DUA WANITA SATU KAMAR

1141 Kata
Reza tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya saat mengamati kamar dimana kedua calon pengantinnya begitu tenang. Sudah empat jam berlalu. Sebentar lagi bahkan waktunya untuk makan malam. Para asisten rumah tangga sudah begitu sibuk di dapur. "Mereka tidak saling bunuhkan?" gumamnya mulai khawatir. Tentu saja yang khawatir karena di dalamnya ada dua wanita yang akan jadi miliknya. "Mungkin mereka mulai lapar," gumam Reza mencoba membuat alasan untuk membukakan pintu, ia sangat penasaran. Terkejut tentunya melihat Naya tidur dengan pulas sedangkan Dara masih berlutut dengan kedua tangan yang diangkat ke atas. "Kamu ngapain?" tanya Reza melihat Dara, "Apa yang terjadi?" tanyanya lagi yang tak di balas oleh Dara. Reza menurunkan tangannya dan memijatnya pelan. "Tanganmu akan pegal jika seperti ini terus," ucapnya lagi dengan nada lembut penuh perhatian. Tanpa sadar, Reza memijat lembut kedua tangan Dara. Wanita itu hanya memandang takjub. Baginya, ini suatu kemewahan yang tak pernah ia kira. "Mandilah dulu, biar aku yang beri pengertian pada Naya, dia pasti akan menerimamu, dia hanya emosi sesaat." ucap Reza sambil mengusap puncak kepala wanitanya. "Wah kau pasti nggak punya pakaian, tunggu sebentar." Reza segera keluar kamar dan kembali dengan satu set pakaian beserta dalamannya. "Kamar mandinya ada di sebelah kiri kamu tanyakan saja pada asisten yang ada di sini," ucap Reza dengan lembut, bagi Dara semua yang diucapkan Reza adalah sebuah perintah yang harus ditaati dan ia hanya memiliki kewajiban untuk mengangguk dan menuruti apapun mau dari pria itu, setidaknya cara itu yang harus ia lakukan agar tidak ditendang dari kenyamanan yang ia impikan. Selepas Dara keluar dari kamar, Reza menatap wanita yang kini tengah terbaring dengan dengkuran yang halus. Tangannya mengusap lembut pada pipi kanan wanitanya, Nayara. Sesekali ia merapikan surai rambutnya yang berantakan. "Sepertinya aku menamparmu terlalu keras tadi, kau seharusnya mendengarkanku dan jangan membantahku sedikitpun," ucapnya lagi. "Tidurlah dengan nyenyak, aku tidak akan mengganggumu." Sebuah kecupan jatuh di pipi dimana tamparan yang didapatkan Naya. "Aku sangat berharap kalian bisa akur," tambahnya lagi sembari mengecup keningnya. Awalnya ia hendak membangunkan Naya, namun ia ingat tamparan keras yang membuat ia tak memiliki keberanian untuk sekedar membangunkannya. Reza keluar kamar setelah merapikan selimut, pengatur suhu ruangan dengan baik. Ia tak bisa membiarkan wanitanya tidur dalam keadaan kedinginan ataupun kepanasan. *** Naya terbangun setelah tidur hampir delapan jam, cahaya matahari sore cukup menyengat dan mengganggu tidurnya. Dari luar kamarnya lama-lama terdengar tawa, ia penasaran dan menghampiri pintu kamarnya, sedikit membuka pintu untuk melihat dari celah yang terlihat dan mendapati sahabatnya tengah tertawa bersama dengan calon suaminya. Amarah yang diperkirakan reda karena tidur nyatanya sia-sia karena setelah melihat keduanya bersama Naya kembali merasakan emosi. Pelan ia kembali menutup pintu, pandangannya beralih pada koper yang ada diatas lemari. Seulas senyum terukir. Dengan kursi riasnya ia berdiri untuk menjangkau koper. Ia ingin pulang. Tekadnya bulat, Naya memutuskan untuk pulang kembali ke rumah orang tuanya sebelum ia menjadi gila disini. Lagipula keberadaannya saat ini hanya akan membuatnya terus menerus sakit hati. Sebisa mungkin ia tak membuat kegaduhan saat memindahkan pakaiannya ke dalam koper. Kopernya terisi penuh meskipun barangnya masih menggantung banyak di semua sisi kamarnya, ia hanya mengambil barang miliknya. Sebagian besar barang yang ada di kamarnya merupakan pemberian dari calon suaminya dan Naya memilih untuk membiarkan itu. Akibat terlalu bersemangat, dengan cerobohnya Naya menyenggol figura yang membuat dentuman keras, terlebih serpihan kacanya yang menyebar kemana-mana. Naya panik bukan main. Ia berniat untuk pergi diam-diam, namun tak lama pintunya terbuka, Reza dan Dara muncul dari balik pintu. 'Bodoh!' Maki Naya dalam hati. "Apa yang terja— kau mau kemana?" sadar Reza mendapati koper yang sudah tersanding disisinya. "Aku tanya kamu mau kemana?" Naya masih bungkam. Suaranya berlalu begitu saja. Tak ada balasan. "Naya sayang?" Naya mendengar panggilan dari Reza yang tak berubah sama sekali, padahal jelas selingkuhannya ada dibelakangnya. Nada lembutnya masih sama seperti yang biasanya. "Aku mau pulang, aku nggak mau tinggal di sini." Dara mundur, menunduk. Ia tahu akar permasalahannya adalah dirinya. "Nay ... kita bisa bica— "Bicara! Terus aja ngomong gitu nyatanya kamu nggak bakal dengerin omonganku! Kamu hanya mementingkan dirimu sendiri! Egois, apa kamu ga sadar?!" "Kamu bersihin tempat ini," pinta Reza pada Dara sembari mendorong kopernya yang langsung sampai ke pintu, Dara dengan siap menangkapnya dan menyandarkannya di dinding. Tubuh Reza sigap langsung menggendong tubuh kekasihnya, penolakan terjadi dan Reza menang karena keseimbangan tubuhnya. "Turunin aku!" Sesuai ucapan calon istrinya, Reza menurunkan Naya. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin keluar?" "Kau juga tiba-tiba membawa dia!" Tunjuk Naya pada Dara yang kini berjalan menuju kamar dengan alas kaki yang dipakainya. "Aku punya alasan sa—" "Aku juga punya alasan!" gertak Naya tak mau kalah. Reza bahkan mundur selangkah kala mendengarkan teriakan dari calon istrinya. Dara memilih untuk tidak bergabung, ia bergegas membersihkan serpihan kaca. Ia sama sekali tak keberatan. Rumah yang kini di tempati, sangat nyaman. Semua yang dibutuhkan, hampir semuanya ada. "Dara sahabat kamu, pikirkan jika kamu di rumah sendirian selepas menikah denganku, kau akan kesepian Nay, belum lagi kalau aku keluar dinas dan juga kamu tak perlu berlelah sendirian, kare—" "Wah ... begitu ya, aku tetep mau pulang! Jangan cegah aku!" Lantang Naya menyeret kopernya. Ia tak akan berubah pikiran sampai Reza mengusir temannya dan menjadikan dia satu-satunya ratu di rumahnya. Ia menyukai Dara, tapi tidak untuk menjadi istri dari mas Reza! Dara itu sahabat nya. Naya berjalan tanpa hambatan, sambil sesekali berbalik membayangkan jika Reza akan mempertahankannya namun harapan hanyalah harapan karena tidak ada siapapun di belakangnya. Ia memang marah. "Kenapa rumah ini besar sekali sih," gerutu Naya saat kakinya melangkah namun pintu gerbang masih jauh di sana, rumah calon suaminya memang sangat besar. "Mentang-mentang kaya! Istri minta dua!" Naya terus menggerutu, untuk menyalurkan kekesalannya. Langkahnya terhenti di sebuah mobil mencegah dari depan. Siapa lagi kalau bukan Reza, calon suaminya. "Ayo kuantar," ajak Reza membukakan pintu mobil tanpa keluar. Naya berdecih. Ia memilih memutar melewati mobil itu dan saat itu pula, Reza keluar dari mobilnya, mencegat tangannya. "Sayang ... aku bilang akan mengantarmu, dunia luar terlalu berbahaya untuk wanita secantik dirimu," ucapnya tangan satu meraih koper, sedangkan tangan satunya meraih tangan calon istrinya. "Rumah ini bahkan lebih berbahaya bagiku!" "Tidak bagiku, rumah ini adalah tempat paling aman untukmu." "Kau akan menculik dan mengurungku?" tanya Naya waspada. Banyak orang yang menjadi jahat karena keinginannya tak tercapai. Naya mendongak kala melihat tawa lebar dari pria di depannya. "Kamu mana boleh begitu, kalaupun aku menculikmu, orang-orang juga akan setuju." Kerling Reza merangkul bahu Naya. Tak ada elakan. Reza berhasil membawa Naya ke dalam mobilnya. "Ka—kamu mau nelpon siapa?!" Usapan lembut di dapatkannya. Senyum tipisnya tak pernah berhenti terukir. "Aku harus mengabari orang tuamu, mau aku yang bicara atau kau?" Naya membuang muka seketika mendengar suara sapaan dari ponsel yang di loud speakernya. "Selamat sore ibu mertua, ini Naya minta pulang, ibu ada di rumah?" "Lho, kok pulang? Kan bagus tinggal disana." "Katanya kangen sama ibu, Reza juga kangen, kita boleh kesanakan, Bu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN