BAB 52

3145 Kata
Nisa akhirnya bertemu dengan Bryan. Aden yang pernah menceritakan tentang sahabat terbaiknya itu, kini hadir di rumah tanpa Aden bersamanya dan malah bersama Nina. Sesaat Nisa heran melihat Nina cemberut, namun saat mendapati kode isyarat dari Bryan untuk tidak bertannya apa pun dulu pda Nina, Nisa akhirnya mengerti bahwa saat ini Nina tidak ingin diganggu dengan berbagai pertanyaan seputar dirinya yang pulang bersama Bryan, bukan dengan Aden. Nisa yang berniat mengajak Bryan masuk, urung saat Bryan berpamitan pulang. Nina tampak kaget mendengar tolakan halus dari Bryan pada Nisa. Padahal sejak dulu, Bryan selalu memnta Aden untuk mengajaknya ke rumah, namun kini dialah yang malah menolak saat diajak masuk. Nina menatap kepergian Bryan yang langsung masuk ke dalam mobil tanpa berbalik setelah berpamiytan dengan Nisa yang kini melanjutkan kegiatannya menyram bunga-bunga di pot bunganya di teras rumah. Nisa melirik ke Nina yang masih terpaku menatap kepergian mobil Bryan melewati gerbang tinggi rumah Adit. Sesaat Nisa tersenyum sembari menggelengkan kepala melihat tingkah Nina yang tidak seperti biasanya. Walau pun baik Aden mau pun Nina tidak pernah menceritakan secara detail tentang Bryan dan hanya tahu bahwa cowok tampan itu sahabat dekat Aden, namun Nisa bisa merasakan kalau Bryan menyukai Nina. Dan semua itu terlihat jelas di kedua mata Bryan saat melihat Nina. “Orangnya udah pergi, Neng, ngapain masih dilihatin sih,” sindir Nisa yang langsung mebuat Nina tersadar dari lamunannya, lantas duduk di kursi besi sembari membuka sepatu. “Apaam sih, Kak, bukan lihatin dia juga,” jawab Nina masih dengan nada sewot. “Jadi lihatin apaan, gerbang?” tanya Nisa lantas tertawa kecil yang jelas saja membuat nina malu bukan main. Kedua pipi Nina memerah akibat rasa malu yang dia rasakan. Nisa sendiri yang tsudah elelahan, memutuskan untuk di kursi satunya di sebelah Nina. Hanya ada meja kaca kecil di antara keduanya yang di atasnya terdapat as kecil dengan mati tertancam di dalamnya. “Tadi pagi kakak ke pantai,” ucap Nisa yang berhasil menarik tatapan Nina tertuju ke arahnya. “Kakak pergi sendiri?” tanya Nina khawatir. Nisa menggeleng pelan, “Sama Bang Adit,” jawab Nisa. “Tiba0tiba kakak rindu Bapak, makanya kakak ke sana buat ziarah. Kalian gak ke sana? Sudah lama kalian gak datang mengunjungi bapak. Bapak pasti rindu.” Nina terdiam. Apa yang dikatakan Nisa memang ada benarnya. Sudah cukup lama dirinya dan Aden ttidak datang berkunjung ke pantai. Keduanya hanya mengunjung makam sang ibu saja di tempat pemakaman umum namun tidak dengan sang Bapak. Nina memang merasa bersalah karena jarang hadir ke sana. Namun entah mengapa, semenjak kejadian tenggelamnya kapan Arman, Nina jadi membenci pantai berserta semua hal di sana. Nina enggan hadir apa pun acaranya. Bahkan saat perpisahan sekolah dasarnya yang dilaksanakan di pingggir pantai pun, Nina malah tidak hadijr da memilih berdiam diri di rumah. “Dek, sebenci-bencinya Nina sama pantai, tetap saja gak bisa ngubah kenyataan bahwa tubuh Bapak ada di sana,” ucap Nisa lembut agar tidak melukai hati Nina yang pastinya rapuh bukan main jika harus berbicara tentang hal ini. “Bukan pantainya yang salah tapi memang sudah takdir Bapak berakhir di sana. Kita gak bisa melakukan apa-apa.” “Nina tau itu, Kak,” jawab Nina berusaha menerima nasihat Nisa yang sebenarnya sudah berulang kali dia dengar. “Tapi Nina juga sudah berusaha untuk nerima kenyataan itu. Tetap aja, Nina gak bisa suka lagi sama pantai. Nina gak mau ke sana lagi.” “Tapi mau sampai kapan, Dek?” tanya Nisa yang mlai kehabisan akal da cara untuk meyakinkan hati Nina agar mau hadir di sana. “Kamu sering datang berkunjung ke makam Ibu, bawa bunga, langsung kirim doa di sana. Tapi sama Bapak, kamu malah sama sekali gak pernah.” “Nina kan tetap kirim doa sama Bapak, Kak. Lagi pula, makam Bapak juga gak bis akita lihat, kan?” tanya Nina. “samapi sekarang juga kita gak tau apa Bapak benaran meninggal di saa atau gak. Nina Cuma dengar ceritaya doang kalau kapal Bapak tenggelam karena badai, dan Bapak itu tenggelam di sana. Sudah sampai situ aja. Tapi ada yang mastikan kalau Bapak benar-benar tenggelam di sana? Ada yang lihat langsung napas Bapak udah gak ada? Ada yang bsia pastikan kalau saat tu jantung Baoak sudah berhenti berdetak? Gak ada, Kak.” Nina mulai geram dengan semua orang yang terus saja bersikukuh mengatakan bahwa sang Bapak sudah meninggal dunia. “Semua Cuma erita, tapi gak ada yang bisa pastikan kebenarannya.” “Om Tyo,” jawab Nisa yang langsung membuat Nina terdiam. “Om Tyo orang yang terahir bersama Bapak, bahkan saat mereka mengapung di atas air. Om Tyo sendiri yang embantu Bapak untuk terus kuat, tapi Bapak udah gak sanggup lagi, dan Bapak mengembuskan napas terakhirnya langsung di depan Om Tyo. Kamu sudah dengar cerita itu berulang kali kan? Tapi kenapa kamu tetap saja tidak percaya, Nin?” Nina terdiam, dia tetrunduk sedih. Ini sudah kesekian kalinya pembicaraan yang sama kembali terjadi. Dan rasa tidak percaya itu masih saja tetap sama. Nina memang pernah dibawa langsung bertemu dengan Tyo saat Nina sudah bisa mengerti segalanya. Kejadian tenggelamnya kapal itu memang terjadi saat Nina masih erusia balita, dan Nina hanya bisa mendengar se,uruh cerita dari Nisa, Aden dan juga Tyo. Bahkan dari Sang Ibu pun Nina belum sempat mendengarnya. Ratna, sang ibu keburu pergi saat Nnina masih berusa balita. Ratna terlalu cepat meninggalkannya, bahkan hanya berselang beberapa waktu saja dari kematian Bapak. Nisa mencoba meredam emosinya. Dia tidak ingin hubungannya dengan Nina renggang hanya karena pembahasan yang sama. Nisa menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan. Nina yang medengar embusan napas itu, ikut ebrusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia sadar, saat jni Nisa sedang hamil muda, dan dia tidak ingin Nisa mengalami stress akibat dirinya yang terlalu memaksakan kehendak. “Terserah kamu saja mau ke sana atau tidak, Kakak Cuma mau bilang, selama ini kamu selalu bertanya kenapa Bapak jarang datang ke mimpi kamu. bapak lebih sering datang ke mimpi kaka dan Aden. Mungkin salah satu penyebabnya karena kamu belum bisa menerima kenyataan bahwa Bapak tenggelam di pantai itu,” ucap Nisa lantas berdiri. “kakak gak akan majsa kamu lagi muklai sekarang semua keputusan ada di kedua tangan kamu. masuklah, kakak sudah buatkan makan siang untuk kamu, Dek, kakak mau istirahat dulu.” Nisa melangkah masuk meninggakan Nina yang masih duduk terdiam sendirian. Dia menatap ke gerbang rumah, ada tiga orang bodyguard di sana dan dua orang satpam yang masih begitu setia menjaga rumah sesuai perintah Adit. Nina menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan. Mencoba mencerna kalimat Nisa satu persatu, lantas memutuskan masuk ke dalam rumah sembari meninting sepasang sepatunya ke dalam dan menutup pintu dari dalam. *** Dimas baru saja selesai memerksa pasien. Sialnya, niatnya tadi pagi yang ingin pulang lebih awal, alah gagal total. Ada pasien baru yang masuk dengan Riwayat jantung coroner. Dan mau tidak mau, Dimas harus tetap di rumah mengingat dua orang dokter jantung yang ditugaskan bergiliran berjaga, salah satunya ada yang sedang melakukan operasi dan satunya lagi izin cuti karena sakiyt. Dimas memasukkan stetoskopnyya ke dalam saku jas putihnya, melangkah menyusuri koridor rumah sakit menuju lift yang akan membawanya ke lantai tiga di mana ruanganya berada. Namun baru saja tpintu lift terbuka, seorang wanita cantik tampak berdiri di dalam sembari tersenyum ramah padanya. Dimas sangat mengenalnya, namun sayangnya dia enggan bertemu lagi dengannya. Wanita yang hampir saja membuat hubungannya dengan Ameliya hancur sebelum pernikahan itu, kini kembali hadir setelah dikabarkan pergi ke Belanda dan memutuskan melanjutkan study di sana. Sebenarnya Dimas enggan masuk, namun Dimas yang ingin segera kembali pulang dan harus terlebih dulu membereskan barang dan mengambil kunci mbil di ruangannya, akhirnya masuk ke dalam lift. Pintu lift tertutup. Bergerak ke atas yang semula hanya diisi dengan keheningan antara drinya dan juga Aurelly. “Apa kabar, Dim?” tanya wanita yang bagi Dimas semakin cantik itu. “Baik, Alhamdulillah,” jawab Dimas tanpa melihatnya. “Loe kembali?” “Iya, study gue di sana udah selesai, dan gue balik ingin ngelamar di rumah sakit di Indonesia,” jawab Aurelly. “Tapi sepertinya bakalan susah kalau gue ngelamar di sini, menginga6 rumah sakit ini sekarang sudah jatuh ke tangan loe ya, Dim. Dan dengar-dengar kabar juga, istri loe juga kerja di sini, tapi lagi cuti karena hamil besar.” Dimas tertawa kecil mendengar ucapan Aurelly. Dia tidak pernah berubah, selalu saja lebih tahu dari semua orang jika menyangkut tentang Dimas. Entah dari mana dia mengetahuinya, yang pastiDimas membenci perbuatannya itu yang selalu ingin tahu tentang kehidupannya. “Gue benar, kan?” tanya Aurelly yang merasa tidak dijawab oleh Dimas. Suara pintu llift tanda sudah sampai berbunyi. Pintu terbuka, dan tanpa menjawab apa pun< Dimas langsung melangkah ke luar. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Aurelly langsung mengejarnyja dan berteriak memanggil namanya. Dimas yang tidak ingin membuat kebisingan, langsun menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Aurelly. “Gue bertanya, dan seharusnya loe ngejawab pertanyaan gue, Dim,” ucap Aurelly terkesam memaksa. “Pertanyaan yang pertama, ya … loe benar, gue gak bakalan nerima loe di rumah sakit ini di bidang apa pun. Pertanyaan kedua, ya … loe lagi-lagi benar, istri gue bekerja di sini sebagai dokter kandungan dan sekarang sedang cuti karena hamil besar. Loe puas?” tanya Dimas. “Jalau loe datang ke sini Cuma mau ngerusak hidup gue kayak dulu lagi, lebih baik loe pulang sekarang ke Belanda. Gue gak punya waktu untuk ngurusin masalah yang hampir membuat hubungan gue da Ameliya hancur.” Dimas melangkah meninggalkan Aurelly. “Kenapa istri loe gak jadi dokter jantung juga kayak loe!” teriak Aurelly yang angsung membuat langkah Dimas terhenti. “Bukannya dulu dia bilang ke gue, kalau diam au ngalahin gue dengan jadi dokter jantung agar bisa sama dengan loe? Tapi kenapa sekarang jadi dokter kandungan?” sindir Aurelly yang langsng membuat Dimas kembali berbalik dan mendekatinya. “Karena bagi istri gue, menyelamatkan seorang ibu dan anak yang baru dia lahirkan adalah hal besar yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dia ingin, bisa membawa kehidupan untuk orang banyak dengan membantu seoranng wanita melahirkan. Loe puas dengah jawaban gue sekarang?” tanya Dimas yang membuat Aurelly bungkam. “Gue gak punya waktu untuk geladenin loe. Dan tolong, jangan buat keributan di rumah sakit ini, kalau loe masih melakukannya, loe akan masuk buku daftar hitam orang yang tidak boleh hadir lagi di rumah sakiit ini dengan alasan apa pun, loe mengerti?” tanya Dimas lantas langsung berlalu pergi meninggalkan Aurelly yang tampak geram dengan sikap Dimas yang masih saja tidak menyambutnya dengan hangat. Padahal sebelum datng, Aurelly sudah membayangkan kalau Dimas akan suka bertemu dengannya, mengajaknya duduk sekedar menikmati kopi sembari mengobrol panjang. Sementara itu, Dimas yang baru saja masuk ke dalam ruangan, dikagetkan dengan hadirnya Ameliya, Zyo, Zenia dan juga Aurum. Keempatnya langsung bersorak saat Dimas masuk. Dimas benar-benar sedikit merasa panik saat itu. Di satu sisi Dimas senang melihat keluarganya datang berkunjung, namun di sisi lain kehadiran Aurelly membuatnya cemas jika Ameliya malah marah melihatnya. Dia tidak ingin Amelia berpikiran buruk tentangnya. Apa lagi dulu Ameliya sangat membenci Aurelly yang sempat berhasil memenangkan hati Doni. “Kamu kenapa, kok malah bengong?” tanya Ameliya sembari mengusap pipi kanan Dimas yang masih berdiri menatapnya kaget. “Ada apa, Dim, ada masalah?” tanya Aurum yang saat itu sedang mengendong Zenia. Sedangkan Zyo tampak duduk di kursi Dimas sembari mengerjakan tugas sekolahnya. Zyo selalu suka mengerjakan tugasnya di ruangan Dimas, entah itu di rumah sakit atau pun di rumah. Doa bisa mengerjakan segalanya sampai tuntas tanpa rewel saat duduk di kursi Dimas. “Dim,” panggil Ameliya lagi. “Ka-kamu ingat ….” Belum sempat Dimas menjawab pertanyaan Ameliya dan Aurum, pintu kembali terbuka dan terdengar suara Aurelly memanggil Dimas. Semua pasang mata langsung tertuju kepadanya. Aurelly sendiri tampak kaget saat mendapati Amelya dan Aurum ada di ruangan Dimas. Anehnya, tidak ada ekspresi segan di wajahnya. Aurelly malah langsung memanggil Aurum dan mendekatinya, meelwati Ameliya tanpa menyapanya, lantas menyalam Aurum sembari mencium pipi kanan dan kirim Aurum yang tampak jengah melihat kehadirannya. “Tante apa kabar, masih ingat Aurel, kan?” tanya Aurelly seakan tidak punya rasa malu sedikit pun. Ameliya sendiri menundukkan kepala, menarik napas panjang lantas mengembuskannjya kasar. Dimas yang mendengar hal itu, langsung menggengam tangan kanan Ameliya, yang memuat wanita cantik itu mengarahkan kembali tatapannya ke sang suami, sembari tersenyum tiis. Seolah ingi menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Namun sayangnya, Dimas bisa melihat kedua matanya ayng tampak sedih melihat Aurelly kembali hadir ke dalam hidupnya. “Om gimana kabarnya, Tan? Ish, rindulah!” ucap Aurelly setelah mendapatkan jawaban dari Aurum tentang kondisinya. Sesaat Aurum melirik ke ameliya yang sejak kedatangan Aurelly tampak diam saja Zyo sendiri langsung turun dari kursi, berlari mendekati Ameliya dan memeluknya erat, seakan mengerti bahwa sang ibu, sedang sedih saat ini. Tatapan Aurelly sesaat ke Zenia yang berada di gendongan Aurum. Diab isa menebak siapa anak bayi itu hingga membuatnya tidak ingi beramah tamah dengannya. Aurelly menarik tatapannya enggan ke arah lain, saat Zenia menjuruskan tatapan ke arahnya. “Maaf, Aurel, bisa ke luar sekarang?” tanya Aurum yang langsung mebuat semua pasang mata tertuju kepadanya. “Ada apa, Tante?” tanya Aurelly heran. “Kamu tidak lihat, kami sedang kumpul keluarga?” tanya Aurum denga nada suara datar. “Setau saya, di ruangan dokter tidak boleh masuk sembarangan tanpa izin dan buat janji terlebih dulu kecuali keluarga.” Aurum tersenyum tipis. “Dan kamu, bukan keluarga kami.” Aurelly tampak kesal mendengar ucapan Aurum yang terkesan mengusirnya secara halus. Dia tidak menyangka, sikap Aurum yang dulu ramah dan hangat dengannya, malah berubah total. Lagi-lagi bayangannya tentang sambutan hangat, hancur sudah. Dia tidak menyangka, kepulangannya ke Indonesia yang sudah dia rencanakan jauh-jauh hari, malah harus menelan pil pahit seperti ini. Aurally melirik ke Ameliya, lantas melesatkan tatapannya ke perut Ameliya yang membuncit. Aurally merasa dirinya sudah terlalu lama berada di Belanda, sampai Ameliya dan Dimas sudah punya tiga anak sekaligus. Andai saja dulu dia bisa menikah dengan Dimas, Aurelly yakin posisi AMeliya saat ini, bisa dia tempati. Dan dia yakin bersama Dimas, dia bisa hidup lebih bahagia dari pada saat Dimas bersama Ameliya saat ini. “Halo, Aurelly, kamu dengar apa yang tante bilang barusan, kan?” tanya Aurum lagi yang membuat Aurelly menghela napas kesal. “Ke luar, bisa kan?” Tanpa berkata apa pun, Aurelly langsung ke luar. Sesaat Aurelly berhenti tepat di depan Ameliya, menatapnya tajam, lantas kembali melangkah ke luar melewati Ameliya begitu saja. Ameliya memeluk Zyo yang masih memeluknya erat. Ada ketakutan di hatinya mendapati tatapan tajam dari Aurelly barusan. Seakan masalah baru akan hadir sebentar lagi, akibat kehadiran Aurellyndi antara dirinya dan juga Dimas yang baru saja hidup tenang, pasca pertengkaran antara dirinya dan juga Doni. *** Audy melepaskan lelahnya dengan duduk di sofa. seharian dirinya membereskan rumah baru bersama Adit da juga MboK Arum. Perlengkapan sudah mulai terisi, dimulai dari sofa tamu, tv dan tempat tidur, semua sudah berdatangan dan di susun rapi langsung oleh Audy. Audy sendiri tampak puas dengan hasil kreasinya. Apa lagi di bagian dapur yang sesuai keinginannnya. Ada dua dapur di rumah Audy, dapur kotor untuk Arum memasak yang terletak di ruang paling belakang, dan dapur bersih untuk Audy memasak apa pun yang ingi dia coba masak. Audy sudah mengaturnjya sedemikian rupa agar saat melihatnya, semangat untuk memasaknya langsung tumbuh tanpa ada rasa malas sediikit pun.. sedangkan Rasya, hanya menuruti keingian sang istri saja. Rasya yang baru saja mengantarkan tukang perabotan yang bersedia datang membantunya mengangkat ke depan pintu depan, langsung ikut duduk di sebelah Audy. Dia tampak lelah seharian berberes dan membantu mengangkat barang. Audy sesaat tertawa melihat sang suami di sebelahnya. Lantas kembali memejamkan kedua mata mencoba melepaskan lelah yang teramat sangat dia rasakan. “Waktunya minum teh!” seru Arum yang membuat keduanya kembali membuka mata. Terlihat dua gelas teh manis panas dengan roti kering dibawaka Arum ke atas meja. Audy yan mulai merasa lapar, langsung mengambil roti, sedangkan RAsya lebih memilih meneguk teh panas itu terlebbih dulu sekedar membasahi kerongkongannya yang kering. “Kita makan siang apa ya, Mbak?” tanya Arum sembari duduk di lantai. “Aduh, Mbok, duduk di atas aja, ngapain pakai duduk di bawah segala,” ucap Rasya yang tampak segan dengan posisi duduknya dan Arum. “Gak apa-apa, Mas, saya di sini aja,” ucap Arum. “Apa Mbok harus belanja? Atau Imana, Mbak?” Audy mengalihkan tatapannya ke Rasya, seolah meminta persetujuannya tentang lahapan makan siang kali ini. Sejak tadi, keduanya memang benar-benar lupa menyiapkan santapan makan siang akibat terlalu sibuk membereskan rumah. Audy melirik ke jam dinding yang ternyata sudah enunjukkan pukul setengah tiga siang. Rasa lapar pun sudah hadir di perutnya. Rasanya akan terlalu lama jika harus menunggu Arum belanja dan memasak makanan. “Makanan datang!!!” Sebuah seruan hadir yang memuat ketiganya langsung menoleh ke arah ruang tamu. Terlihat Yura datang sembari membawakan makanan cepat saji untuk ketiganya. Audy tersenyum lebar saat melihat MCD-lah yang dibawa Yura. Salah satu makanan cepat saji kesukaannya yang kini akan dia lahap. Dan semua berkat Yura. “Nah, pas kan pada belum akan semua,” ucap Yura yang sudah duduk d sofa depan Audy. “Ini Yura belikan makanan, kebetulan hari ini Yura keterima kerja. Ya … walau pun belum terima gaji, tapi gak apa-apalah, hitung-hitunng ngerayain sekaligus ucapan terima kasih karena selama ini sudah banyak membantu Yura.” Yura memberikannya ke Arum. “Tolong sajikan di meja akan ya, Mbok.” “Baik Mbak,” ucap Arum lantas pergi menuju ruang makan meninggalkan Yura yang tampak masih ngin mengobrol dengan Audy dan juga Rasya. “Jadi gimana tadi wawancaranya, lancar?” tanya Audy yang tampak antusias mendengar cerita dari Yura seputar ujian masuk kerjanya hari ini. “Lancar, tapi katanya ada ujian tertulis, kan?” tanya YUra yang langsung dijawab Audy dengan anggukan kepala. “Eh ternyata kagak ada. Cuma ditanya-tanyain doang, da diterima deh. Jadi gak sabar buat kerja.” “kakak kirain hari ini mulai kerjanya, eh malah pulang lebih awal kamunya,” ucapAudy sembari meraih gelasnya dan meneguk tehnya. “Yura pun mikirnya tadi gitu, tapi ternyata disuruh besok mulai masuk dan lagian, tadi gak ketemu sama Om Yoko, kata asistennya sih, Om Yoko lagi ada rapat gitu. Jadi gak bisa diajak ketemu.” “Yang penting bagus-bagus di sana, jangan kerja asal-asalan. Si Om itu kelihatannya pekerja keras dan sedikit disiplin, jangan sampai kamu malah buat dia malu dengan knerja kamu yang berantakan. Di mana lagi coba bisa dapat kerja tanpa susah payah seperti ini,” nasihat Rasya yang tampak serius didengarkan Yura. “Iya, Bang, Insha Allah Yura gak main-main lagi kali ini,” ucapnya serius. “Eh iya, makan yuk. Yura juga udah laper banget nih.” “Lha, kamu belum makan juga?” tanya Audy lantas berdiri, melangkah bersama Rasya dan Yura ke ruang makan. “Belum, biar bareng-bareng aja di rumah,” jawab Yura sembari melangkah bersama menuju ruang makan yang sudah terhidang makanan cepat saji yang sempat dia beli saat di jalan pulang tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN