT! Aku reflek mengucek mataku berkali-kali setelah melihat dengan jelas wajah laki-laki itu, maksudku Pak Dipta. Ini aku salah lihat atau tidak? Benar-benar bukan main aku ini! Setelah aku melihat laki-laki di depan hotel malam itu mirip Mas Riga, sekarang anaknya Pak Dilan yang bernama Dipta itu juga terlihat mirip Mas Riga! Mataku ini kenapa? Kenapa orang-orang jadi terlihat mirip Mas Riga? “Rin? Lo kenapa, hei?” Kiki menepuk pahaku cukup kuat. “Mata lo kelilipan atau gimana?” “Kelilipan kegantengan Ayang Dipta, kan, Rin? Ngaku, kamu!” Tidak hanya Kiki, ternyata Mega juga menyadari apa yang baru saja kulakukan. “Udah kubilang, calon Big Boss kita itu ganteng. Kamu malah nolak mulu buat lihat fotonya.” Berikutnya, aku sudah tidak memperhatikan ucapan Mega dan Kiki. Entah kenapa, kini jantungku mendadak jumpalitan tidak karuan. Ini rasanya persis sama seperti malam itu ketika Mas Riga mencium pipiku. Kuberanikan kembali menatap depan, dan ternyata Pak Dipta sedang menatap balik ke arahku. Mata kami bersitatap selama sepersekian detik karena aku buru-buru menunduk untuk memegangi d**a kiri yang saat ini mulai menggila. Sampai Pak Dipta selesai menyampaikan sambutannya, aku masih terus saja menunduk. “Eh, eh, eh! Pak Dipta kok natap sini? Enggak mungkin natap aku, kan?” Mega tiba-tiba menyenggolku heboh. “Matanya nyipit dan agak kaget gitu. Eh, beneran natap sini, Demi Allah!” Aku menatap depan lagi, dan benar saja, Pak Dipta yang sudah turun dari podium sedang menatap ke arahku. Entah hanya ke arahku, atau ke arah Mega dan Kiki juga. Sepertinya, dia masih akan terus menatap andai tangannya tidak ditepuk Pak Dilan untuk segera duduk. “Dia natap kita, kan, Rin? Kamu lihat barusan, kan?” Aku menggeleng pelan. “Aku enggak tahu, enggak peduli juga.” Aku bilang begitu karena selain tidak yakin, aku juga tidak ingin Mega semakin heboh. Bisa-bisa urusannya jadi panjang kalau kami terlalu berisik di belakang. Setengah jam berlalu, akhirnya acara selesai. Kami bertiga tidak langsung kembali ke ruangan, melainkan pergi ke toilet lebih dulu. Toilet lantai dua memang selalu lebih sepi daripada toilet lantai lain mengingat lantai ini hanya diisi ruang-ruang pertemuan. Aku ke toilet hanya untuk cuci tangan, sementara Mega dan Kiki sepertinya kebelet buang air. Selama menunggu mereka selesai, sesekali aku memegangi d**a kiriku yang mulai tenang. Aku mencoba mengingat laki-laki malam itu yang kutemui di depan hotel. Meski dia juga mirip dengan Mas Riga, tetapi aku tidak berdebar sama sekali ketika mata kami bertemu. Namun, kenapa dengan Pak Dipta aku mendadak jadi begini? Serius, saat ini aku benar-benar sedang bingung! “Ah ... leganya!” Kiki keluar, lalu cuci tangan di sebelahku. “Ga, buruan!” “Iya, bentar.” Setelah selesai, kami bertiga jalan berurutan keluar toilet. Aku yang pertama keluar karena sedari awal aku berdiri di dekat pintu. Namun, baru saja aku belok menuju lorong arah lift, langkahku reflek berhenti ketika melihat seorang laki-laki berdiri dengan posisi badan menyandar di dinding. Begitu dia menoleh, aku langsung terduduk di lantai karena saking kagetnya. “Rin! Kenapa malah ngesot— eh, Pak Dipta?!” Iya, laki-laki itu adalah Pak Dipta! Nafasku seperti tercekat di kerongkongan ketika Pak Dipta mendekat dan mengulurkan tangannya hendak membantuku berdiri. “Ternyata benar. Kamu Arin, kan? Akhirnya, kita bertemu lagi.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN