Pembuka : Kiriman Rekan Bisnis

1886 Kata
Malam mencekam, tepat tanggal satu bulan ganjil—bulan yang telah dipilih sebelum peperangan melawan jin. Adiwilaga—seorang pria yang handal berperang dengan makhluk halus itu kini tengah membantu salah seorang kliennya yang jauh-jauh dari kota. Dengan kekuatan supranaturalnya, atas seizin Allah Swt. Adiwilaga sanggup menumpas makhluk hitam berbadan besar yang kerap dijuluki sebagai ‘genderuwo’ oleh orang jawa. Hingga makluk tersebut lenyap menjadi debu di hadapan kliennya. “Terima kasih Raden Adiwilaga..terima kasih banyak. Pantas saja, beberapa hari belakangan ini leher hingga punggung saya terasa begitu berat. Ternyata, memang bedebahh rekan bisnis suami saya itu! Di depan saya dan suami saya begitu baik tingkahnya. Namun ternyata merekalah yang tega-teganya mengirimkan saya makhluk semengerikan itu.” “Istighfar, Bu Sumi. Kembalikan semuanya pada Sang Pencipta. Saya bisa membantu atas seizin Yang Maha Kuasa. Sepulang dari sini, lakukan mandi besar, lalu tunaikan salat malam dan juga saya harap Bu Sumi juga memohonkan ampun atas dosa suami Ibu—“ “A—apa? Maksud Raden Adiwilaga apa?” “Iya, Bu Sumi. Lakukan salat taubat bersama suami Ibu. Saya yakin, Allah Maha Pengampun. Allah akan mengampuni dosa keji suami Ibu. Dengan terpaksa saya harus menceritakan hal yang tidak Bu Sumi ketahui yakni tentang suami Ibu yang telah melakukan hal tidak senonoh pada salah seorang karyawan wanita di kantor saingan bisnisnya.” “M—maksud Raden Adiwilaga? Semua ini bermula karena suami saya!?” tanya Bu Sumi yang masih tidak percaya dengan penuturan pasti yang diketahui oleh Adiwilaga. Kemampuan Adiwilaga menembus masa lalu dan masa depan sudah tidak bisa diragukan lagi. Itu sudah makanannya sehari-hari. Adiwilaga mengangguk mantap. Ia dapat mengetahui akar permasalahan ini karena menerobos masa yang telah berlalu. Tepat kejadian di mana dengan teganya suami Bu Sumi merenggut keperawanan salah seorang karyawan wanita yang cukup berprestasi sehingga cukup dekat pula dengan bosnya sendiri. Dari sanalah emosi rekan suami Bu Sumi memuncak dan diam-diam melayangkan sebuah serangan berupa makhluk gaib. Dalam islam dijelaskan bahwa makhluk gaib merupakan makhluk yang sudah lebih dahulu diciptakan sebelum manusia pertama menghuni bumi ini. Dalam Al-Qur’an surat Az-Zariyat ayat 56 berbunyi, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Dari situlah dapat kita simpulkan bahwasannya jin dan manusia diciptakan dengan sebuah wujud. Tentu saja wujud keduanya berbeda. Manusia diciptakan dari tanah, sedangkan jin diciptakan dari api. Keduanya diciptakan menghuni bumi ini juga untuk beribadah pada Allah Swt. Namun sayangnya, tidak semua dari keduanya mampu menjalankan firman Allah Swt. tersebut. Baik manusia hingga jin sekali pun, keduanya sama-sama menjadi hamba yang kerap melupakan Sang Pencipta. Bu Sumi sedikit terhuyung ke belakang. Untung saja Nismara—adik perempuan Adiwilaga membantu menopang tubuh wanita paruh baya dengan penampilan glamor penuh dengan perhiasan emas itu. “Bu, tidak apa-apa?” “Tidak apa-apa, Nduk Cah Ayu. Ibu tidak percaya bahwa suami Ibu—“ “Istighfar, Bu. Semoga setelah ini, Ibu dan suami Ibu mampu menjalankan amanah dari Kang Mas saya,” tutur Nismara dengan lembut. Gadis yang pemberani dan mewarisi sebagian ilmu yang dimiliki kakak laki-lakinya itu juga kerap menemani Adiwilaga dalam setiap tugasnya menumpas makhluk halus. Tugas keduanya sama-sama mulia. Membantu orang-orang untuk terbebas dari segala macam gangguan makhluk gaib. Hingga mereka berdua juga kerap membantu orang-orang yang pernah terjerumus pada kemaksiatan untuk kembali pada jalan lurus yakni, jalan Allah Swt. Kakak beradik itu sudah dikenal banyak orang desa hingga mereka juga kerap didatangi oleh orang-orang kota seperti Bu Sumi ini. Tujuannya kebanyakan meminta bantuan agar terbebas dari gangguan makhluk halus, kiriman santet, hingga terbebas dari jalan kegelapan—terjerumus pada hal maksiat. Keduanya ikhlas membantu tanpa pernah memasang tarif, karena menurut mereka berdua, Allah Swt. Maha Pemurah, asalkan mereka berdua rajin mengurus ladang peninggalan kedua orang tuanya, maka dari situlah mereka bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. “Raden—“ “Bu, maaf sebelumnya. Panggil saya Adiwilaga saja. Sedari tadi sepertinya Ibu selalu memanggil saya dengan sebutan itu. Saya rasa panggilan tersebut terlalu berlebihan..” ucap Adiwilaga dengan jujur. Ia sungguh tidak nyaman menerima panggilan ‘Raden’. Ia sendiri juga heran, selama ini orang-orang kerap memanggilnya dengan gelar kebangsawanan, padahal ia sendiri bukanlah keturunan bangsawan. “Baiklah. Maaf ya Mas Adiwilaga. Saya panggil ‘Mas’ tidak keberatan?” “Sama sekali tidak, Bu..” Senyum pria berbaju serba hitam lengkap dengan ikat kepala batik khas Jawa itu. Bu Sumi pun segera merogoh tas ber-merknya dan langsung memberikan uang ratusan ribu tanpa dihitungnya terlebih dahulu. Hal tersebut sontak membuat kedua mata Nismara melotot sempurna. “Ini, Mas Adiwilaga. Ada sedikit rezeki dari saya.” “Sedikit!?” Sontak teriak Nismara itu mendapatkan sebuah hadiah mesra dari sang kakak yang selama ini dipanggilnya ‘Kang Mas’. Adiwilaga menginjak kaki Nismara tanpa ampun. Dengan menahan rasa sakit di kakinya, Nismara memelas pada sang kakak agar meloloskan kakinya dari penyiksaan ini. “Maaf atas tingkah laku adik saya ini, Bu Sumi. Maklum, dia mungkin kelelahan..” “Iya tidak apa-apa. Semoga rezeki dari saya ini bisa mengobati rasa lelah adik kamu ya, Mas Adiwilaga.” “Uangnya saya terima, Bu Sumi. Tapi, saya ambil—“ Ketika tangan Adiwilaga baru saja mengambil beberapa lembar dari segepok uang yang diberikan oleh Bu Sumi itu. Tiba-tiba Bu Sumi menyahut, “Jangan dikembalikan, Mas Adiwilaga! Apa kurang? Sebentar saya panggilkan ajudan saya. Saya ingat, tadi saya sempat meminta mereka membawa koper berisi uang.” “Tidak usah, Bu Sumi! Ini sudah cukup. Sangat cukup bahkan. Baiklah, saya terima semuanya. Apabila Ibu merasakan gangguan makhluk halus lagi, Ibu bisa kapan saja datang kemari. Saya siap membantu, Bu Sumi.” “Tentu saja.” Wanita peruh baya itu tersenyum dan mengerlingkan matanya. Hal tersebut berhasil mencairkan suasana tegang malam ini di belakang rumah peninggalan kedua orang tua Adiwilaga. Ya, segala pelaksanaan pembersihan hingga peperangan bersama makhluk gaib yang kerap dilakukan oleh Adiwilaga, semua terjadi di area belakang rumah yang merupakan lahan tandus yang cukup luas ini. Entahlah, sudah berapa banyak makhluk yang berhasil dikalahkan oleh Adiwilaga di tempat ini? Sehingga energi negatif yang tersisa membuat lahan belakang rumah ini menjadi sebuah lapangan kecil yang pastinya penuh juga dengan penjara para makhluk gaib. Setelah kepergian Bu Sumi dan para ajudannya itu. Adiwilaga lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan diikuti oleh Nismara. Di belakang Adiwilaga, Nismara menyimpan sebuah tanya yang membuatnya penasaran akan tetapi takut bertanya langsung pada kakaknya. Namun pada dasarya Adiwilaga ini juga mempunyai kemampuan membaca pikiran orang lain. Maka dengan santai ia menjawabi pertanyaan sang adik yang hanya terdengar dalam batin adik perempuannya itu. “Suami Bu Sumi sekarang ini tengah berpesta ria di sebuah tempat karaoke. Memang pada dasarnya manusia yang bergelimang harta itu kerap menyesatkan jalan hidupnya sendiri. Mereka hanya memburu kesenangan sesaat. Padahal kenyataan yang kita ketahui selama ini, kehidupan di dunia ini sesingkat mampir untuk minum..” Setelah menjeda kalimatnya. Adiwilaga kembali melanjutkan perkataannya itu, “..tetapi kenyataan tersebut seakan sengaja mereka lupakan. Harta yang mereka punya menjadi sebuah kendaraan untuk bersenang-senang di dunia. Hingga tak jarang sampai lupa pada penciptanya. Padahal kelak, kita hanya akan abadi di alam kubur. Bukan di dunia.” “Kang Mas! Jangan baca pikiranku lagi! Aku malu..” “Kenapa? Kamu takut ketahuan kalau kamu suka menghalu tentang artis korea? Lagipula, sekarang Kang Masmu ini tahu. Ternyata kemarin kamu merayu-rayu Kang Mas untuk berbelanja ke kota membeli ponsel hingga memasang jaringan internet di rumah, untuk menonton video-video orang korea itu bukan? Awas ya kamu kalau membayangkan hal yang belum waktunya.” Adiwilaga ingat betul saat di mana beberapa hari yang lalu, keduanya pergi ke kota menaiki motor tua mereka. Hingga mereka sampai pada konter ponsel yang cukup besar. Sampai-sampai kakak beradik itu hampir diusir karena kendaraan dan penampilan mereka yang persis orang kampung. Para pegawai di sana menilai bahwa kedua orang kampung itu tidak akan sanggup membeli ponsel seharga belasan juta dengan merk buah apel yang mempunyai bekas gigitan itu. Hingga detik ini, Adiwilaga juga masih terheran-heran. Bagaimana bisa benda tipis berbentu persegi panjang itu berharga belasan hingga puluhan juta. Untung saja keduanya mampu membeli dua buah ponsel dengan merk cukup tinggi kelasnya di sana. Semua pegawai konter yang sempat meremehkan keduanya pun berhasil dibuat memohon-mohon maaf atas perilaku buruk mereka. “Hla terus waktunya kapan dong, Kang Mas!? Aku sudah besar. Sudah anak gadis. Sudah lulus SMA. Bukankah sudah waktunya menikah.” Suara Nismara hingga ucapannya yang menyinggung kata ‘menikah’, sukses membuat Adiwilaga tersentak dari lamunnya yang mengingat-ingat kejadian tempo hari. “Belum. Kamu belum waktunya—“ “Maksud Kang Mas, aku harus menunggu hingga Kang Mas menikah lebih dulu begitu?” Seketika Adiwilaga menggeleng. “Tidak perlu menunggu Kang Mas. Kamu bisa menikah lebih dulu. Tapi nanti, tunggu usiamu genap dua puluh dua tahun atau dua puluh tiga tahun, Nismara.” Mendengar namanya dipanggil, ini artinya ucapan sang kakak tidak main-main. Nismara hanya mengangguk. Ia selalu menurut pada sang kakak selama ini. Karena bagi Nismara, Adiwilaga merupakan pengganti kedua orang tua mereka yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Hanya Adiwilaga-lah yang Nismara miliki. Rumah tua yang cukup besar ini hanya dihuni olehnya dan sang kakak saja. Betapa sedih hati Nismara saat keheningan kerap kali menjadi teman keduanya melalui hari-hari beranjak dewasa hanya berdua saja. “Kenapa? Kamu merasa kesepian, Nismara?” Nismara menggeleng. Kemudian ia memeluk tubuh sang kakak, “Aku sudah cukup bahagia meski hanya berdua saja dengan Kang Mas. Tapi, kalau habis ini hati Kang Mas tergerak untuk mencari pendamping hidup, aku bantuin seleksi deh!” Pletak! Sentilan keras berhasil mendarat di kening Nismara. Siapa lagi pelakunya jika bukan Adiwilaga. “Memangnya, mencari jodoh itu ajang kontes yang harus melalui tahap seleksi!? Kang Masmu ini mencari seorang wanita yang hendak dijadikan istri—“ “Lha makanya itu, Kang Mas! Kan harus melalui tahap seleksi. Baik tidak akhlaqnya, bisa tidak menerima segala kekurangan Kang Mas, dan tentunya harus bisa juga menerima kehadiranku. Karena cuman aku keluarga satu-satunya yang Kang Mas miliki..” Benar juga kata Nismara. Adiwilaga pun melepaskan dirinya dari pelukan Nismara. Ia kemudian mengacak pelan rambut Nismara. “Sudah, tidur sana! Awas kalau kamu nonton video-video orang korea! Kang Mas bisa lihat lhoo ya..” peringat Adiwilaga sebelum mempersilahkan sang adik untuk beranjak ke kamar tidurnya. “Iya tenang saja, Kang Mas! Oh ya, satu lagi. Bukan video-video Kang Mas. Tapi film! Namanya Drakor, kepanjangannya Drama Korea!” “Masih punya nyali membantah!?” Seketika kekesalan Adiwilaga membuat benda di sampingnya—sebuah gelas putih berisi air setengah itu, melayang-layang karena ulah jemarinya. “Eh, santai Kang Mas. Turunin gelasnya, itu gelas kesayanganku..” pinta Nismara dengan memelas dan menyatukan kedua telapak tangannya di depan d**a. Terakhir sebelum Nismara benar-benar pergi untuk beristirahat. Nismara sudah memastikan bahwasannya gelas yang terangkat oleh kekuatan ajaib kakaknya itu sudah aman di tempatnya semula. Sebelum menutup pintu kayu kamarnya. Nismara berteriak, “Iya-iya! Kang Mas tahu segalanya. Segala masa lalu hingga masa depanku, Kang Mas tahu. Semangat melihat masa depanku, Kang Mas! Aku mau kok dibisikin jodohku siapa diantara tujuh personel boyband—“ “Masuk! Istirahat, Nismara!” Tak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Adiwilaga kembali hanyut dalam keheningan malam ini. Ia meminum sisa air yang tinggal setengah di dalam gelas kesayangan sang adik. Kemudian bibirnya mengulas senyum. Ia bergumam, “Nismara-Nismara, jodoh kamu itu orang kaya. Pengusaha, kalau kata orang di video yang Kang Mas tonton, mereka disebutnya CEO. Kamu akan bahagia kelak.”         ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN