Pagi ini Sule kembali mencoba untuk mengajak Nadia bertemu, sebab wanita itu sudah hampir satu Minggu tidak ada kabar sama sekali, setiap ia telpon selalu ditolak, dan mendadak Nadia menjadi manusia yang paling patuh peraturan lalu lintas, setiap hari gadis itu akan mengenakan helm dan membawa surat-surat lengkap, kadang pula ia sengaja meminta salah satu temannya untuk menjemputnya demi menghindari komunikasi dengan nya.
Melihat pintu rumah di depannya yang tertutup rapat, Sule menjadi bimbang untuk mengetuk pintu itu, pasalnya ini masih jam tujuh pagi. Beruntung ia sedang libur, dan siang nanti baru akan ke kantor pusat mengurus surat kepindahan tugasnya.
Lama berdiam diri, secara mengejutkan pintu rumah Nadia terbuka dan tak lama gadis itu muncul dalam balutan kemeja dan celana jeans nya.
"Assalamualaikum, Nadia."
Brak!
Nadia yang terkejut melemparkan sepatu yang ja genggam ke arah Sule yang berada di depannya secara tiba-tiba. Alhasil pemuda itu menerima pukulan maut yang membuat kalangkabut.
"Aws... Nadia ini sakit loh."
Nadia mengerjakan matanya pelan, lalu menatap Sule dengan pandangan bingung dan linglung, ada apa Sule sepagi ini sudah di rumah nya? Apa pemuda ini akan mengadu yabg tidak-tidak, kan dirinya sama sekali tidak berbuat kesalahan selama satu Minggu ini.
"Ngapain Lo di sini?" Tanya Nadia yang sudah sadar dari kebingungan nya.
Sule mengerjap pelan guna menghilangkan rasa berdenyut akibat dihantam sepatu oleh Nadia dengan begitu kuatnya.
"Kenapa emangnya kalau aku datang? Keberatan?"
"YAIYALAH, AKU KEBERATAN!"
Sule kembali mengerjapkan matanya pelan, begitu kaget mendengar suara melengking Nadia yang begitu kuat menusuk Indra pendengar nya .
Ia menggosok pelan telinganya yang masih berdengung akibat teriakan gadis itu. "Nadia! Suara apa itu?" Tanya seseorang dari dalam rumah yang Sule tebak itu adalah ibunya Nadia.
Dan benar saja, wanita paruh baya itu tampak mengernyit heran terlebih ketika melihat sepatu anaknya yang terlempar jauh keluar dari rumah.
"Masyaallah Nadia! Itu sepatu lu kok nyebur ke got coba?"
Nadia dan Sule sama-sama mengikuti arah pandang emak dan benar ternyata sepatu itu sudah berada di dalam got. Sepatu yang tadinya berhasil membuat wajah Sule panas dan memerah ternyata sudah nyungsep ke dalam got depan rumah Nadia, entah harus bersyukur atau merasa bersalah, yang jelas saat ini Sule sudah menahan mati-matian suara tawanya yang akan meledak saat itu juga.
"Sepatu gue ya Allah..." Nadia berlari mengambil sepatu yang sudah terlihat hitam dan bau busuk itu. "Astaga sepatu gue... Ini gara-gara elu yah Sule! Ngagetin gue akhirnya sepatunya melayang."
Sule yang sudah tidak tahan menahan tawanya langsung tertawa ngakak tanpa memperdulikan wajah yang marah dan tampak terkejut dari dua perempuan yang berbeda generasi itu.
"Sule, sejak kapan datang, Nak?"
Nadia tercengang. Apa tadi? Nak? Seumur-umur sejak ia mengerti seorang jantan ia tidak pernah tuh mendengar emaknya memanggil ia nak. Dan sekarang malah Sule? Yang benar saja.
"Sejak kapan Sule jadi anaknya emak? " Tanya Nadia sinis memandang Sule.
"Sejak kemarin, emang kenapa? Sule kan mau jadi mantunya emak, yah terserah emak lah."
Apa? Mantu? Maksudnya gimana?
"Mantu? Mau nikah sama siapa dia?"
"Yah ana emak cuma dua, yang satu laki, jadi gak mungkinkan Sule nikah sama Patwa?"
Nadia terdiam. Berarti sudah pasti yang dimaksud emaknya adalah dirinya. Hah? Yah gak mau lah, ya kali ia nikah sama polisi, bisa mampus hidupnya. Salah dikit tilang, rasa masakan gak sesuai pasti dihukum tuh. Membayangkan nya saja ia sudah tidak mau apalagi sempat itu jadi kenyataan, bisa gila dirinya.
Tanpa sadar Nadia sudah bergeleng-geleng kepala yang membuat emak dan Sule menatapnya heran, Sule sendiri yang tau apa pikiran Nadia hanya tersenyum geli terlebih wajah pucat dan ketakutan nya. Emang menikah dengannya semenyeramkan itu yah? Perasaan ia tampan, ia penuh kasih sayang, ia lemah lembut, lantas kenapa Nadia terlihat seperti ketakutan?
"Nadia, woy! Gak gila kan elu?"
Nadia tersentak, melihat emaknya dengan tajam lalu melirik Sule tak kalah tajam pula. "Jangan ngada-ngadi, Mak. Ya kali anakmu ini dinikahkan sama polisi, bisa hancur dunia persilatan."
"Apa salahnya? Emang kenapa kalau nikah sama polisi?"
"Yah gak mau lah, polisi itu terlalu banyak peraturan, bisa mati gue ke Iket sama peraturan elu nya."
"Mana ada, ya kali aku buat mati bini aku." Tegas Sule yang tidak ingin citranya buruk di depan calon ibu mertuanya, lagian tidak mungkin ia membuat istrinya sendiri mati kan? Jadi duda dong dianya.
"Hidih... Bohong lu, belum nikah aja elu udah ngatur gue, suruh pake helm lah, bawa STNK lah, gak sekalian buku hitam?"
"Boleh, buku nikah juga lebih bagus."
"Lah si anjir..."
Nadia bergidik ngeri, tanpa mengucapkan apa apa gadis itu langsung berlalu masuk ke dalam rumah dan mengambil sepatunya yang baru.
Setelah selesai, tanpa memperdulikan Sule yang masih berada di depan rumahnya, ia langsung tancap gas meninggalkan rumah meski sudah diteriaki oleh emaknya.
"Anak setan emang, ada tamu koi malah ngeluyur pergi."
"Gak papa, Bu. Mungkin Nadia ada kelas pagi."
"Halah itu alasan dia aja, emang gak ada akhlak banget, liat aja nanti kalau pulang. Siap-siap gue hajar tuh bocah."
"Ngapa sih, Mak. Pagi-pagi dah ngomel aja." Patwa keluar dari rumah dengan menenteng sepatu dan tasnya . "Eh ada bang Sule, lagi nunggu kak Nadia yah? Itu bocah emang gak ada akhlaknya."
"Halah kayak elu gak aja." Cibir emaknya tanpa memperdulikan patwa yang sudah memerah malu.
"Mak, pergi assalamualaikum..."
Sule yang melihat bagaimana patwa berpamitan kepada ibunya sontak saja merasa iri, sebab sebagai anak perantauan sudah pasti jauh dari keluarga. Sule merupakan pendatang dari Padang Sidempuan, tempat ia dibesarkan. Sehingga ia yang sebelumnya tidak terbiasa jauh dari orang tua, harus bisa terima ketika pemandangan di depannya sering ia lihat. Tak jarang ia akan menangis ketika malam nanti, merindukan ibunya yang lemah lembut itu.
"Sule, kok malah melamun. Gak mau masuk rumah?"
Sule mengangguk. Ia anggap ini sebagai proses pendekatan dengan ibu mertuanya. Untung-untung ayah Nadia masih berada di rumah juga.
"Assalamualaikum, nak Sule. Sudah bertamu aja pagi-pagi. Sini sarapan bareng."
Sule meringis pelan, ia sadar itu merupakan sindiran untuk dirinya, emang sangat tidak etis sih jika berkunjung di pagi hari seperti ini. Tapi apa boleh buat, ia tidak memiliki waktu kalau siang bahkan malam karena tugas nya yang berganti-ganti. Jadi harus menekan rasa malu ini mah.
"Gimana? Udah bisa naklukin Nadia si batu sungai?"
Sule tersenyum singkat, boro-boro naklukin, anaknya udah nolak sebelum ia bertindak.
"Masih diusahakan, pak."
Babe tampak mengangguk. "Iya, bagus itu. Usahakan terus. Tapi jangan lupa, restu kami pun penting, ibunya mungkin terima-terima aja, tapi saya tidak. Sama seperti Nadia, saya paling anti sama polisi atau aparat penegak hukum lainnya. Jadi itu menjadi tugas kamu meyakinkan kami berdua agar menerimamu."
Lah? Ini artinya ia masih ditolak nih? Sebagai calon mantu. Kok nyesek yah