2- Dering Telepon

1077 Kata
Argan pulang ke kos dengan wajah lesu. Kini ia memikirkan tentang nasibnya ke depan. Tentang bagaimana ia memenuhi biaya hidupnya di Jakarta, sedangkan segala kebutuhan di ibu kota Indonesia itu sangat mahal. Ponsel Argan berdering nyaring. Ia lagi- lagi menatapnya dengan lesu. Pemuda itu sekarang seperti tidak mempunyai gairah hidup. "Halo?" Argan menatap gang sempit di depannya, ia tengah berjalan menuju kos- kosannya. "Halo, Gan." Suara teduh di sebrang sana membuat Argan langsung menegakkan punggungnya. Suara lembut nan teduh itu adalah suara ibunya. Dengan cepat Argan ubah ekspresi dan nada bicaranya. Ia bahkan mencoba tersenyum makin lebar. "Halo, Ibu?" sapanya lagi. Ia menunggu ibunya kembali berbicara. Ibunya di sebrang sana terkekeh mendengar suara Argan. "Kamu gimana kabarnya, Nak? Sehat?" tanyanya. Argan tersenyum sedih. Dari suaranya mungkin ibunya tampak baik- baik saja, tetapi ia tahu kalau ibunya sangat merindukannya. Mereka sudah tidak bertemu sejak Argan pertama kali ke Jakarta untuk menimba ilmu. Sudah dua tahun lamanya. Bahkan untuk ia pulang ke kampung halamannya di Jawa pun, Argan tidak mempunyai sisa uang lagi. "Baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya?" tanyanya balik mencoba tersenyum. Lalu diam- diam berdoa dalam hati, berharap jawaban sang ibu sesuai dengan ekspektasinya. Ibunya terkekeh. Argan yakin senyumnya merekah di ujung sana. "Baik. Alhamdulillah." Argan tersenyum dalam diam. Kemudian terus melangkah menyusuri gang sempit itu yang membawanya ke sebuah kos- kosan kecil berukuran hanya muat untuk satu tempat tidur dan kamar mandi saja. Kos- kosan yang ia tempati sejak pindah setahun yang lalu. Saat itu lah ia menemui Nino. Tepatnya ketika masih sama- sama berada di semester dua. "Gimana kuliahmu, Nak? Sudah semester empat, 'kan, sekarang?" Sang ibu kembali bersuara di ujung sana. Argan mengangguk diam. Namun setelah sadar ibunya tak dapat melihat anggukkannya, pemuda itu segera membalas, "Iya, Bu. Kuliah Argan ya masih begini- begini aja. Lancar seperti biasanya. Oh, iya, benar sudah semester empat." Kini ia sudah sampai di depan kosnya. Dengan cepat Argan mengambil kunci kosnya dan segera membuka pintunya. Pemuda itu membuka dengan gerakan cepat, dan bergegas masuk ke dalam pula. Kakinya reflek bergesekan dengan lantai dan dengan cepat sepatunya terbuka. Sepatu yang sudah usang itu, yang sejak tahun lalu selalu ia pakai ke mana pun ia pergi. Argan masuk ke dalam kamarnya yang langsung terhubung dengan pintu depan. "Gan ... kalau ada apa- apa, kamu bisa cerita ke Ibu, ya." Suara ibunya terdengar bergetar. Mungkin sedang menahan airmatanya karena rindu, atau menahan airmata karena kesakitan yang dideritanya. Argan terdiam beberapa saat. "Bu, harusnya ibu yang bilang ke Argan. Kalau ada apa- apa, bilang sama Argan, ya, Bu," balasnya. Lalu ia melempar tas selempangnya ke atas ranjang. "Kalau lelaki itu masih mukulin ibu, bilang sama Argan." Ia menyambung kalimat lagi diakhiri dengan nada geram. Iya. Tentang kesakitan yang diderita ibunya, adalah karena ibunya sering mengalami kekerasan. Bapak Argan selalu memukuli istrinya itu ketika istrinya itu tidak memberikannya uang untuk berjudi. Argan bahkan dulu juga sering terkena imbasnya. Namun ibunya melindungi pemuda itu. Hingga sampai pada akhirnya ia geram dan menyuruh ibunya berpisah dengan suaminya itu. Ibunya setuju, dan mereka pun akhirnya berpisah, selama itu ia melihat ibunya dapat tertawa lebar lagi. Saat itu Argan hendak lulus dari sekolahnya, ia mendengar bahwa ada beasiswa yang diperuntukkan bagi siswa miskin sepertinya. Dan sang ibu lah yang menyuruhnya untuk mengambil beasiswa itu. Dengan berat hati, akhirnya ia meninggalkan ibunya beserta adiknya yang masih di bangku sekolah dasar itu. Ibu dan bapaknya sempat berpisah selama beberapa tahun, namun Argan dengar sejak tahun kemarin Bapaknya itu kembali ke rumah mereka lagi. Yang bodohnya ... ibunya kembali menerima bapaknya itu. Dengan tak mempedulikan kesalahannya. Yang paling menyebalkannya ... Bapaknya tidak akan pernah berubah. "Siapa? Bapakmu sekarang sudah berubah, Nak. Kamu gak perlu khawatir lagi." Ibunya tertawa ringan, namun terdengar memaksakan tawanya itu. "Ibu baik- baik aja," sambungnya. "Kamu kuliah aja yang bener, ya, yang rajin. Gak usah mikirin Ibu." Argan menghela napasnya. Meskipun ia tahu bahwa ibunya sedang berbohong, namun ia tidak ingin memaksa agar ibunya menceritakan semua hal yang terjadi padanya. Sama seperti yang dilakukan ibunya, Argan pun akan melakukan hal yang sama. Tidak menceritakan apapun pada ibunya. Termasuk tentang pengurangan beasiswa yang ia terima itu. "Ibu jaga kesehatan, ya." Argan berkata seperti itu dengan lirih. "Aku selalu sayang ibu, dan Ana." Ana, adik kecilnya yang berusia sepuluh tahun itu. "Mbak, gantian teleponnya mau dipakai!" Argan tersentak mendengar seruan di sebrang sana. Kemudian ia berlanjut mendengar seruan lain dari ibunya. "Nggih!" Ibunya tampak menjauhkan ponsel dari bibirnya ketika berseru itu, mungkin berpikir agar Argan tidak mendengarnya. Namun tetap saja Argan bisa mendengarnya. Berikutnya sang ibu kembali mendekatkan ponsel ke bibirnya lagi. "Ibu tutup dulu, ya, Gan. Ibu sambung teleponnya bulan depan. Ini teleponnya mau diambil sama Budemu." "Iya, Bu." Argan masih ingin mendengarkan suara ibunya, namun ia tidak bisa lagi. Akhirnya ia segera menutup panggilan itu setelah terdengar suara terputus. Sebenarnya ponsel yang dipakai sang ibu untuk meneleponnya itu juga bukan milik ibunya sendiri. Melainkan milik budenya. Argan melempar ponselnya ke atas kasurnya. Tidak memikirkan nantinya ponselnya akan rusak. Ia kini meremas rambutnya. Biaya beasiswa itu sebenarnya masih sisa untuk penghidupan Argan sampai semester depan. Namun ia kirimkan semuanya untuk ibunya di kampung. Dari mana lagi, 'kan, ibunya akan mendapat biaya hidup? Beruntung Argan menyisakan uang itu untuk biaya hidup ibunya di kampung. Namun sekarang ia tidak tahu lagi caranya mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhannya di Jakarta. "Apa yang harus gue lakuin?!" Argan berseru di kamar kosnya yang kecil itu. Kemudian menatap bayangan dirinya sendiri yang terpantul lewat pantulan di dinding. "Gue harus kerja?" tanyanya pada dirinya sendiri. Sebenarnya ... selama ini ia pun sudah terpikirkan untuk bekerja. Ia tidak mungkin terus menerus hanya memanfaatkan beasiswa itu. Namun ia bukanlah tipe orang yang dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus. Ia tidak bisa fokus dalam dua hal di waktu yang bersamaan, bekerja dan kuliah. Sehingga selama ini Argan memilih untuk kuliah saja. Meskipun IPK- nya pas- pasan, namun ia termasuk mahasiswa yang rajin. Tidak pernah mau meninggalkan kuliah dan rajin menggarap tugas makalah. Hingga ia kadang bingung mengapa dosennya memberinya nilai di bawah standar. Bahkan selama ini uang beasiswanya selalu lebih dan selalu ia kirimkan ke kampung halamannya. Dalam arti lain, Argan tidak perlu memikirkan cara dan bersusah payah untuk mendapatkan uang lagi, karena ia sudah memiliki uang beasiswa itu. Dan kalau sudah seperti ini, tidak mungkin ia hanya berdiam diri atau hanya duduk santai saja. Bahkan uang tidak mungkin datang mendadak dengan sendirinya menemuinya tanpa usaha apapun. Ia harus bekerja. Ya, itu adalah satu- satunya cara. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN