“Papiii …,” jerit Zyo dan Zenia bersamaan saat baru saja tiba di ruangan Dimas. Dimas yang semula sedang mengetik sesuatu di laptopnya, langsung beranjak menyambut keduanya dan memeu=lukna secara begantian. Ameliya sendiri tersenyum, lantas menyambut Dimas yang merentangkan tangan ke arahnya brniat memeluknya.
Zyo selalu tampak antusias jika diajak ke rumah sakit. Apa lagi ke ruangan Dimas. Dengan santainya, Zyo duduk di kursi Dimas dan memainkan stetoskop milik Dimas dan berpura-pura sedang memeriksa Zenia yang berdiri di dekatnya. Dimas menggelengkan kepala sembari duduk di sofa bersama Ameliya.
“Lagi sibuk ya?” tanya Ameliya yang langsung dijawab Dimas dengan gelengan kepala.
“Baru selesai periksa pasien tadi, tapi sekarang udah selesai,” jawab Dimas sembari merangkul Ameliya yang duduk di sampingnya. “Tinggal nunggu kalian buat makan siang aja. Kelamaan sih, udah laper. Keriyuk-keriyuk cacingnya.”
Ameliya tertawa mendengarnya, mencubit perut Dimas yang membuat Dimas merintih kesakitan. Ameliya kembali tertawa yang membuat Dimas menempelkan kepalanya dengan kepala Ameliya pelan. Dimas menghela napas pelan saat ingatannya tertuju kembali ke Doni yang hadirtadi pagi menemuinya. Ameliya yang mendengar helaan napas Dimas, langsng mengalihkan pandangannya ke Dimas yang tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Ada apa?” tanya Ameliya yang merasa mulai tidak tenang melihat Dimas seperti itu. Seolah ada beban berat di pundak dan kepalanya yang dia hadapi seorang diri.
“Tadi papi datang ke sini,” ucap Dimas yang sesaat membuat Ameliya kaget, sedikit menjauh dari tubuh Dimas yang membuat lelaki itu menundukkan kepala.
“Papi datang?” tanya Ameliya dengan nada suara sengaja dipelankan agar anak-anak tidak mendengar pembicaraan keduanya. Ameliya tidak ingin Zyo kembali sedih saat mendengar sang opa hadir tanpa menemuinya.
“Sendirian atau sama mami?” tanya Ameliya lagi setelah mendapatkan jawaban anggukan dari Dimas.
“Sendirian,” jawab Dimas. “Aku gak tau jelasnya alasan papi ke sini mau ngapain, aku sempat emosi saat dia menanyakan kabar anak-anak.”
Ameliya mengerutkan keningnya mendengar kalimat Dimas terakhir, “Kamu emosi c*m gara-gara papi nanya kondisi anak-anak? Why?” tanya Ameliya tidak habis pikir.
Dimas menarik napas panjang lantas membuangnya perlahan, menahan emosinya untuk menjawab saat melihat anak-anak masih asyik bermain, seolah takut jika Zyo dan Zenia sampai mendengar akibat nada suara keduanya yang meninggi karena tidak bisa menahan emosi.
“Zyo,” panggil Dimas yang langsung membuat keduanya berhenti bermain. “Papi sama Mami mau ke luar sebentar, Zyo bisa jagain adek dulu, kan? Sebentar saja.”
Ameliya mengalihkan pandangannya ke kedua anaknya. Ameliya paham maksud dari dimas yang tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Rasanya memang tidak pantas, jika pembicaraan seperti itu terdengar anak-anak. Ameliya mencoba tersenyum saat Zyo mengallihkan pandangan ke arahnya. Ekspresi wajah Zyo seakan meminta izin dari Ameliya untuk bisa menjaga Zenia. Ekspresi yang akhir-akhir ini selalu hadir di wajahnya, semenjak Doni memarahinya dengan menyebutkan, kalau dia tidak bisa menjaga adiknya sendiri.
“Zyo boleh kok jagain Zenia, selama ini juga Zyo juga jagain Zenia kan kalau Mami masak di dapur atau kerjain pekerjaan rumah?” tanya Ameliya ddengan senyuman tulus yang langsung dijawab Zyo dengan anggukan kepala. “Mami sama Papi cuma sebentar kok, Zyo boleh mainin apa aja sama Zenia di sini, asal jangan kasih adek manjat-manjat. Oke?” tanya Ameliya.
“Oke, Mi!” SERU Zyo. “Zyo bakalan jaga adek dengan baik,” lanjutnya sembari memeluk Zenia yang dibalas Zenia dengan wajah gemas. Ameliya dan Dimas lanngsung tersenyum lega melihatnya, keduanya langsung beranjak dari tempat duduk dan pergi dari ruangan Dimas lantas menutup pintu dari luar. Ameliya melipat kedua tangannya, bersandar di dinding menatap Dimas setelah sedikit menjauh dari pintu ruangan Dimas.
“Apa maksud kamu sampai emosi cuma karena Papi nanya soal kabar anak-anak aja?” tanya Ameliya lagi yang tampak tidak senang dengan ucapan Dimas tadi. Ameliya seakan melihat Dimas tidak menyukai jika Doni sekedar bertanya tentang cucu-cucunya. Seolah Dimas ingin menjauhi atau malah menutup-nutupi semua berita tentang kedua anaknya dari kakeknya sendiri.
“Aku gak ada maksud apa-apa, Mel, aku cuma kesal karena tiba-tiba papi nanya kabar anak-anak yang dulu dia marahi, terutama Zyo! Hanya itu,” ucap Dimas mencoba membela diri. “Aku gak bermaksud apa-apa.”
“Tapi kamu seolah-olah menjauhi anak-anak kita dari kakeknya sendiri, Dim,”ucap Amelliya yang masih mencoba menekan nada suaranya agar tidak mengusik ketenangan orang lain yang ada di Lorong tempat ruangan Dimas berada. Walau pun ukan ruangan pasien dan hanya beberapa ruangan dokter, namun Ameliya juga tidak ingin merusak nama baik Dimas di mata semua rekan-rekannya.
“Kamu sadar gak dengan kalimat kamu sendiri ke Papi tadi?” tanya Ameliya lagi yang membuat Dimas tertunduk seolah menyesali semua yang dia ucapkan. “Bisa jadi tadi papi datang mau berbaikan sama kita semua, tapi melalui kamu. berharap awal berbaikan dengan kamu, bisa kembali masuk ke kita semua.” Ameliya kembali mencoba menyadarkan Dimas. “Apa yang kamu jawab saat Papi nanyain tentang anak kita, hah? Apa kamu nyakitin dia dengan kalimat kamu, Dim?”
“Aku kesal, Mel!” ucap Dimas tidak bisa lagi menahan emosinya
Sesaat keduanya terhenti. Hening seketika. Seolah membiarkan emosi berjalan melewati keduanya begitu saja. Ameliya mencoba menenangkan emosinya agar Dimas tidak terus tersulut emosi. Mencoba memahami apa yang dirasakan Dimas yang tampak geram jika mengingat apa yang sudah dilakukan sang papi dan apa yang dia ucapkan ke Zyo.
“Zyo memang bukan cucu kandung Papi, oke, itu benar!” ucap Dimas lagi dengan penekanan di nadanya agar tidak terdengar banyak orang saat berbicara langsung di depan wajah Ameliya. “Tapi bukanya dia yang sepakat lebih dulu kalau kia tidak perlu membahas hal itu lagi. Kenapa sekarang mala terus diungkit-ungkit,” ucap Dimas sembari menatap Ameliya geram,s eolah ingin melampiaskan emosinya yang tidak sepeuhnya ke luar ke Doni, kini terkena ke Ameliya yag hanya terdiam. “Aku sayang sama Zyo,” ucapnya dengan tetes air mata mengalir dari matanya. “Dia anakku, dia anak kandungku, walau pun bukan darahku yang mengalir di tubuhnya. Andai aku bisa mengganti darah itu dengan darahku, aku pasti lakukan, Mel. Tapi aku gak bisa,” ucap Dimas yang langsung membuat Ameliya sedih bukan main. Dimas yang tertunduk sedih, tanpa pikir panjang langsng dipeluk Amelita erat.
“Maafkan aku, Dim, aku minta maaf,” ucap Ameliya yag ikut menangis. “Andai aku bisa menjaga diriku waktu itu, Alea tidak akan bisa melakukan hal itu padaku. Aku minta maaf.”
“Kamu gak salah, cukup bahas itu dan cukup nyalahin diri kamu sendiri,” ucap Dimas. “Soal Papi, aku menyesal sudah mengatakan hal itu di depannya. Tapi aku benar-benar ggak bisa nahan emosiku, Mel. Aku minta maaf. Aku akan coba perbaiki semuanya.”
Ameliya melepaskan pelukannya, menghapus air mata Dmas sembari tersenyum mencoba menguatkannya yang terlihat lemah karena emosinya sendiri.
“Kamu boleh ke sana, jumpai Papi, aku gak ngelarang,” ucap Ameliya tampak tulus. “Namu tadi Mami datang ke rumah dan melarang kita bertemu dengan Papi dulu.”
“Kenapa?” tanya Dimas.
“Karena Mami mau membuat Papi kecarian. Mami mau Papi sadar kalau saat ini, dia sendirian akibat egonya sendiri.”
Dimas terdiam, membenarkan permintaan Aurum yang langsung dia katakana ke Amaeliya tentang sang papi yang keras bukan main. Doni bukan tipikal lelaki yang akan luluh jika d9bujuk. Namun dia akan sadar dengan sendirinya jika semua orang menjauh darinya, dan bukan menemaninya saat dia menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling benar daam satu kejadian.