TPS, 02

2694 Kata
Candra masih tercengang melihat sebuah paket yang kini berada di hadapannya. Niat ingin pergi ke tempat ayahnya untuk meminta uang demi bisa membayar SPP kuliah, atensinya kini teralihkan pada paket misterius yang tiba-tiba tergeletak di depan rumah, sampai dia melupakan tujuan awalnya untuk pergi. Pemuda itu kini sedang berada di kamar dengan kedua mata yang tidak berkedip menatap paket misterius tersebut.  Namun, dari tulisan The Psychopath System yang tertera di bagian atas paket, Candra sudah memprediksi isi dari paket tersebut. Hanya saja satu hal yang membuatnya terheran-heran seperti ini, bagaimana bisa paket itu dikirimkan padanya padahal saat daftar menjadi peserta game semalam, dia sama sekali tidak mengisi data tentang dirinya maupun alamat rumahnya. Lantas kenapa bisa paket itu dikirimkan ke rumahnya? Ada kejanggalan yang nyata di sini, tapi Candra yakin seratus persen tidak sedang berhalusinasi, paket berisi peralatan untuk log in ke game TPS memang dikirimkan padanya.  Candra meneguk ludah seraya menggerakan tangan untuk membuka paket tersebut, dia ingin memastikan peralatan seperti apa saja yang dikirimkan padanya. Dengan gerakan cepat dia membuka pembungkus paket itu, hingga kini terpampanglah sebuah kotak yang sudah siap untuk dia buka penutupnya.  Sekali lagi Candra meneguk ludah, tiba-tiba saja merasa gugup untuk melihat isi di dalam kotak. Namun, rasa penasarannya yang besar berhasil mengalahkan kegugupan dan keraguan itu sehingga dia pun nekat membuka penutup kotak. Seketika kedua mata Candra membelalak sempurna, sungguh isi di dalam kotak itu merupakan peralatan lengkap untuk masuk ke dalam game virtual. Ada sebuah alat menyerupai kacamata Oculus yang harus dipasangkan ke kepala. Ada pula alat menyerupai kabel untuk menyambungkan Oculus tersebut pada console game. Kaset game TPS pun tentunya ada pula di dalam kotak, sebuah kaset yang bisa diputar di console game, Candra memilikinya karena dia sudah terbiasa memainkan game virtual sejenis ini.  “Yang benar saja, peralatan untuk log in ke dalam game benar-benar dikirimkan padaku. Bagaimana bisa?” gumam Candra, bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang keanehan ini.  “Game ini sangat aneh. Sudah aplikasinya muncul tiba-tiba, aku langsung bisa menjadi peserta tanpa perlu mengisi data apa pun pada akunku, yang paling penting darimana mereka tahu alamat rumahku sehingga bisa mengirimkan paket ini?”  Berbagai pikiran buruk sudah menggelayuti kepala Candra, dia sangat yakin memang ada yang tidak beres dengan game itu.  “Apa aku harus mencoba memainkannya?”  Lama Candra fokus menatap peralatan game yang berantakan di ranjangnya, sempat ada keinginan untuk log in dan melihat dengan sendiri permainan macam apa yang disuguhkan game virtual yang aneh itu. Namun, dia menggelengkan kepala saat akal sehatnya kembali menyadarkan bahwa game itu sama sekali tak penting untuk dicoba. Game itu sangat misterius dan mungkin saja bukan game yang seharusnya dia mainkan. Game tidak jelas asal-usulnya, dia tak mau termakan jebakan seseorang yang mungkin bermaksud menipunya.  “Ck, lebih baik aku pergi ke rumah ayah sekarang.”  Candra sudah kembali teringat dengan tujuan awalnya yaitu menemui ayahnya yang entah kapan terakhir kali dia temui. Candra pun membereskan peralatan itu, kembali memasukannya ke dalam kotak. Lalu di sembunyikan di bawah tempat tidur karena khawatir ibunya masuk ke kamar dan membuang peralatan itu. Walau dia berpikir game itu tak jelas dan tak penting untuk dicoba tetap saja dia penasaran, dia tidak berniat untuk membuangnya, biar saja dia simpan untuk sementara waktu, kira-kira itulah yang dia pikirkan.  Setelah selesai merapikan kekacauan yang dia buat di kamar karena membuka paket kotak berukuran besar itu, sekarang Candra kembali melangkah menuju pintu. Sebelum melewati pintu kamar, sekali lagi dia menatap ke arah tempat tidur, celah di bawahnya yang menjadi fokus Candra. Dia pun menghela napas panjang, berusaha menepis kebingungan yang masih menggelayuti hatinya karena paket itu.  “Lupakan paket itu, aku harus bergegas pergi,” ucapnya sebelum akhirnya dia keluar dari kamar, menutup pintu dan berjalan cepat karena dia tak ingin membuang waktu lagi untuk menemui ayahnya. Dia harus mendapatkan uang untuk membayar SPP bagaimana pun caranya karena jika dia sampai tak mendapatkan uang itu maka tamat sudah riwayatnya, bagaimana bisa dia melanjutkan kuliah nanti.   ***   Setelah menghabiskan waktu hampir tiga jam di perjalanan mengingat dia pergi keluar kota untuk mendatangi rumah ayahnya, kini Candra tengah berdiri di depan rumah mewah berlantai tiga dengan halaman yang luas dan gerbang yang menjulang tinggi, sungguh sangat bertolak belakang dengan rumahnya yang kecil, sempit dan sederhana. Keluarga baru ayahnya terlihat hidup dengan bergelimang harta dan kemewahan, melihat deretan mobil mewah yang terparkir di depan rumah, tanpa sadar Candra mengepalkan tangan, kebenciannya pada sang ayah semakin menjadi. Dia berbahagia dengan keluarga barunya tanpa memikirkan istri pertama dan anaknya yang kelaparan di tempat lain. Jika bukan karena terdesak demi bisa membayar biaya kuliah, tentunya Candra tak akan sudi menginjakkan kaki di rumah itu.  Candra menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan berulang kali untuk menenangkan diri. Bukan dia merasa gugup, melainkan dia sedang mati-matian berusaha mengendalikan amarahnya yang tengah naik ke permukaan.  Candra pun melangkah mendekati gerbang yang pintunya masih tertutup rapat, ketika dia berdiri di depan pintu gerbang, seorang security bergegas menghampirinya.  “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya sang security. Sepertinya dia security baru di rumah itu karena sama sekali tidak mengenali Candra padahal ini bukan kali pertama Candra mendatangi rumah mewah tersebut. Pernah beberapa kali dia mendatangi rumah karena keadaan yang sama, tidak lain karena dia membutuhkan uang untuk membayar biaya kuliah di saat sang ibu sudah angkat tangan dan tak mau membiayai pendidikannya lagi.  “Aku ingin bertemu dengan Pak Brama Dewangga.”  Satu alis sang security terangkat naik, terlihat heran sekaligus terkejut karena orang yang dicari pemuda asing di hadapannya adalah sang tuan besar. “Sudah membuat janji untuk bertemu dengan Tuan Brama?”  Candra mendengus seraya mengulas senyum sinis, haruskah dia membuat janji hanya untuk menemui ayahnya sendiri? Candra ingin meneriakkan kekesalannya saat ini.  “Aku belum membuat janji.” “Kalau begitu maaf, kamu tidak bisa bertemu dengan Tuan Brama hari ini karena Tuan sedang sibuk. Sedang ada pertemuan penting di rumah.”  Oh, Candra mengerti sekarang. Jadi, itu alasan banyak mobil mewah terparkir di depan rumah. Namun, Candra tak ingin menyerah. Sudah jauh-jauh datang ke sana, dia tak ingin kembali dengan tangan kosong. Dia juga sudah tak memiliki uang lagi untuk ongkos datang ke rumah ini di lain waktu, bahkan ongkos untuk pulang ke rumahnya pun dia sudah tak punya, rencananya dia akan memintanya sekalian pada sang ayah.  “Bilang saja Candra ingin menemuinya, dia pasti mengizinkan.”  Security itu semakin terlihat kebingungan karena dia tak tahu menahu bahwa Candra merupakan putra pemilik rumah itu.  “Saya sudah bilang tadi Tuan Brama sedang mengadakan pertemuan penting dengan beberapa rekan bisnis, jadi tidak bisa diganggu kecuali jika kamu sudah membuat janji terlebih dahulu, saya bisa menyampaikan kedatangan kamu pada Tuan.”  Candra berdecak, kekesalan yang sejak tadi dia tahan kini semakin naik ke permukaan. “Tolong, Pak. Cukup katakan saja padanya tentang kedatanganku, jika mendengar namaku pasti Pak Brama mau menemaniku.” “Memangnya kamu ini apanya Pak Brama?” Bukan hanya Candra, security itu pun tampak kesal menghadapi Candra yang begitu keras kepala dan tidak sopan menurutnya karena begitu memaksa padahal dia sudah menjelaskan sang majikan sedang mengadakan pertemuan penting.  Candra sudah membuka mulut hendak menyahut, tapi dia katupkan kembali saat melihat seseorang berlari menghampiri mereka. Dia adalah security lain yang Candra kenal, karena security itu cukup lama bekerja di rumah ayahnya dan tahu persis siapa Candra.  “Hei, apa yang kamu lakukan? Buka pintunya, biarkan Tuan Muda Candra masuk.”  Sang security baru bernama Anton jika dilihat dari nametag di seragamnya itu menoleh pada sang pemilik suara, pada seniornya yang tiba-tiba datang dan tampak marah karena dia menahan pemuda asing itu masuk ke dalam.  “Memangnya dia siapa, Pak? Saya baru melihat anak ini?” “Dia putranya Pak Brama. Cepat buka pintunya.”  Anton pun terbelalak, tak menyangka sedikit pun anak muda tak sopan dan pemaksa itu adalah putra majikannya, seketika dia merasa sungkan dan tak enak hati. Rasa takut lebih mendominasi, takut Candra akan mengadu pada ayahnya yang akan berakhir dirinya dipecat.  “Maaf, maaf. Saya tidak tahu anda ini putranya Pak Brama,” ucapnya cepat seraya membukakan pintu gerbang untuk Candra. “Tolong maafkan saya, Tuan Muda. Saya baru bekerja di rumah ini. Baru satu bulan.” “Sudahlah, tidak apa-apa, Pak,” sahut Candara tak ingin memperpanjang masalah itu. Tatapannya kini beralih pada sang security senior bernama Pak Bagas yang telah menyelamatkannya. “Terima kasih, Pak Bagas. Aku ingin bertemu dengan ayah. Bisa tolong sampaikan padanya kedatanganku.” “Baik, Tuan Muda. Mari ikut saya.”  Sebelum melangkah pergi, sekali lagi Candra melirik pada Anton yang hanya menundukan kepala, kentara begitu takut. Candra bisa memahami perasaan security itu karena dia sering sekali merasakan perasaan yang sama ketika dia ketakutan karena dibully di kampus.  “Tenang saja Pak Anton, aku bukan orang yang suka mengadu. Aku tidak akan mengatakan apa pun pada ayah.” “Terima kasih, Tuan Muda.”  Tuan Muda? Candra ingin tertawa mendengarnya. Padahal di luar sana dia begitu tersiksa karena banyak orang yang menganiayanya hanya karena perbuatan tercela ibunya yang menjadi wanita panggilan.  Candra tak menanggapi, dia mengikuti langkah Pak Bagas di depannya. Hingga mereka pun tiba di sebuah ruangan, Candra diminta menunggu di sana. Candra hanya menurut karena memang selalu seperti ini, setiap kali mendatangi rumah itu dia akan diperlakukan layaknya tamu alih-alih anggota keluarga.  Tempat Candra berada saat ini adalah ruangan tunggu terpisah dari rumah utama, tapi di sana terdapat banyak foto keluarga yang dipajang di dinding dilengkapi bingkai besar yang kokoh dengan ukiran indah. Dalam foto itu terlihat keluarga baru ayahnya. Ada ayahnya yang sedang berkumpul bersama istri muda dan anak-anak mereka. Kedua anak remaja yang jika dipikir-pikir mereka itu adik Candra tapi dia tak pernah menganggap mereka sebagai adiknya. Candra yakin mereka pun tak pernah menganggapnya sebagai kakak. Tak mungkin Candra lupa bagaimana cara mereka memperlakukannya jika bertemu.  “Eh, ada pengemis datang ke sini.”  Candra yang sedang berdiri sambil menatap foto keluarga itu seketika menegang begitu mendengar sebuah suara mengalun dari arah belakang. Begitu berbalik badan, dia menemukan sosok Satria, adiknya yang 2 tahun lebih muda darinya. Satria memang selalu seperti itu, menghina Candra dengan menyebutnya pengemis atau kata-kata kasar lainnya.  “Mau mengemis uang lagi pada ayahku, ya? Dasar tidak tahu malu.”  Candra mengepalkan tangan, dia kesal bukan main tapi juga tak berani melawan karena dia takut menimbulkan keributan.  “Kamu ini harusnya usaha sedikit dong, sampai kapan kamu terus mengemis uang pada ayahku?” “Itu bukan urusanmu. Ayahmu … ayahku juga,” balas Candra. Satria tertawa lantang, secara terang-terangan mencemooh Candra. “Siapa bilang ayahku ayahmu juga? Kamu saja yang berpikir begitu karena ayah sudah tidak mengakuimu lagi sebagai anak. Kamu tahu kenapa?”  Gigi Candra bergemeretak, sudah bisa dia duga kelanjutan ucapan Satria setelah ini.  “Karena dia malu punya anak dari wanita jalang seperti ibu kamu.” “Diam kamu, Satria. Jangan menghina ibuku.” Satria mengangkat kedua bahu, “Aku tidak menghina, memang begitu kenyataannya. Untung saja orang lain tidak ada yang tahu kamu dan ibumu itu ada hubungan dengan ayah. Kalau sampai teman-temanku tahu, mau ditaruh di mana wajahku. Kalian berdua ini benar-benar aib keluarga. Bisa tidak jangan muncul lagi di hadapan kami. Pergi saja sana, kalau perlu mati saja sana supaya kalian menghilang untuk selamanya. Cih, kalian orang-orang tidak tahu malu.”  Jika boleh jujur, Candra begitu ingin menghampiri Satria, melayangkan pukulan di wajah sombong dan angkuh adiknya itu. Namun, lagi dan lagi … Candra tak memiliki keberanian sebesar itu untuk merealisasikan keinginan hatinya.  “Aku harap ini terakhir kalinya melihat kamu. Jijik aku lihat wajah kamu. Pergi jauh-jauh sana.” “Suka atau tidak, aku ini tetap kakakmu, Satria.”  Satria melongo mendengar ucapan Candra, sebelum tawa lantang dari mulutnya kembali mengalun. “Hah? Kakakku kamu bilang? Jangan mimpi, ya. Sampai kapan pun aku dan Rara tidak akan pernah menganggapmu sebagai saudara. Kami malu punya saudara seperti kamu. Dasar orang tidak tahu diri.”  Satria pun melangkah pergi setelah menorehkan luka teramat dalam di hati Candra. Untuk kesekian kalinya Candra harus menerima penghinaan, terlebih dari adiknya sendiri, rasa sakit hatinya berkali lipat lebih sakit dibandingkan orang lain yang menghinanya.  Setelah kepergian Satria, Candra kembali mendudukan diri di kursi. Lama dia duduk di sana tapi tak ada tanda-tanda Pak Bagas kembali untuk menyuruhnya masuk menemui ayahnya. Awalnya, Candra mencoba bersabar, tapi setelah hampir dua jam lebih dia menunggu dan tidak ada kabar juga, kesabaran Candra pun habis. Dia tak peduli lagi walau tahu ayahnya mungkin sedang sibuk. Dia tetap akan menemuinya sekarang juga karena dia juga tak tahan berlama-lama berada di rumah itu.  Tanpa keraguan dan entah mendapatkan keberanian darimana, Candra melangkah pergi dari ruangan itu. Tujuannya kini adalah rumah utama di mana ayahnya berada. Candra menekan bel setibanya dia di depan pintu utama. Begitu seorang pelayan membukakan pintu, tanpa mengatakan apa pun Candra menerobos masuk, mengabaikan sepenuhnya sang pelayan yang bertanya dan menghalangi jalannya.  Candra terus berjalan menuju sebuah ruangan karena sudah bisa dia tebak di ruangan mana ayahnya berada, ini bukan pertama kali dia mendatangi rumah itu sehingga dia cukup hafal letak ruangan demi ruangan.  Begitu tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Candra tanpa ragu membuka pintu tanpa mengetuknya, membuat atensi semua orang di dalam ruangan kini tertuju padanya.  “Ah, maaf. Saya permisi sebentar,” ucap Brama begitu menyadari sosok siapa yang baru saja menerobos masuk dengan tidak sopan dan mengganggu pertemuan penting dengan rekan-rekan bisnisnya.  Brama memegang tangan Candra dan menariknya paksa untuk keluar ruangan. Dengan kasar membawa anak sulungnya itu ke sebuah ruangan yang jauh dari ruangan kerja di mana rekan-rekan bisnisnya sedang berkumpul. Kemudian …  Plak!  Sebuah tamparan keras dilayangkannya pada salah satu pipi Candra, tidak hanya sekali tapi Brama menampar Candra berkali-kali hingga Candra tersungkur dan jatuh terduduk di lantai karena sebegitu keras dan bertenaga tamparan sang ayah.  “Dasar anak tidak tahu diri. Kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan, hah?!”  Candra menatap tajam dengan napasnya yang naik turun dengan cepat menahan emosi pada ayahnya yang begitu kejam memukuli dirinya.  “Aku sudah berjam-jam menunggu ayah. Kenapa ayah tidak bisa menemuiku sebentar saja? Aku yakin Pak Bagas sudah memberitahukan kedatanganku ke rumah ini untuk menemui ayah.”  Candra tersentak ketika sang ayah tiba-tiba mencengkeram kerah kemeja yang dikenakannya. Menarik Candra yang dalam posisi duduk agar kembali berdiri tegak. “Kamu tidak lihat aku sedang ada pertemuan penting tadi?” “Menemuiku sebentar saja, masa Ayah tidak bisa? Aku tidak akan membuang banyak waktu Ayah, aku hanya butuh lima menit untuk bicara setelah itu aku akan pergi,” sahut Candra karena dia tak sanggup lagi menahan amarah mendapati ayahnya lebih mementingkan bisnis dibanding anaknya yang jauh-jauh datang untuk menemuinya.  “Apa mereka lebih penting dibanding aku, darah dagingmu sendiri?”  Untuk kesekian kalinya Candra mendapat tamparan keras dari sang ayah. “Sudah kuduga wanita jalang itu memang tidak bisa mendidik anak dengan benar makanya kamu jadi tidak tahu etika dan sopan santun seperti ini. Lagi pula, tadi kamu bertanya siapa yang lebih penting untukku? Tentu saja rekan-rekan bisnisku lebih penting dibandingkan anak tidak berguna dan hanya bisa membuatku malu sepertimu.”  Candra mengepalkan tangan erat hingga buku-buku jarinya memutih, lengkap sudah sakit hati yang dia rasakan. Ayahnya pun ikut menghina dirinya.  “Kamu datang ke sini karena butuh uang, kan?” Dengan gerakan cepat Brama mengeluarkan dompet dari saku celana, mengeluarkan beberapa lembar uang dan melemparkannya tepat ke wajah Candra.  “Itu, ambil uangnya dan pergi dari sini. Aku muak lihat wajah kamu. Kesal sekali setiap melihat wajah kamu karena aku jadi ingat ibumu yang seorang w************n itu.”  Kepalan tangan Candra gemetar dengan hebat, tidak sadarkah ayahnya itu bahwa istrinya memilih jalan sesat ini juga karena disebabkan olehnya yang sudah tak peduli pada mereka lagi?  “Cepat pergi dari sini! Awas saja jika aku masih melihatmu di sini, aku tidak akan segan-segan menyuruh security menyeretmu keluar!”  Brama pun melangkah pergi setelah itu, meninggalkan putra sulungnya yang tak kuasa menahan sakit hati dan amarah hingga air mata mengalir dengan sendirinya. Candra berjongkok memungut satu demi satu uang yang berserakan di lantai. Sekali lagi dia terpaksa melakukan itu karena dia memang membutuhkannya. Dalam hati bertekad, suatu hari nanti dia pasti akan membalas perlakuan kasar orang-orang yang menyakitinya, termasuk ayahnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN