Chapter 2. Berpulangnya sang Ibu

1242 Kata
Selepas Shalat subuh Aisyah dikagetkan oleh ketukan yang tidak sabaran dari arah pintunya. Dengan masih memakai mukenanya dia berlari dengan menjinjing bawah mukenanya supaya tidak terinjak kakinya. "Isah, ibumu ... Ibumu nak," seru Ayahnya dengan badan gemetar dan wajah bingungnya. "Ayah, ayah yang tenang, ibu kenapa?" tanya Aisyah lembut. "Ibumu meninggal Isah," kata Ayahnya sambil terduduk lemas. Aisyah memeluk kaki ayahnya yang terlipat. Wajah ayahnya tenggelam di dalam lipatan kakinya. "Innalillahi wainna ilaihi rajiun," gumam Aisyah pilu, air matanya menetes, tapi hatinya menerima takdir Allah dengan ikhlas. Sejatinya manusia itu milik Allah kapan pun Allah menghendakinya kembali maka tidak ada yang bisa menghalangi. "Ayah yang sabar, ayah harus ikhlaskan ibu biar jalan ibu menjadi ringan," kata Aisyah lembut membelai punggung ayahnya pelan. "Jangan membuat ibu tersiksa dengan ketidak ikhlaskan kita ayah, kasihan ibu," kata Aisyah lagi menyadarkan H. Mansyur akan ketetapan Allah. "Astaghfirullah," gumamnya sambil mengusap wajahnya kasar. "Ayah urus semua kebutuhan untuk mengantar kepergian ibu," kata Aisyah lagi, "yang ibu butuhkan adalah doa kita yah, bukan air mata." Ayahnya mengangguk dan menepuk bahu Aisyah sekilas. "Ayah bangga padamu nak," kata Ayah Aisyah sambil berjalan keluar mengumumkan kematian istrinya dan mempersiapkan semua keperluan untuk mengantar jenazah istri tercintanya. "Mas ... Mas ...," panggil Aisyah kepada lelaki yang kemarin sudah sah menjadi suaminya. Lelaki itu hanya bergumam. Aisyah menggoyang bahu Adimas pelan, tapi lelaki itu malah menutup wajahnya dengan selimut. Kesedihan pertama di hati Aisyah. Dia butuh suaminya untuk menopang tubuhnya. Menguatkan hatinya. Tapi seseorang yang kini dipanggilnya suami lebih memilih bergelung dalam selimut, daripada mendengarkan panggilan sang istri. Air matanya menetes, bukan hanya karena kehilangan sang ibu tapi sekarang dirinya sadar suaminya tidak terlalu memperdulikannya. Mana janjinya semalam yang akan memulai semuanya dari awal, dan menjadikannya teman dalam hidupnya. Apa ini arti teman bagi suaminya? Aisyah menuliskan memo dan ditaruhnya di atas nakas. Berharap suaminya akan membacanya dan segera turun ke bawah. Aisyah sangat mengkhawatirkan ayahnya, Aisyah segera bergegas turun setelah merapikan penampilannya. Sebelum menutup pintu dia menatap ke arah suaminya yang masih terlelap dalam mimpi. Hatinya miris menatap sang suami. Lelaki itu tidak bergeming sedikit pun, ingin rasanya Aisyah berteriak memanggil nama suaminya. Aisyah menghela nafas pelan, dia menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Di bawah sudah berkumpul sanak saudaranya. Ayah tampak terduduk di samping jenazah ibu yang baru akan dimandikan. Aisyah berniat membantu keluarganya untuk memandikan sang ibu sebagai bentuk baktinya terakhir kali. "Jangan nduk, kamu kan barusan jadi nganten," kata Bu lik Marni dengan logat Jawanya yang masih kental, mungkin karena Bu lik yang memang tinggal di Kediri jadi ya logatnya medok. "Tidak Bu lik, ini terakhir kali Isah bisa berbakti untuk ibu, tolong ijinkan Aisyah ikut memandikan ibu," kata Aisyah penuh permohonan, matanya berkaca-kaca penuh haru. "Yo wes ayo nduk," kata Bu lik tidak tega denganku. Kami pun membopong tubuh ibu untuk dimandikan. Prosesinya terbilang lancar, kini ibu di kafani oleh modin perempuan. Seseorang yang bertanggung jawab untuk memandikan dan mengafani mayat. Disesuaikan dengan jenis kelamin mayat, jika laki-laki modinnya laki-laki begitu pun sebaliknya jika wanita maka modinnya juga wanita. Pelayat sudah berdatangan memberi kami ucapan berbela sungkawa, dan sebagai putrinya aku meminta mereka mau memaafkan semua dosa ibuku. Kalian tahu saat ibuku sudah dikafanipun suami-ku  belum juga turun. Sedang keluarganya ponsel mereka tidak bisa dihubungi, apa mereka sudah pulang ke Jakarta ya? Aku beranjak untuk membangunkannya lagi. Aku merasa jengah karena dari tadi keluargaku bertanya keberadaan suamiku dan keluarganya. Aku menghela nafas kasar saat melihatnya malah asyik bermain handphone. "Mas kupikir kau masih tidur, kenapa tidak juga turun?" tanyaku sedikit menahan lidahku supaya tidak berteriak. "Eh maaf sayang aku baru saja terbangun, saat aku melihat memomu aku berpikir hendak mengabari orang tuaku, tapi ponsel mereka tidak bisa dihubungi, di sini sinyalnya tidak bagus ya?" jawabannya seketika membuatku merasa bersalah karena sudah berpikiran buruk kepadanya. "Maafkan aku mas, kupikir kau tidak menghargai meninggalnya ibuku malah asik bermain ponsel," kata Aisyah penuh penyesalan. "Tidak apa-apa sayang, itu karena kamu sedang bersedih," katanya lembut, "aku mandi dulu baru aku turun, bisa kau siapkan pakaianku?" Aisyah hanya mengangguk patuh. Adimas memasuki kamar mandi setelah menerima handuk dari sang istri. Aisyah meletakkan baju ganti suaminya, dan segera beranjak ke luar kamar. Sebelum Aisyah membuka pintu, ponsel suaminya berbunyi. Dia menghampiri berniat memberi tahu sang suami, barangkali itu dari orang tuanya. Tapi notifikasi yang muncul membuatnya terkesiap. Rahasia apa yang kau sembunyikan mas? Siapa sebenarnya dirimu, suamiku? Apa sebenarnya motifmu menikahiku? Apa ini yang membuatku merasa kau penuh misteri. Perasaanku semakin tidak karuan, pikiran burukku kembali menguasai pikiranku. 'Ya Allah aku hanya berserah diri hanya kepada-Mu dari keburukan suamiku. Lindungilah hamba-Mu Ya Allah.' Dengan pikiran yang masih berkecamuk Aisyah memilih keluar dari kamar dan mengembalikan ponsel ke tempat semula. Siapa wanita itu? Apa itu kekasihnya? Jika iya, kenapa kau menikahiku mas? Apa yang kau sembunyikan? Kenapa isi pesannya seperti itu? Perasaan Aisyah sangat kacau. *** Aisyah terduduk di samping makam ibunya, mengusap nisan itu dengan lembut. Semua pelayat sudah pulang yang tertinggal hanya keluarga inti. “Ya Allah ampunilah ibuku, dan kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan ampunilah dosa kesalahannya, hormatilah kedatangannya, luaskanlah tempat tinggalnya, bersihkanlah dia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah dia dari segala dosa sebagaimana kain putih yang bersih dari segala kotoran dan gantikanlah baginya rumah yang lebih baik daripada rumahnya yang dahulu, dan gantikanlah ahli keluarga yang lebih baik daripada ahli keluarganya yang dahulu, dan gantikanlah pasangan yang lebih baik dari pada pasangannya yang dahulu dan masukkanlah dia ke syurga dan peliharalah ia dari siksa kubur serta azab api neraka...Amiin,” doa Aisyah buat sang ibu yang berpulang ke rumah Allah. Semua keluarga sudah pulang satu persatu setelah memberi kekuatan kepada H. Mansyur. Kini tinggal H. Mansyur, Husein kakak Aisyah beserta Hindun istrinya, ada Aisyah dan Adimas yang dengan setia menemaninya. *** "Aisyah ini sudah seminggu kau di sini, kasihan suamimu nak di Jakarta dia pasti ada kerjaan yang harus dikerjakannya kalian bisa pulang ke kota," kata sang Ayah lembut kepada Aisyah , dia tidak bermaksud mengusir Aisyah tapi dirinya merasa tidak enak dengan menantu barunya itu. Pasalnya mereka baru saja menikah, bukannya menikmati bulan madu mereka malah terjebak di sini dengan suasana penuh duka. "Mas Adimas memang rencana mau pulang besok yah, tapi aku sudah meminta ijin padanya untuk tetap tinggal sampai empat puluh hatinya ibu ya," kata Aisyah meminta ayahnya mengizinkannya tetap di sini. "Apa itu benar Mas?" tanya H. Mansyur kepada menantunya itu. "Itu benar Yah, dan saya memang mengizinkannya, nanti empat puluh harinya ibu, saya ke Banjarmasin lagi untuk ikut memperingati empat puluh harinya ibu sekaligus menjemput Aisyah," kata Adimas dengan sopan. Itulah yang membuat Mansyur menerima pinangan Adimas tanpa mencari tahu latar belakang Adimas. Sesuatu yang nantinya teramat disesalinya. Sesungguhnya sudah tugas seorang ayah untuk memastikan calon menantunya. Apa lelaki itu memang layak untuk menjaga dan menikahi putri mereka. Banyak hal yang harus dipastikan sang ayah sampai dirinya menyerahkan seorang putri kepada seorang lelaki. Hal yang tidak dilakukan oleh H. Mansyur. Dirinya hanya berbekal cerita dari lelaki itu dan juga orang tua lelaki itu. Tanpa mencari tahu apa benar cerita mereka itu. Bagaimana bisa seorang ayah mempercayakan anak gadis kesayangannya kepada lelaki yang asing baginya. Hanya berbekal sikap ramah dan sopan lelaki itu. Padahal banyak orang yang berpura-pura baik padahal mereka penipu! Wahai para ayah yang ingin menerima pinangan seorang lelaki, pastikan dahulu agamanya, keimanannya, akhlaknya, kekayaannya, keluarganya, dan yang tak kalah penting statusnya sudah menikah atau belum? Insya Allah jika semua sudah kalian lakukan maka kebahagiaan anak kalian adalah jawabannya. Insya Allah....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN