7

1360 Kata
“Tolonglah, Sayang. Aku ada meeting sebentar lagi.” Diva cemberut mendengar suara kakaknya yang begitu memelas. Dave memintanya mengantarkan dokumen yang tertinggal di kantor mereka ke kantor tempatnya dan tiga sahabatnya. Dua hal yang membuat Diva malas ke sana adalah, satu karena cuaca di luar yang begitu terik, yang tetap saja terasa meskipun ia menyalakan AC mobilnya di nomor yang paling dingin. Dua, karena ia tahu si b******k itu ada di sana. Entah sudah berapa lama peristiwa itu berlalu dan ia masih tidak bisa melupakannya. Bahkan ia masih ingat dengan jelas suara pria itu meminta maaf padanya. Terdengar begitu tersiksa. “Apa si b******k itu ada di sana?” “Daniel? Tidak, Sayang. Aku menyuruhnya meeting keluar.” Ia senang dan juga kecewa. Apa pria itu benar hanya meeting saja atau bertemu jalang lainnya? Sudah berapa banyak wanita yang ditidurinya sejak malam itu? “Diva? Little baby? Bisa menolongku kan?” “Belikan aku Louboutin yang kemarin kita lihat di mall.” “Oh, Lord! Sepatumu sudah tiga lemari!” “Yay or nay?” Dave mendesah kalah dan akhirnya menyanggupi permintaan Diva. Diva memekik riang dan meraih tasnya, bersiap pergi ke kantor. Ia akan melakukan apa saja demi sebuah sepatu. Yeah, ia penggemar berat sepatu. Diva hampir menyesali keputusannya mengantar dokumen itu jika saja tidak ingat sepatu baru yang menantinya. Jalanan begitu macet walaupun hari masih siang. Jakarta benar-benar gila. Macet, panas, dan semrawut. Ia benar-benar berharap pindah ke Mars sekarang juga! Jarak dari kantor Cromwell ke kantor Dave itu sebenarnya tidak jauh, tetapi karena macet parah, Diva sampai di sana empat puluh lima menit kemudian. Segera setelah menyerahkan kunci mobilnya pada petugas vallet, ia langsung naik ke tempat kakaknya berkantor. Diva jarang pergi ke kantor ini. Dave berada di kantor ini dua kali dalam satu minggu dan jika Dave di sini, sudah jelas pekerjaannya akan menumpuk. Diva mendesah saat pintu lift terbuka di lantai tiga puluh. Ia merindukan liburan. Seorang wanita muda berdiri menyambutnya dan langsung menyuruhnya masuk ke ruangan Dave. Tadi Dave berpesan untuk menunggunya. Kakaknya itu akan mengajaknya makan siang bersama. Diva sangat menyayangi Dave. Dave adalah kakak yang luar biasa. Dave selalu melindunginya sejak dirinya masih kecil. Ia bahkan akan melotot marah pada orang yang terang-terangan menengok pada mereka jika mereka berjalan bersama. Dulu, Diva sangat menghindari ruang publik apapun. Ia malu jika keluar bersama kakaknya atau orangtuanya. Orang-orang tidak akan percaya jika ia bagian dari keluarga Cromwell karena ia gemuk. Namun Dave yang keras kepala selalu memaksanya untuk keluar bersamanya. Dan pria itu akan memperlakukannya seperti seorang ratu meskipun ia sangat gendut dan jelek. Diva menjatuhkan diri di sofa empuk yang ada di ruangan kakaknya. Ruangan Dave di sini, sama persis dengan ruangan pria itu di kantor mereka. Membuatnya merasa di 'rumah'. Diva menaikkan kakinya ke sofa dan berbaring nyaman di sana, sampai... “Dave, aku___” Diva menoleh mendengar suara itu dan sesaat mereka berdua mematung. Dunia seolah berhenti saat tatapan mereka bertemu. Mata itu menghipnotisnya. Diva masih ingat dengan jelas bagaimana wajah pria itu saat mereka bertemu pertama kalinya. Ada perbedaan besar antara hari itu dan hari ini. Wajah pria itu nampak lelah. Mata Diva menangkap mata pria itu yang turun ke pahanya dan ia dengan sigap menurunkan kakinya. Ia kembali duduk seolah-olah pria itu tidak ada. “Maaf, aku kira__” Suaranya terdengar begitu gugup. Berbeda sekali dengan saat pertama kali mereka bertemu. Kenapa pria itu begitu gugup? “Kakakku sedang meeting.” Pria itu mengangguk. Namun, bukannya pergi, ia malah masuk ke ruangan Dave. Pria sekarang berdiri di hadapannya. Mereka hanya terhalang meja kaca yang rendah. “Aku minta maaf.” Diva memejamkan matanya. Mengapa suaranya begitu terdengar sedih? Apa pria ini benar-benar menyesal? “Diva__” Tuhan...walaupun terdengar tersiksa, tetapi penyebutan namanya dari bibir pria itu mampu memberinya getaran yang tidak pernah dirasakannya. Menghirup napas dalam-dalam, Diva membuka matanya dan menatap Daniel dengan tajam. “Lupakan saja.” ~~~ Bagi Daniel, hari ini adalah hari yang -setidaknya sedikit- indah baginya. Setelah berminggu-minggu tidak bisa bekerja dengan baik dan terlalu banyak minum, akhirnya takdir mempertemukannya kembali dengan Diva. Gadis itu masih cantik seperti saat pertama kali Daniel melihatnya, bahkan jauh lebih cantik. Dan hatinya kembali menghangat saat melihat tatapan itu. Tatapan tajam dari seorang gadis yang sangat cantik dan percaya diri. “Lupakan saja.” Apa maksudnya itu? Apa Diva sudah melupakan peristiwa itu? Atau melupakan awal pertemuan mereka yang tidak menyenangkan? Daniel mendekat dan mengulurkan tangannya. “Aku Daniel Armando de Castillo.” Alis Diva mengerut melihat tangannya yang terulur. “Ijinkan aku memperkenalkan diriku lagi seperti seorang gentleman.” Diva tersenyum sinis. “Tidak usah berharap terlalu banyak. Di mataku kau tetaplah seorang bajingan.” Sial! Itulah kenapa kesan pertama itu penting. Daniel sudah membuat kesalahan fatal dan tak termaafkan sejak hari pertama mereka bertemu. Image sebagai seorang b******n akan terus melekat di dirinya. Ia yakin itu. Diva meraih tasnya dan bangkit dari duduknya. “Kau mau ke mana?” “Pulang. Tunggulah Dave di sini,” jawab Diva seraya melangkah keluar dari ruangan Dave. Menunggu Dave di sini? Memangnya ia bodoh memilih menunggu pria itu dan mengabaikan gadis cantik? Tanpa pikir panjang, Daniel mengikuti Diva keluar dari ruangan Dave. Ia melotot marah padanya saat mereka masuk ke dalam lift. “Aku traktir makan siang?” Daniel tersenyum. “Tidak. Lebih baik aku makan sendiri.” “Ayolah. Sebagai permintaan maafku.” Gadis itu tidak menggubrisnya dan langsung keluar menuju basement. Jika ini terjadi pada gadis lain, Daniel akan langsung pergi meninggalkannya dan tidak akan mempedulikan gadis itu lagi. Akan tetapi ini Diva! Dan sejauh eksistensinya sebagai seorang Casanova, baru Diva yang menolaknya. Mata Diva melotot seolah hampir lepas saat melihatnya menyusul gadis itu dan duduk di sebelahnya tepat saat gadis itu hendak mengunci mobilnya. “Apa-apaan kau ini?? Keluar dari mobilku sekarang juga, de Castillo!” Oh, apa gadis ini baru saja menyebut nama keluarganya? Terdengar sangat seksi di bibirnya. Apalagi jika nantinya gadis itu menyandang nama keluarganya. Diva Zivanya de Castillo. “Hentikan senyum t***l idiotmu itu dan keluar dari mobilku sekarang juga!” Daniel menatapnya dengan memelas. Oh, tatapan memelasnya tidak pernah gagal pada gadis lain. “Aku mungkin akan selalu menjadi seorang manwhore di matamu, tetapi ijinkan aku meminta maaf. Sekali saja.” Diva tertegun. Entah karena suaranya yang memelas, atau karena tatapan matanya. Tak lama gadis itu menghela napas dan menghidupkan mobilnya. See? Tatapan matanya selalu bisa meruntuhkan kerasnya hati seorang wanita manapun. “Kau mau makan apa?” Gadis itu bertanya seraya memakai kacamata hitamnya. “Aku ikut apapun yang kau makan.” Dalam bayangan Daniel, Diva akan mengajaknya makan di restoran mewah, atau mungkin pergi ke restorannya sendiri. Namun nyatanya, Diva menghentikan mobilnya di depan tempat makan yang -walaupun bersih- tidak cocok didatangi oleh gadis secantik dan sekaya Diva. “Kau yakin mau makan di sini?” Daniel mengerutkan dahinya. “Kau bisa menunggu di sini jika tidak mau turun.” Oke, mungkin ini yang dinamakan berjuang. Daniel sangat jarang makan masakan Indonesia, apalagi mendatangi warung makan kecil seperti, ia tidak pernah melakukannya. Namun saat ini, demi satu sosok gadis yang menyita perhatiannya akhir-akhir ini, ia rela melakukannya. Tempat ini tidak terlalu besar. Hanya ada beberapa meja kayu dengan empat bangku plastik di setiap mejanya. Tidak ada pelayan karena para pembeli mengambil sendiri apa yang hendak dimakannya. Daniel menatap berbagai menu yang selama ini tidak pernah dilihatnya. Apakah ini enak? “Kau tidak lapar?” Diva bertanya seraya meletakkan sepotong ayam di piringnya. Daniel mendekat dan berbisik. “Apa makanan ini steril?” Diva memutar bola matanya dan meraih kunci mobil dari tasnya. “Tunggu saja di mobil kalau kau alergi di sini.” Daniel meraih kunci itu tetapi tidak menuruti perintah Diva untuk kembali ke mobil. Alih-alih pergi, ia mengambil piring dan mengambil apa yang Diva ambil. Jika gadis itu bisa memakannya, ia juga pasti bisa. Daniel memandang piringnya yang berisi campuran lauk. Apa ini benar-benar enak dimakan? “Jika kau tidak yakin untuk memakannya kenapa kau mengambilnya?” Diva terkekeh dan mulai memakan nasi miliknya. Daniel tertegun. Ini adalah pertama kalinya Diva tersenyum padanya. Dan jika nasi aneh ini bisa membuat Diva tersenyum, ia akan sangat rela memakannya!                          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN