BAB 54

1653 Kata
“Kamu ke rumah sakit jiwa? Ngapain?” tanya Nisa saat malamnya Adit menceritakan segalanya. Awalnya Adit tidak ingin melakukannya namun ada rasa bersalah di hatinya yang membuatnya terus menerus tersiksa. Bahkan melihat wajah Nisa saja Adit tidak bisa. Akhirnya Adit menceritakan segalanya saat keduanya ingin tidur di malam hari. Nisa sudah sewajarna marah mengingat selama ini, Nisalah yang melarangnya keras untuk datang menemui Alea walau hanya sekedar berkunjung. Bagi Nisa, masa lalu sudah harus ditutup. Traumanya yang cukup lama disembuhkan hingga membuat Nisa sempat menemui psikiater, membuatnya melarang keras Adit untuk ke sana. Adit kini hanya tertunduk pasrah saat Nisa memarahinya akibat perbuatannya tadi siang. “Kan udah aku bilang, jangan ke sana, jangan coba-coba buka lagi masa lalu kita. Kamu gak ingat karena Alealah kita kehilangan anak kita?” tanya Nisa lagi yang hanya membuat Adit bungkam. Ada getaran di nada suara Nisa yang memnuat Adit semakin menyesali perbuatannya. Nisa ada benarnya, apa yang dia lakukan tadi siang bisa saja menjadi awal mula masalah hadir di hidupnya dan juga pernikahannya bersama Nisa. Andai saja Adit bertanya terlebih dulu dengan Nisa sebelum memutuskan hadir di sana, mungkin saja kejadian malam ini tidak akan pernah terjadi. Nisa dan dirinya bisa mengobrol santai tentang berbagai hal sebelum tidur seperti biasanya. “Maaf,” ucap Adit. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Nisa yang masih duduk di hadapannya, tampak menghela napas kesal. Berulang kali dia mengusap perutnya, dia takut nada suaranya membuat sang calon bagi kaget. Adit yang melihatnya, berusaha tetap tenang agar tidak terus menerus memancing emosi Nisa. “Jangan marah terus ya, ingat kamu sedang mengandung,” ucap Adit cemas. “Siapa coba yang gak marah, kamu ngelakuin sesuatu yang sudah aku larang keras buat dilakuin. Seharusnya kamu gak kayak gitu, Dit. Tapi tetap aja, kamu gak pernah mau dengar apa kata aku.” Nisa meluapkan kekesalannya. “Bahaya bisa kapan saja datang kalau sudah berurusan dengan Alea. Kamu sudah bertahun-tahun bersinggungan dulu dengan dia, sekarang mau coba lagi? Kamu gak kapok?” tanya Nisa kesal bukan main. “Enggak gitu, Nis. Aku gak bermaksud cari masalah. Aku hanya penasaran gimana kabar Alea saat ini.” “Terus setelah tau, kamu mau apa?” tanya Nisa. “Mau nyuruh dia ganggu hidup kita lagi, gitu? Atau mau nolongin dia untuk sembuh?” tnya Njsa bertubi-tubi. “Dia bukan manusia, Dit, dia seperti malaikat maut buat hidup kita.” “Nis, ampun, iya-iya aku salah, aku minta maaf,” ucap Adit takut saat Nisa memegang perutnya. “Sakit? Ada yang sakit, Nis?” Nisa menggelengkan kepalanya, menyandarkan tubuhny di kepala tempat tidur sembari mengatur napasnya. “Jangan seperti itu, Dit, itu sama aja kamu megancam kehidupan anak kamu dan aku.” Nisa kembali berusaha memberikan pengertian pada Adit. “Kita udah tenang sekarang dengan jalan hidup masing-masing, udah, jangan lagu diusik-usik hal yang sudah ada di fempatnya.” “Iya aku minta maaf ya?” pinta Adit yang hanya dijawab Nisa dengan anggukan kepala. “Aku gak sempat bertemu dengan Alea kok. Aku hanya ngobrol dengan suster di depan. Bahkan aku gak sebut nama asli.” “Kenapa?” tanya Nisa lagi. “Aku takut, karena sebelumnya aku dengar kabar via telepon dari dokter Eko, kalau selama ini adiknya Alealah yang menjaganya di rumh sakit. Rachel, itu namanya. Kamu kenal?” tanya Adit yang sesaat mwmbuat Nisa mengerutkan kening, namun tiba-tiba Nisa menganggukkan kepala. “Aku ingat,” jawab Nisa. “Dulu saat aku dan Alea satu sekolah di sekolah dasar, adiknya itu sekolah di Taman Kanak-kanak di tempat kami bersekolah. Alea selalu menunggu adiknya itu pulang sekolah, baru setelah itu mereka pulang ke rumah sama-sama.” Nisa mencoba mengingat setiap kejadian di ada kecilnya. “Aku ingat banget namanya Rachel. Dia sering panggil adiknya dengan nama Acel. Adiknya cantik, rambutnya lurus sebahu.” Adit menganggukkan kepala. Dia baru ingat kalau Nisa dulu sempat satu sekolah dengan Alea. Dan ternyata dugaannya semula tentang Alea yang memiliki seorang adik, tepat sasaran. Beruntungnya Adit tidak sempat bertemu denganya. Dan lebih beruntungnya Adt saat mengingat dia mengganti namanya saat suster Neni itu bertanya tentang siapa namanya. “Kamu gak bertemu dengannya, kan?” tanya Nisa sekedar memastikan. Adit menggelengkan kepala, “Aku belum sempat ketemu. Aku buru-buru balik karena takut kepergok adiknya Alea itu.” Nisa menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan. Dia sendiri tidak tahu sebenarya tentang Rachel. Dia hanya sering melihat Rachel dulu, tapi tidak pernah Berbicara apa lagi mengobrol dengannya. “Dan ternyata, semua orang di rumah sakit sampai Rachel sendiri taunya, Raymond sudah meninggal akibat tembakan Alea waktu itu,” tambah Adit lagi yang membuat Nisa tidak percaya mendegarnya. “Kamu serius mereka tidak ada yang tau kalau Raymond masih hidup?” tanya Nisa yang langsung dijawab Adit dengan anggukan kepala. “Suster Neni itu yang cerita sama aku, dan dia bilang salah satu penyebab Alea seprti ini adalah karena rasa bersalahnya akibat tanpa sengaja menembak Raymond hingga tewas. Mungkin kalau Alea sampai tau Raymond ternyata masih hidup, aku yakin dia akan sembuh dan lebih memilih hidup bersama Raymond.” “Atau dia akan mengusik kita lagi seperti dulu,” tambah Nisa yang membuat Adit bungkam. “Dia Alea, Dit, ingat, Alea. Dia tidak akan bisa hidup tenang tanpa mengusik hidup kita. Kamu harus ingat itu, Sayang.” “Iya, aku salah. Aku minta maaf ya.” Nisa menghela napas, “kamu ini, gak ada jeranya. Kalau sampai Ameliya tau, aku yakin pun Ameliya akan marah sama kamu.” Nisa menggelengkan kepala. Memutuskan untuk tidur dan menarik selimutnya. Dia tampak kesal mengobrol dengan Adit malam ini. Sikap Adit yang bertindak seenaknya, membuatnya enggan kembali mengobrol dan memperpanjang pembahasan. Adit yang melihat sang istri sudah terpejam, membuatnya menghela napas pelan, memutuskan untuk mematikan lampu dan ikut berbaring walau belum bisa memejamkan kedua matanya. * Akhirnya Metta hadir sesuai janji. Ameliya yang sudah duduk di hadapannya bersama Nina, tersenyum tipis saat melihat Aden duduk di samping Metta seolah menemanimya. Metta sendiri tampak gugup di hadapan Ameliya. Berulang kali Ameliya memintanya untuk tetap santai saat berhadapan dengannya. Namun Metta tdtap saja tidak bisa menutupi kegugupannya. Ameliya sebenarnya sangat menyukai sosoknya. Cara Metta menjawab pertanyaannya, membuat Ameliya sangat menyukainya. Metta begitu lembut, hingga membuat Ameliya mempercayainya untuk menjaga ketiga anaknya. Apa lagi sejak tad, Metta sama sekali tidak bertanya te gang gaji yang dia Terima, hal itu semakin membuat Ameliya bisa mengambil kesimpulan kalau Metta tulus menjaga anak-anaknya. Bukan hanya sekedar mengharapkan gaji semata. “Kalau begitu, saya terima,” ucap Ameliya yang langsung membuat Metta senang bukan main. Dia tersenyum lebar, dan senyumannya membuat Ameliya membenarkan ucapan Aden dan Nina kalau Metta anak lah gadis yang manis. “Kapan kamu bisa mulai kerja, Met?” tanya Ameliya lagi. “Kapan aja boleh, Bu, sekarang juga,” jawab Metta cepat. “Jangan panggil saya ibu, panggil aja kakak,” ucap Ameliya. “Kalau bisa sekarang sih, sekedar perkenalan aja dan ngasih tau beberapa hal menyangkut rumah ini dan kedua anak saya. Apa saja yang mereka sukai dan tidak sukai. Tapi santai aja, kalau kamu gak bisa juga gak apa-apa. Saya gak akan maksa kamu, Met.” “Gak apa-apa kok, Kak. Sekarang juga boleh. Lebih cepat lebih baik,” jawab Metta seakan tak sabar untuk bisa memulai pekerjaannya. “Ibu kamu gimana, Kak? Nanti dia kecarian,” tanya Nina ikut nimbrung. Metta menggelengkan kepala, “Ibu sudah tau kalau hari ini aku mulai kerja. Jadi dia gak akan kecarian juga.” Metta tersenyum tipis. “maaf, Kak, sebelumnya, Metta boleh numpang kamar mandi gak ya?” “Eh, boleh dong, itu sana jalan aja ke belakang, nanti ada pintu warna coklat, itu pintu kamar mandi. Kalau gak nemu, tanya aja sama Mbok Sumi ya.” Metta menganggukkan kepala, lantas berlalu pergi dari hadapan semua orang. Ameliya langsung menjuruskan tatapan ke Aden yang sejak tadi asyik bermain game di handphonenya. Nina melemparkan tissue kering yang sudah dia remuk ke Aden yang membuat cowok tampan itu sempat kaget karena nya. “Main game terus, bukannya di dengarin orang ngobrol tadi,” sindir Nina kesal bukan main. “Obrolan dewasa, aku kan masih remaja,” ucap Aden yang berhasil membuat Ameliya tertawa mendengarnya. “Soal jam kerja, apa gak dibicarakan, Kak? Mengingat jadwal kami kadang suka ada pelajaran tambahan. Maklum kelas tiga.” “Soal itu gak perlu khawatir. Kakak malah pengennya Metta bisa nginap di sini aja dan balik ke rumah saat weekend tiba. Cuma kira-kira Metta mau gak ya?” “Metta mau kok, Kak,” jawab Metta yang tiba-tiba hadir dan kembali duduk di kursinya semula. “Metta mau, Kak, gak masalah. Tadi Ibu juga nanya, apa gak nginap saja, soalnya jarak dari rumah ke sini cukup jauh. Cuma Metta gak berani nanya ke kakak, karena takut gak sopan.” Ameliya tertawa mendengarnya. Dirinya malah menginginkan Metta untuk tinggal bersamanya. Dan ternyata Metta pun menyetujuinya, dan hal itu jelas membuat Ameliya lega bukan main. “Jadi kapan kamu bisa pindah ke sini, Met?” tanya Ameliya yang tampak tidak sabar dengan teman barunya di rumah itu. “Malam ini Metta minta izin untuk pulang dulu ya, Kak. Metta gak ada persiapan. Besok Metta bakalan datang lagi buat tinggal. Boleh kan, Kak?” tanya Metta yang langsung dijawab Ameliya dengan anggukan kepala. “Kalau gitu, yuk kakak ajak kamu keliling, biar tau situasi rumah kakak seperti apa, sekalian kakak kenalkan sama Zyo dan juga Zenia.” Metta mengangguk cepat, beranjak berdiri lantas mengikuti Ameliya melangkah meninggalkan ruang tamu. Nina yang masih duduk di hadapan Aden, kembali melemparna dengan tissue yang membuat Aden kesal bukan main. “Jaga sikap, jangan macam-macam mentang-mentang Metta tinggal di sini,” ucap Metta sekedar mengingatkan. “Bising!” seru Aden yang langsung membuat Nina beranjak dari tempat duduknya mengikuti Ameliya dan juga Metta. Aden tersenyum lega mendengar keputusan yang diambil Ameliya. Aden merasa, dengan tinggal di sini bisa membuat Metta terselamatkan dari sang Bapak yang hingga kini, belum mau dibicarakan Metta kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN