BAB 50

2357 Kata
Aden menemui Metta yang lebih memilih istirahat di ruang UKS saat pelajaran keempat pasca waktu istirahat berakhir. Jam pelajaran pertama hingga ketiga, Metta memutuskan tidak masuk kelas. Menurut cerita yang disampaikan Nina, rasa pusing akibat benturan di hidungnya, membuat Metta tidak terlalu kuat untuk duduk lama di kelas. Metta tampak tertidur saat Aden melangkah masuk ke ruang UKS. Terlihat seorang wanta pengurus UKS sedang berberes di sana. Sesaat wanita berkaca mata yang kira-kira berusia dua puluhan tahun itu menoleh, menghentikan kegiatan berberesnya lantas mendekati metta sembari tersenyum ke Aden. “Mau lihat Metta?” tanyanya denga suara sedikit berbisik, takut jika suaranya mengusik ketenangan Metta yang sejak tadi, tertidur pulas. Aden menganggukkan kepala. Dia sedikit malu karena ketahuan datang berkunjung. Aden mengira, tidak ada siapa pun di ruang UKS saat pelajaran dimulai. Namun ternayat dirinya salah besar. Wirda ada di sana. Pekerja khusus yang berstatus dokter disalah satu rumah sakit yang ditugaskan untuk mengurus UKS saat jadwal sekolah tiba. Dokter muda yang cukup cantik dan pintar itu, memang sudah sangat kenal dengan Aden akibat statusnya sebagai ketua OSIS. Dan hal itulah yang membuat Aden malu, saat kepergok olehnya di ruang UKS. Apa lagi Nina sering meledeknya dengan menyebutkan nama Metta di depan semua orang. Termasuk di depan Wirda yang sudah lama mengira, Metta dan Aden memiliki hubunga tersembunyi. “Dia tadi sempat minum obat Pereda nyeri, jadi dia tertidur,” ucap Wirda sembari melirik ke Metta yang tidur tanpa menggunakan kaca mata. Aden ikut memusatkan pandangan. Dia tampak cantik tanpa kaca mata. Itulah yang kini terucap di hati Aden saat melihat wajah Metta tanpa alat bantu melihat yang kini tergeletak di atas meja di samping tempat tidur. “Apa dia gak apa-apa, Bu?” tanya Aden yang sebenarnya cukup khawatir. Darah yang mengalir dari hidung Metta tadi pagi, saat kejadian itu terjadi, jelas membuat Aden khawatir. Rasanya dia ingin membahas hal yang sama ke Grace yang sudah melakukan hal itu dengan tanpa perasaan. Andai saja Grace bukan seorang wanita, Aden yakin dia pasti membalasnya tanpa pikir panjang. “Dia baik-baik saja,” jawab Wirda sembari tersenyum saat tatapan Aden tertuju padanya. “Darah yang ke luar dari hidungnya tadi Cuma karena benturan saja. Tidak ada masalah serius.” “Anda yakin, Bu?” tanya Aden yang langsung dijawab Wirda dengan anggukan kepala. Aden lega bukan main mendengarnyal dia benar-benar takut jika Metta sampai mengalami pendarahan serius karena kejadian tadi. Ingatannya tertuju ke lemparan bola basket yang diterima Metta kemarin. Walau tidak ada masalh serius, namun bertubi-tubi benturan yang diterima Metta, pasti membuatnya kesakitan luar biasa. Dan bodohnya Aden, selama ini tidak sadar bahwa Metta sangat membutuhkan bantuannya untuk terhindar dari sosok musuh Bernama Grace yang begitu sanngat membencinya tanpa sebab yang jelas. “Metta ini kasihan, Den,” tambah Wirda yang ;angsung menarik kembali tatapan Ade terarah padanya. “Entah apa salahnya, dia selalu saja menderita dalam hidupnya. Gak di sekolah, gak di tempat kerjanya yang dulu, gak di rumah. Semuanya selalu menjadi tempat yang sulit baginya. Ibu kasihan lihatnya.” “Ibu mengenal Metta dekat?” tanya Aden kaget bukan main saat mendapati info itu langsung dari mulut Wirda yang kini menatapnya tak percaya. “Ya jelas saja saya tau,” jawab Wirda. “Saya ini tetangga Metta. Bahkan sebelah rumah mereka,’ jawab Wirda lagi dengan nada suara sedikit meninggi. Bukan karena emosi atau marah, melainkan unntuk sekedar meyakinkan Aden akan jawabannya. Aden benar-benar tidak menyangka, dia akan mendapatkan orang yang begitu dekat dengannya untuk bisa memberitahukannya semua tentang Metta. Dia tidak pernah menyangka kalau Wirda tetangga dekat Metta. Ada kelegaan di hati Aden saat mengetahuinya. Namun di sisi lain, Aden juga harus berhati-hati. Bisa saja Wirda juga ikut bekerja sama dengan Metta untuk menyembuyikan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya. Aden berusaha tetap tenang agar Wirda tidak curiga padanya. “Ada apa rupanya, Den?” tanya Wirda bingung. “Kenapa kayak kaget gitu pas tau saya tetangga Metta?” Aden menggelengkan kepala pelan,, “Gak apa-apa, Bu. Gak nyanngka aja kalau ibu tetanga Metta. Kok gak pernah pulang sama dari sekolah.” Aden berusaha mencari jawaban agar Wrda tidak mencurigainya. “Gimana mau pulang sama, dari sini kan saya harus ke rumah sakit lagi. Aden mengangguk pelan. Rasanya masih sangat banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke Wirda mengenai Metta. Namun dia takut Wirda malah mecurigainya dan malah mentup rapat-rapat mulutnya agar tidak membeberkan semuua. Aden berusaha menahan diri saat Wirda kembali membereskan barang-barangnya. Aden sendiri kembali fokus ke Metta. Berharap perempuan dengan plester di hidungnya kini itu bisa dia selamatkan dari semua masalah yang membelit hidupnya. “Den,” panggil Wirda yang ternyata sudah berdiri di ttempat semula sembari memegang tas tangannya. “Saya titip Metta ya. Ini ada obat untuk Metta, diminum nanti siang dan malam setelah makan. Saya ada kerjaan di rumah sakit yang gak bisa saya tolak. Bisa, kan?” Aden mengangguk cepat sembari mengambil obat dari tangan WIrda, “Baik, Bu, nanti saya sampaikan ke Metta.” Aden tersenyum tipis saat Wirda melangkah pergi meninggalkannya ke luar dari UKS. Aden memutuskan untuk duduk di kursi yang sudah ada di samping tempat tidur Metta, memutuskan untuk duduk menemani Metta sebentar. Wajah Metta begitu menenangkan saat dia lihat, dan rasanya Aden betah menemaninya hingga kedua matanya terbuka. Dia masih tidak menyangka, di balikw ajah cantik dan perilakunya yang baik, Metta mengalami banyak kejadian pahit di dalam hidupnya. Andai saja sejak lama Aden sudahs hadir di hidupnya, Aden merasa bisa menemani dan membantnya terbebas dari semua hal yang begitu menyakitinya. Metta pasti tidak akan melewatinya sendirian. Namun sayangnya, Aden baru dekat dengannya bahkan setelah dirinya sudah duduk di kelas tiga SMA. Metta bergerak yang membuat Aden kaget. Berusaha sedikit mengallihkan pandangan denngan berpura-pura melihat handphonenya yang baru saja dia keluarkan dari saku celananya saat kedua mata Metta terbuka. Mettta mengarahkan tatapannya ke Aden,, dan tampak kaget. Ingin rasanya bangkit dari tempat tidurnya, namun tubuhnya yang lemas membuatnya tak kuasa bergerak. Rasa pusing masih hadir di kepalanya yang membuat Metta memutuskan untuk kembali berbaring, menyapukan pandangan ke sekeliling seolah mencari sesuatu yang hilang dari pandangannya. “Bu Wirda mana?” tanya Metta akhirnya membuka suara. “Bu Wirda kr rumah sakit, ada kerjaan mendadak yang harus dia tangani,” jawab Aden, lantas memberikan obat yang dititipkan Wirda padanya. “Inia da obat dari beliau, diminum siang dan malam setelah makan. Jangan sampai enggak.” Aden memberikannya ke tangan Metta dengan sikap malu-malu. Aden beranjak dari kursinya, dan berniat pergi menninggalkan Metta. Namun suara Metta yang menyerukan namanya, membbuat Aden terhenti dan beralik saat berada di depan pintu UKS. “Terima kasih banyak ya atas pertolongannya,” ucap Metta dengan senyuman tulus yang membuat hati Aden tergugah melihatnya. Sesaat Aden terpaku. Ada rasa sakitd ari senyuman Metta yang seolah bisa dia rasakan. Ada luka yang teramat dalam dan kesedihan yang begitu besar dirasakan Metta. Namun Aden yang sadar kalau dirinya terlalu lama diam, langsung tersentak dan kembali berpamitan lantas pergi meninggalkan Metta yang kiini menatap obat di tangannya dengan tatapan sendu. *** Atas keinginan Nisa yang ingin berkunnjung ke pantai d mana sang ayah menembuskan napas terakhirnya. Akhirnya Adit memutuskan tidak bekerja hari ini. Nisa yang merasa sudah cukup lama tidak mengunjungi pantai, membuatnya cukup merasa rindu yang teramat sangat di relung hatinya. Sudah cukup lama kejadian tenggelamnya kapal sang bapak terjadi, dan hingga kini tidak pernah ada kabar berita tubuh sang bapa di temukan. Baik dalam keadaan utuh, mau pun hanya tersisa selembar pakaian yang dia kenaka. Walau pun harapan itu sudah tidak ada lagi, namun sejujurnya Nisa masih sangat berharap sang bapak bosa ditemukan. Dan harapan itu masih bisa terlihat jelas oleh Adit yang kini sudah dduk di salah satu pondok di pinggir pantai. Nisa menatap send uke pantai lepas. Omak yang bergulung-gulung terasa begitu menyakitkan untuk Nisa llihat, hingga membuat air matanya kembali menetes. Dengan sentuhan lembut, ADit menghapus setetes air matai utu yang berhasil menarik tatapan Nisa ke arahnya. “Aku baik-baik aja,” ucap Nisa tanpa ditanya terlebih dulu. “Aku tau itu,” balas Adit sembari tersenyum. Nisa menarik napas panjang lantas mengembubskannya perlahan. Semua masih terasa nyata baginya. Dirinya yang datang menunggu kepulangan kapal yang membawa sebagaian nelayan dengan hasil penangkapan ikan yang luar biasa hampir setiap minggu. Namun yang dinanti Nisa kala ittu, tak kunjung mendarat. Senyuman pria yang menjadi tolak ukurya mendapatkan suami, tak kunjung kembali menginjakkan tanah. Dia memilih menyatu denga air laut yang dingin menusuk tulang. Dan hal itulah yang berhasil memporak porandakan kondisi rumahnya, bukan hanya kapal yang dinaiki sang bapak. “Kau tau, Dit, sampai saat ini aku masih berharap bapak bisa pulang kembali,” ucap Nisa dengan nada suara sendu. Ada getaran di nada suaranya yang menandakan bahwa Nisa berusaha keras menahan tangisannya untuk tetap tersenyum. “Bapak berjanji padaku, untuk pulang membawakan uang agar adik-adik bisa sekkolah. Aden tidak bekerja lagi dan aku bisa menambah barang jualanku, dengan kata lain bapak ingin menambahkan modal untukku. Tapi bapak malah ingkar janji,” ucap Nisa lagi. “Dia malah membawa semua cita-citanya itu bersamanya di sana. Walau pun semua uang yang dia peroleh, bsisa kami dapatkan melali salah satu temannya yang selamat, tapi rasanya semua itu gak ada arinya tanpa bapak kembali.” Nisa tertunduk sedih. ADit yang mengerti perasan Nisa, langsunng mengusap kepala sang istri yang malah membuat air mata nisa semakin menetes deras. “Aku gak percaya, lambaian tangan dari bapak saat dia pergi waktu itu, adalah lambaia tangan terakhir dari dia. Andai saja saat itu aku tau, mungkin aku akan enahannnya untuk tidak pergi. Sayangnya kami sema buta melihat tanda-tanda kepergiannya untuk selamana.” Adit langsung memeluk Nisa erat. Tangisan Nisa pecah di dalam pelukan sang suami. Adit tidak menyangka, luka itu masih begitu besar dirasakan Nisa dalam hatinya. Adit mengira Nisa sudah sembuh dan bisa meneeima semua takdir yang harus dia lewati bertiga bersama Aden dan Nina. Tawa canda ketiganya, berhasil menutupi kesedihan ketiganya aka rasa tidak terima dengan kematian sang bapak yang secara tiba-tiba. Adit semakin mempererat pelukannya dengan tatapan terarah ke pantai. “Jangan dibahas lagi ya,” pinta Adit. “Semua sudah belalu dan gak mungki bisa kembali lagi untuk kita perbaiki.” Nisa mencoba menghentikan tangisannya, menjauhkan tubuhnya dari pelukan Adit lantas menghapus sisa air mata yang membekas di kedua pipi. Adit membantunya dan kembali tersenyum saat senyuman Nisa terkembang di bibirnya. “Sayangnya kamu belum sempat bertemu dengan bapak ya,” ucap Nisa yang hanya dijawab Adit dengan anggukan kepala. “Aku yakin, kamu dan bapak bisa akrab dan mengobrol panjang saat duduk sambil ngopi di rumah.” Adit tertawa mendengarnya, “Sambil main catur juga?” tanya Adit yang berhasil membuat Nisa kaget. “Kamu kok tau bapak suka main catur?” tanya Nisa kaget. “Padahal aku gak pernah bilang atau pun cerita ke kamu tentang hobby bapak yang satu itu. Dari mana kamu tau, Dit?” Adit kembali tetawa, “Dari Aden,” jawab Adit yang berhasil membuat Nisa mengangguk tanda mengerti. “Aden kemarin ngeluarin papan catur dari kotak penyimpanan barang-baranngnya yang dia letak di Gudang, terus kebetulan aku lewat da ikut banttu. Pas dapat papan catur. Aden langsung cerita kalau itu milik apak. Dia juga certa kalau bapak sangat suka main catur. Bahkan bisa main catur sendirian aja sampai pagi.” Nisa menganggukkan kepala. Apa yang diceritakan Aden memang ada benarnya, sang bapak bisa lupa waktu setiap kali papan catur ada di hadapannya. Bahkan untul waktu makan da tidr pun dia sampai lupa. Namun anehnya, dia tidak lupa dengan waktu shala, da segera bergegas ke masjid setiap kali adzan berkumandang. Nisa tersenyum tipis mengingat kebbiasaan bapak yang selalu saja terburu-buru ke masjid hingga terkadang lupa mengikat sarung yang dia kenakan. Alhasil sarung itu melorot dan membuat satu rumah tertawa terpingkal-pingkal. Terutama Ibu. Semua kenangan itu benar-benar membekas di relung hati NIsa. Bahkan suara tawa setiap orang masih terdengar jelas di telinga. Suara renyah Aden waktu kecil, suara Nina yang menangis, tawa ibu dan suara ibu memanggil namanya, serta semua nasihat-nasihat bijak dari sang bapak. Semuanya terekam jelas di memori Nisa. Dia benar-benar merindukannya. Andai bisa dikasih kesempatan sekali saja, Nisa ingin mengulang semua momen indah itu ersama keluarga kecilnya. “Kak Nisa!” Sebuah seruan membuat Nisa dan Adit menoleh. Ada seorang gadis cantik d belakang Nisa yang kira-kira berusia sama seperti Aden. Rambutnya dia egrai panjang sepingganng, senyumannya manis dengan stelan pakaian yang begitu modis. Sepatu kets putih yang dia kenakan, semakin membuatnya tampak bak seorang model. Nisa mengerutkan kening saat perempuan cantik itu datang mendekatinaya dengan senyuman lebar. “Kakak masiah ingat aku, kan?” tanyanya lagi yang jelas saja membuat Nisa memutar otak tentang siapa gerangan. “Maaf. Dek, kakak lupa. Kamu siapa ya?” tanya Nisa berusaha membalas senyuman, walau senyuman yang dia keluarkan tampak ragu. “Aku Tiara, Kak. Teman Aden waktu sekolah dasar dulu!” serunya yang membuat Nisa kaget bukan main. Nisa yang baru ingat, langsung memeluknyja erat. Dia tidak menyangka bbisa bertemu dengan Tiara yang dulu digadang-gadanng sebagai pacar Aden waktu dduk di sekolah dasar. Nisa langsng mengenalkannya pada Adit. Dengan sopan, Tiara berjabat tangan denga Adit da mencium punggung tangan ADit lanats melepaskannya kembali. “Aden sehat kan, Kak?” tanya Tiara. “Sehat, alhamdulillah. Kamu dari mana aja kok baru ketemu lagi,” ucap Nisa yang masih tidak menyangka bisa bertemu Tiara di sini. “Aku lanjurin sekolah di german, Kak, dan ini baru pulang,” jawab Tiara. “Aku ingin ketemu sama Aden, boleh, Kak?” “Sekarang?” Tiara menggelengkan kepala, “Hari ini akua da acara. Kak. Gimana kalau besok?” tanya Tara. “Aku boleh minta nomor kakak ya?” Nisa langsung meberikan nomornya ke Tiara yang dengan cepat mencatatnya, “Itu nomr bang Adit, kakak gak punya handphone.” “Iya, Kak, gak apa-apa,” jawab Tiara. “Tapi jangan bilang-bilang Aden dulu ya, Kak, kalau kita ketemu. Tiara mau ngasih kejutan!” “Oke,” jawab Nisa yang langsung membuat Tiara tersenyum lebar. Sementara ADit sendiri, dia terdiam saat mednengar Nisa lagi-lagi mengatakan bahwa dia tidak memiliki handphone. Dia merasa bersalah karena sampai detik ini, belum jugua mengganti handphone NIsa yang sempat rusak kemarin. Adit tersenyumtipis saat ide cemerlang hadir di kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN