CHAPTER 2. PENCARIAN

1893 Kata
    Siluman sangat pandai dalam bersembunyi. Bahkan di sebuah kota besar pun, akan sangat sulit untuk mencari seorang siluman yang pandai berkamuflase menjadi manusia biasa atau bersembunyi dibalik bayangan. Aura yang sebelumnya menyebar luas di pusat kota, kini sudah menghilang. Pertanda bahwa siluman telah meninggalkan kota.     Cenora melihat ke segala arah, mencari jejak atau aura tipis yang mungkin ditinggalkan oleh siluman ular. Biasanya siluman seringkali meninggalkan jejak berupa aura tipis sehingga mudah untuk mengikutinya.     Namun, siluman yang kini sedang Cenora cari sepertinya berada di tingkat yang tinggi sehingga bisa mengatur aura yang keluar dari tubuhnya tanpa meninggalkan jejak.     Anastasius, “Nora, Bagaimana mekanisme untuk menjerat mangsa Ular Pemimpi?     “Ular Pemimpi akan memasukkan ilusi ke dalam otak mangsanya. Biasanya, itu berupa hal yang tidak mereka miliki. Seperti uang, uang itu akan berada di sisi yang jauh, kemudian mangsanya akan mengikuti benda tersebut. Akan tetapi, bukan harta yang akan mereka temukan. Melainkan Ular Pemangsa yang akan menerkam mereka."     “Berapa radius ilusi itu?”     Cenora, “Sekitar lima kilometer. Tapi biasanya Ular Pemimpi tidak akan membuat ilusi sejauh itu hanya untuk makan, biasanya hanya sampai dua kilometer.”     Anastasius berfikir sejenak, “Dua kilometer.. Ah! Nora, apa kamu tahu Hutan Dryas?”     “Hutan Dryas? Aku tidak tahu.”     “Hutan Dryas hanya berjarak dua kilometer dari Kota Kalla. Kamu mungkin belum pernah mendengarnya karena hutan ini berbatasan dengan jurang di pinggir kota. Anak – anak yang pernah menceritakannya padaku.” Jelas Anastasius.      Meskipun, ia sendiri ragu bila Ular Pemimpi akan membawa anak – anak kesana. Karena seperti yang sudah dijabarkan, hutan itu terletak diperbatasan jurang. Bagaimana caranya anak – anak itu bisa melewati Jurang yang dalam itu.     “Tapi, anak – anak tidak mungkin bisa melewati jurang kan?”     Cenora, “Kita lihat saja keadaanya setelah sampai disana.”     Mereka memutuskan untuk pergi ke perbatasan jurang di pinggir kota Kalla. Pinggiran kota biasanya sudah tidak diisi oleh rumah penduduk, karena letaknya yang begitu jauh dari pusat kota selain itu juga banyak beresiko longsor akibat terlalu dekat dengan jurang dalam.     Semakin dekat Cenora dan Anastasius berjalan menuju ke perbatasan, iklim di sekitar mereka terasa lebih dingin dibandingkan dengan iklim yang ada di kota. Pandangan mereka pun mulai tertutupi oleh kabut, semakin dekat dengan jurang semakin tebal juga kabutnya. Hutan Dyras bahkan jarang diketahui oleh orang – orang salah satu penyebabnya adalah karena tertutupi oleh kabut.     Cenora memegang lengan Anastasius, takut kalau anak itu akan hilang dan malah memperkeruh suasana. Cenora mulai bisa merasakan adanya energi siluman yang perlahan mulai menguar, meskipun energinya begitu tipis.     Dalam satu jentikkan jari, Cenora memunculkan api kecil di tangannya. Membuat mereka lebih leluasa untuk melihat keadaan sekitar, meskipun radius penglihatan mereka tidak terlalu jauh.     Anastasius melangkah terlebih dahulu, baru ingin melangkah kembali kerah bajunya ditarik oleh Cenora secara tiba – tiba. Membuatnya langsung terhuyung ke belakang. Suara bebatuan jatuh terdengar dihadapannya.     “Bodoh, didepanmu jurang.” Ujar Cenora.     Nafas Anastasius tercekat, satu langkah lagi dia bisa mati, “Bukankah jurang ini sangat dalam? Bahkan suara batu yang jatuh pun tidak kunjung terdengar.”     Apa kita harus menelusuri sepanjang jurang? Mungkin ada penghubung untuk ke Hutan Dyras di sebrang.” Lanjut Anastasius.     Cenora melangkah mendekat ke bibir jurang, melihat kegelapan tanpa akhir dibawahnya, “Tak perlu. Siluman itu dibawah.”     “Apa? Anak – anak itu tidak mungkin berjatuhan kebawah kan?” Takut Anastasius.     “Tidak, siluman tidak suka memangsa makanan hancur. Dia pasti menunggu di bibir jurang lalu membawa mangsanya ke bawah.”     Sejenak ada rasa lega yang menghampiri Anastasius, namun langsung berubah kembali menjadi rasa khawatir akan keadaan anak – anak di bawah sana. Ia takut mereka sudah dijadikan makanan oleh siluman itu.     “Bagaimana ki—”     Belum sempat Anastasius bertanya cara untuk turun kebawah. Ia merasakan tendangan kaki pada punggungnya, membuat Anastasius membelalakkan matanya tatkala tubuhnya langsung terhuyung untuk jatuh ke jurang.     “CENORAA!!” Ia berteriak keras ketika tubuhnya terjatuh dengan kecepatan tinggi.     Cenora berdecih, “Bocah ini, berisik sekali.”     Wanita itu lantas ikut menjatuhkan dirinya kedalam jurang yang seakan tak berujung. Udara dingin menusuk kulit Cenora yang hanya tertutupi oleh gaun tipis. Namun, ia tak pernah sekalipun menggigil hanya karena dingin.     Ketika tubuh mereka hampir menghantam tanah keras dibawah, Cenora mengayunkan tangan kanannya sehingga pusaran angin berbentuk bulat melingkupi tubuh Cenora serta Anastasius, membuat mereka terangkat ke udara dan jatuh secara perlahan.     Pusaran angin tersebut kemudian menghilang tatkala kaki mereka sudah mencapai tanah. Anastasius langsung terduduk diatas tanah dengan nafas putus – putus, ia bahkan bisa mendengar degub jantungnya sendiri yang bersuara bagaikan tabuhan gendang.     Anastasius menatap Cenora yang terlihat seperti sedang menertawakannya, ia ingin marah namun juga tak bisa karena tubuhnya begitu lemas.     “Bangun, kita harus mencari sarang ular.” Cenora berjalan meninggalkan Anastasius.     Melihat langkah Cenora semakin jauh, Anastasius langsung berdiri dan mengejar Cenora dengan tertatih – tatih, “Nora, bisakah lain kali kita menggunakan cara normal?”     “Itu normal.”     Anastasius tersenyum pasrah, “Aku hampir mati, Nora.”     Cenora melihat anak lelaki itu, menatapnya dari atas hingga bawah, “Tapi sekarang kau hidup bukan? Tidak ada masalah.”     “Ta—”     Cenora menutup mulut Anastasius dengan tangannya seraya mendorong anak lelaki itu agar dekat dengan dinding jurang, ia kemudian berbisik, “Diam, dia sangat dekat.”     Aura siluman ular terasa begitu dekat, mungkin hanya beradius beberapa meter dari tempat mereka berpijak. Cenora lantas mematikan api di tangannya, membiarkan kegelapan melingkupi mereka.     Anastasius ikut berbisik hampir seperti tak bersuara, “Dimana?”     Cenora menutup kedua mata, membiarkan kaki yang berpijak diatas tanah melihat keadaan sekitar berdasarkan getaran atau pergerakan kecil diatas tanah. Ia bisa merasakannya, ada sekitar sepuluh manusia yang tergolek diatas tanah.     Tapi dia tidak bisa merasakan pergerakan dari siluman ular.     Dimana? Dia ada dimana?     Cenora memperluas daerah jangkauannya, yang sebelumnya hanya merasakan tanah datar, kini mulai merambat ke dinding jurang. Ketika itulah, ia merasa ada sesuatu yang merayap di dinding jurang yang jaraknya tak terlalu jauh dengan mereka. Ia lantas menarik lengan Anastasius, melempar anak lelaki itu jauh darinya.     Kobaran api besar langsung melingkupi tubuh Cenora tatkala sesosok ular  raksasa hendak menggigitnya, ingin menancapkan taring beracun yang bisa membunuh orang biasa dalam waktu hitungan detik.     Suara desisan keras keluar dari tubuh Ular tersebut ketika api Cenora mengenai tubuhnya. ular itu begitu besar, Panjangnya mungkin bisa mencapai hingga dua puluh meter dengan badan yang lebih besar dari sebuah rumah.     Akan tetapi, ada hal yang membuat Cenora langsung terdiam di tempatnya, Ia melihar ular itu berwarna putih. Warna putih merupakan warna yang sangat jarang dijumpai pada siluman, atau bahkan tidak pernah ada.     Hanya ada satu siluman ular yang memiki tubuh berwarna putih, “Galia?” Panggil Cenora ragu.     Pasalnya siluman ular itu nampak tak mengenali sosok Cenora, Galia yang ia tahu adalah siluman ular dengan integritas tinggi, Galia tidak pernah memangsa umat manusia sebagai makanannya. Ia hanya memangsa hewan ataupun manusia mati, demi mempertahankan kehormatannya.     Sosok yang ada dihadapan Cenora kini, sangat berbeda dengan Galia. Ular ini begitu liar, dan seakan ada pancaran kebencian di matanya.     “Galia, apakah itu kau?” Tanya Cenora      sekali lagi, namun hanya suara desisan yang ia dapatkan. Cenora sangat yakin bahwa dihadapannya adalah Galia, tapi dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan siluman itu.     Galia mengangkat ekor miliknya, lalu mengayunkan ekor tersebut ke tubuh Cenora. Api kembali melingkupi tubuh Cenora, memukul mundur ekor tersebut.     Kali ini Cenora membuat pusaran angin untuk mengangkat tubuhnya, membawanya melesat ke atas kepala Galia. Ular besar itu menggeliat begitu liar, berusaha untuk menjatuhkan tubuh Cenora yang berpegangan kepada kepala Galia.     “Galia! Sadarlah!” Cenora memukul keras tulang kepala Galia, suara lolongan keras langsung terdengar. Membuat Cenora langsung menutup telinganya karena tak tahan dengan gelombang suara yang dihasilkan oleh ular itu.     Disaat itulah, Galia dapat melempar Cenora agar jatuh dari kepalanya. Pusaran angin langsung melingkupi tubuhnya kembali, mencegahnya untuk menghantam kerasnya tanah.     Anastasius yang melihat perkelahian itu tidak mampu untuk berbuat apapun, ia tidak akan bisa membantu Cenora melawan Siluman dengan kekuatan sebesar itu. Selama ini, Ia hanya bisa membantu Cenora melawan siluman dengan kekuatan yang tidak terlalu besar.     Karena, merasa tidak berguna di pertarungan itu. Ia pun memutar otak untuk melakukan hal yang berguna di situasi saat ini. Lebih baik, Anastasius membantu anak – anak yang mungkin masih terhanyut didalam mimpi mereka.     Anastasius langsung berlari di pinggir jurang untuk menghindari pertarungan mereka, “Cenora! Pinjamkan aku cahaya apimu!”     Tanpa perlu menjawab, Cenora melingkupi tubuh Anastasius dengan bola – bola api kecil yang bisa memudahkan anak itu untuk melihat dalam gelap.     Jurang ini membentang begitu panjang, seakan tanpa ada ujung meskipun sudah berlari sejauh mungkin. Anak – anak tidak mungkin berada terlalu jauh dari tempat siluman ular menyerang. Mereka pasti diletakkan disuatu tempat yang sulit untuk dijamah oleh orang lain.     Seperti sebuah sarang yang tersembunyi.     Anastasius melihat ke sekelilingnya, memperhatikan lingkungan sekitar dengan seksama. Tidak membiarkan satu detailpun dapat lolos dari pandangannya. Kedua manik perak Anastasius terkunci pada suatu tempat.     Terdapat daerah dinding jurang yang memiliki retakan – retakan halus yang membentuk lingkaran besar. Di tengah retakan tersebut terlihat seperti ada batu besar yang menghalangi jalan. Anastasius berjalan mendekati tempat itu.     Celah kosong terlihat di sekeliling batu, semakin meyakinkan Anastasius bahwa ada ruang dibalik batu tersebut. Ia lantas menarik pedang dari sarungnya. Kemudian menusukkan pedang kedalam celah disekeliling batu, yang bisa difungsikan untuk mendongkrak batu itu agar bisa tergeser.     Akan tetapi, seberapa keras ia berusaha mendongkrak, batu tersebut tidak tergeser barang se inchi pun. Frustasi dengan keadaan, Anastasius menggunakan metode yang berbeda. Ujung pedang miliknya dihantamkan ke batu, berusaha untuk membuatnya. Namun, hal itu pun tidak berhasil.     Karena bagaimanapun, pedangnya hanyalah sebuah besi biasa yang tidak memiliki Elemental Stone yang bisa memperkuat pedang. Anastasius melirik ke arah Cenora, wanita itu masih bertarung keras dengan Siluman ular. Tidak mungkin Cenora bisa membantunya sekarang.     Melihat hal tersebut, Anastasius meletakkan telapak tangan kanan diatas permukaan batu yang keras. Percikan aliran listrik terbentuk di tangannya, begitu kecil namun bisa membuat retakan besar di sekeliling permukaan batu itu. Anastasius menggunakan ujung pedang untuk menghantam retakkan batu, kepingan – kepingan batu berhamburan diatas tanah. Memberikan celah bagi Anastasius untuk masuk.     Ruangan besar seperti goa terlihat dibalik jalan masuk. Memperlihatkan tubuh anak – anak yang tergolek diatas tanah. Mereka meringkuk seperti sedang tertidur. Persis seperti apa yang telah Cenora katakan, mereka pasti sedang melihat ilusi yang begitu indah hingga tak sudi untuk bangun ke dunia.     “Bagaimana cara membangunkan mereka?” Bisik Anastasius kepada dirinya sendiri.     Ia melihat Anni sedang tertidur bersebelahan dengan anak lain yang bernama Charles. Anastasius berjongkok dihadapan mereka berdua. Berfikir, apakah dia bisa membangunkan mereka dengan mengalirkan aliran listrik kecil? Mungkin rasa kejut di tubuh bisa membuat mereka sadar kembali.     Anastasius mengarahkan jari telunjuknya ke atas kening Anni, berniat untuk mengalirkan sedikit listrik ke otaknya. Namun, suara benturan yang sangat keras diluar membuat Anastasius langsung berdiri karena kaget. Dinding jurang pun bergetar akibar benturan tadi.     Ia langsung keluar dari Goa. Hanya untuk mendapati tubuh Cenora yang dihantam ke dinding dengan keras, membuat retakan yang sangat besar di sekelilingnya. Wanita itu nampak terduduk diatas tanah seraya memegangi lengan kanannya yang tanpa sengaja terkena cabikan taring ular.     Anastasius langsung berlari sekuat tenaga untuk menghampiri Cenora, tidak perduli dengan omelan yang pasti akan dilontarkan Cenora nantinya karena menganggu pertarungan wanita itu.     “Nora! Kamu terluka?” Anastasius berjongkok dihadapan Cenora. Melihat lengan gaun Cenora telah terkoyak, terdapat sebuah luka goresan panjang yang mengeluarkan darah tanpa henti.     “Bodoh, kenapa kamu kemari.” Cenora mendorong Anastasius untuk pergi.     Anastasius yang tersungkur ke atas tanah, bangkit kembali dan merangkak kehadapan Cenora, “Kamu terluka. Bahkan lukamu tak kunjung sembuh.”     Cenora mendesis, “Tentu saja. Galia yang membuat luka ini, tidak akan bisa sembuh dengan cepat.”     “Galia? Kenapa kamu selalu menyebutnya Galia. Apa kamu mengenalnya?”     “Ceritanya panjang. Pergilah, jangan disini.”     Cenora hendak mendorong Anastasius kembali, namun tangan miliknya langsung tergolai jatuh karena lemas. Pandangan miliknya pun mulai menggelap, suara Anastasius bahkan menjadi seperti gaung di telinganya.     Racun Galia ternyata masih bisa mempengaruhinya. Sebuah Racun yang akan menghantarkan korbannya kedalam ilusi yang begitu panjang, ilusi palsu yang membuat korbannya terlalu bahagia untuk sadar dari ilusi. Ilusi dari racunnya, lebih sulit ditangani dibandingkan ilusi yang ia gunakan pada mangsanya.     “Cenora!” Anastasius berteriak panik melihat Cenora memejamkan kedua matanya. Bahkan tubuhnya menjadi kaku. **** To Be Continued  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN