4

1730 Kata
“Dan? Daniel!!”           Daniel tergagap mendengar teriakan Devan. Ia membenarkan posisi duduknya yang melorot.           “Ada apa? Aku perhatikan, kau melamun terus sejak pulang tadi.”           Daniel menggeleng, walaupun sebenarnya itu memang benar. Pikirannya kacau sejak tadi. Gadis cantik misterius itu terus memenuhi pikirannya.           “An?”           “Hmm?”           “Apa aku bisa jatuh cinta?”           Devan menoleh mendengar pernyataan Daniel. Ia bahkan langsung mem-pause permainannya. “Pertanyaan macam apa itu?” Kini Devan duduk di samping Daniel.           Daniel mengangkat bahunya. “Bagaimana rasanya saat kau jatuh cinta pada gadismu dulu?”           Devan menaikkan alis. “Saat kau jatuh cinta, kau tidak akan menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.”           Daniel mencibir. “Berarti cinta itu omong kosong kan?”           “Apa maksudmu?”           “Jelas. Kau tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanmu, bukankah itu berarti yang kau rasakan sia-sia? Lebih baik kau segera mengajaknya b******u dan bercinta. Beres ‘kan?”           Devan melempar bantal pada Daniel dan kembali duduk di depan televisi. “Kepalamu memang tidak jauh-jauh dari s**********n!”           Daniel terbahak. “Hei, itu kenyataan. Lebih mudah mengajak seorang wanita ke tempat tidur daripada menikah.”           “Iya kalau yang kau ajak itu seorang p*****r. Kalau dia gadis baik-baik, aku yakin dia akan menendang milikmu sampai tidak bisa bangun lagi.”           Daniel kembali tertawa dan membayangkan gadis cantik tadi menendang juniornya. ”Aku hampir mengalaminya hari ini.”           “Whoooaa, akhirnya ada gadis yang menolakmu??”           Memang selama ini tidak pernah ada yang menolak untuk diajaknya 'tidur.' Siapa sih yang bisa menolak keseksian para pria Spanyol? Jawabannya adalah tidak ada.           “Aku harus bertemu dengannya lagi, An. Aku harus bisa membawanya ke tempat tidur.”           “Dan bagaimana caranya kau akan menemukannya?”           “Dave pasti tahu! Ia pegawai baru di restoran Dave.”           “Kau yakin?”           Daniel mengangguk. “Devandra, cepat mandi!! Kita harus ke rumah Cromwell sekarang!” .....           Akhirnya setelah menunggu Devan mandi, yang menurut Daniel sangat lama, mereka berangkat ke rumah Dave bersamaan. Daniel menumpang di mobil Devan, sementara mobilnya ditinggal di apartemen Devan. Sepertinya ia masih akan menginap di apartemen Devan.           Tiga puluh menit sesudahnya, mereka sampai di rumah keluarga Dave. Sebuah rumah mewah dengan bangunan seperti rumah-rumah Skotlandia pada umumnya. Ayah Dave yang memang orang Skotlandia menginginkan sebuah rumah yang mengingatkan pada kampung halamannya.           Mereka langsung ke kamar Dave seperti kebiasaan jika datang ke rumah ini. Kening Dave berkerut melihat mereka datang bersamaan.            “Jadi kalian benar-benar sepasang kekasih sekarang?” tanyanya dengan jijik.           Daniel dan Devan berpandangan dan tertawa lepas.           “Apa yang kalian tertawakan?” Damian muncul di belakang mereka.           “Mereka benar-benar sudah berbelok.”           Mata biru Damian membelalak. “Kau serius, Dave??” Matanya memandang Daniel dan Andra ngeri.           “Tentu tidak, Bodoh! Aku masih normal! Dan akan selalu normal!” Devan menepuk kepala Damian dengan guling. “Tetapi jika aku berbelok, aku akan memilihmu menjadi istriku,” tambahnya lagi.           “Jonathan Alexander!! Kau menjijikkan!” Damian bergidik dan menjauh dari Devan.           “Sepertinya kau harus mulai melupakan gadis kecilmu itu dan mencari wanita dewasa, An. Otakmu sudah bergeser,” sambung Dave kemudian.           “Aku tidak butuh kekasih.”           Dave mencibir mendengarnya. “Dasar pria gagal move on!”           “Jadi ada acara apa kami di panggil ke sini?” Daniel mengalihkan pembicaraan.           “Mama mengadakan acara makan malam keluarga. Adikku baru pulang dari London. Ia sudah menyelesaikan masternya,” jelas Dave sambil tersenyum bangga.           “Kenapa tidak bilang! We bring nothing!” protes Damian.           Dave tertawa. “Tenanglah, masih banyak waktu untuk itu.”           Sama seperti Devan, ia tak pernah memperlihatkan foto adiknya pada mereka. Adik Dave sudah tinggal di London sejak awal kuliah, jadi mereka tidak mengenalnya. Karena mereka baru tinggal di Indonesia setelah lulus kuliah dari Jerman dua tahun lalu. Mereka hanya mengenalnya dari nama dan foto-foto yang ada di rumah ini. Itupun foto saat gadis itu masih usia remaja. Setiap berkunjung, mereka juga jarang memperhatikan foto-foto keluarga Dave.           “Apa aku boleh mengajaknya kencan, Dave?”           “Awas saja kalau kau berani menggoda adikku, Dan! Aku tidak akan membiarkan adikku jatuh pada pria b******k sepertimu.”           Daniel mencibir. Overprotektif brother mode on. Daniel tahu Dave sangat menyayangi adiknya yang mereka tahu bernama Diva itu. Dan siapapun pasti akan melakukan hal sama, tidak akan membiarkan adik kecilnya jatuh ke tangan pria b******k.           “Anak-anak!! Ayo turun!!” teriak Jane –ibu Dave- dengan suara melengking dari bawah.           Mereka berempat saling memutar bola mata. Itulah Mrs. Cromwell, wanita paling barbar serumah ini.           “Halo, Ma,” sapa mereka pada wanita cantik itu.           Jane tersenyum dan memeluk mereka satu persatu. “Apa kabar anak-anak Mama? Lama kalian tidak ke sini.”           “Kami sibuk, Ma.”           Jane memutar bola matanya. “El clasico, cari alasan lain, Dudes.”           Mereka hanya menyeringai saat wanita paruh baya itu melotot pada mereka. Orang tua Dave dan orang tua Andra adalah pengganti orang tua Daniel dan Damian di sini. Dari mereka jugalah, Daniel belajar lagi untuk membuka hatinya dan menyayangi orang lain.           Seumur hidupnya, Daniel belum pernah berkata cinta pada seseorang. Bahkan dengan ayah dan ibu tirinya yang sudah merawatnya. Tidak pernah sekalipun ia membalas saat ayahnya atau Rania bilang 'I love you, Son' padanya. Baginya, sebuah kata tidaklah penting.           “Wow! Banyak sekali Mama memasak.” Damian berbinar menatap makanan yang terlihat menggiurkan.           “Mama tahu kalian buas,” ucap Jane disambut tawa mereka.           “Ramai sekali di sini.” Suara itu dari taman belakang.           “Papaa!!” Teriak mereka bertiga bersamaan seraya menghampiri pria bule paruh baya itu. Mereka boleh dewasa, mereka boleh berwibawa di kantor, tetapi di rumah, mereka adalah anak pria.           “Lama tidak ke sini, Anak-anak. Sibuk, eh?” Pertanyaan yang sama keluar dari mulut John Cromwell.           Mereka hanya mengangguk, sedangkan John terkekeh. Perusahaan warisan keluarga ditambah perusahaan yang mereka dirikan sendiri membuat mereka selalu sibuk dengan pekerjaan.           “Mamaaa, aku lapaaarrr!” suara itu membuat semua kepala menoleh ke arah tangga.           Mata Daniel membelalak. Sial!! Gadis cantik yang tadi!! Daniel seolah lumpuh. Ia bahkan tidak yakin masih berdiri tegak. Rasanya seluruh kekuatan tercabut dari raganya. Matanya terus menatap si cantik yang melotot marah padanya itu.           “Jadi ini bidadari yang kau sembunyikan, Dave? Hallo, Cantik, namaku Damian.” Damian mendekati Diva dan mencium punggung tangannya membuat Diva berpaling dari Daniel dan tersenyum.           “Jangan merayu adikku, Damian!”           Damian terkekeh dan menjauh dari Diva.           “Aku Andra.” Andra menjabat tangan Diva sekilas, tidak terlihat tertarik untuk merayunya.           Dave memandang Daniel yang terpaku. “Dan? What the hell are you looking at? “           Daniel tergagap. “Dia ... dia benar-benar adikmu, Dave?”           “Tentu saja! Walaupun dia tidak gemuk lagi, dia tetaplah adikku.”           Si cantik itu melotot pada kakaknya. Itulah kenapa Daniel tidak mengenalinya. Semua foto-foto di rumah ini adalah saat gadis itu masih sangat gemuk.           “Dan si b******k p*****r ini teman kakak?”           “Diva!!” Jane berteriak.           Diva menoleh pada Jane. “Ma, pertama bertemu denganku, dia langsung melihat ukuran dadaku dan meminta nomer teleponku. Apa tidak mungkin dia melakukannya pada semua gadis?”           Dave menatap Daniel dengan geram. “Daniel, kau ...”           “Ma! Bisa kita makan sekarang? Aku juga kelaparan?” Devan menyela seraya memegangi perutnya.           “Main game lagi seharian, Anak bandel?”           Devan tertawa dan mengikuti Jane ke ruang makan seraya menyeret lengan Daniel. Daniel tersenyum hambar padanya. Ini benar-benar sial. Ia sungguh tidak menyangka gadis itu adalah adik Dave.           “Santai saja, Dan. Bukankah ini waktunya untuk membuktikan pada Dave?” Devan berbisik padanya.           Daniel menoleh. “Tetapi aku sudah bertingkah seperti b******n tadi padanya!” Ia balas berbisik.           Devan menyembunyikan tawanya dengan batuk kecil. “Maka minta maaflah secara gentleman.”           Daniel tertegun. Minta maaf? ~~~~           Diva menusuk daging ayamnya dengan kesal. Ia sungguh tidak menyangka Jakarta begitu sempit. Bagaimana mungkin si b******k p*****r itu adalah sahabat kakaknya?? Jika tidak mengingat ia ada di rumah, sudah di tendangnya s**********n pria itu. Satu hal yang ingin dilakukannya sejak si b******k itu meminta nomor ponselnya.           Matanya melirik dua pria lain yang duduk di hadapannya. Si tampan bermata biru yang bernama Damian tampaknya tidak sebrengsek si manwhore itu. Ia tampak lebih sopan dan lembut. Lalu si tampan yang dingin, Andra, tampak tidak tertarik bahkan untuk melihatnya lebih lama. Sepertinya ia yang paling pendiam.           Matanya kembali melotot saat Daniel menatapnya. Sungguh ia ingin memakan pria itu saat ini juga. Ia bahkan tidak akan memaafkan pria itu jika si b******k itu minta maaf padanya.           “Aku selesai.” Diva bangkit dari duduknya dan langsung membawa piringnya ke dapur. Ia tidak tahan lama-lama berada di dekat pria itu.           Diva menuju taman belakang setelah meletakkan piring kotornya di dapur. Ia rindu rumah ini. Rumah di mana ia menghabiskan masa SD dan SMPnya. Ia lahir di Skotlandia dan tinggal di sana sampai berumur lima tahun, lalu Mama yang asli orang Indonesia itu merengek pada Papa untuk tinggal di sini.           Masa kuliah dijalani Diva di London. Setelah bertahun-tahun, baru sekarang ini ia akhirnya menyetujui permintaan orang tuanya untuk tinggal lagi di kota ini. Banyak alasan yang membuatnya jarang pulang ke Jakarta. Hanya saat ulang tahun Abby-lah, ia selalu pulang. Abby jugalah salah satu alasannya kembali tinggal di sini. Ia hanya ingin gadis itu merasa memiliki orang lain untuk bersandar.           “Diva.”           Suara itu membuat Diva membeku. Berani-beraninya manwhore itu menyebut namanya! Diva berbalik marah dan melihat Daniel berdiri agak jauh darinya. Alis Diva naik sebelah saat melihat sudut bibir Daniel yang bengkak.           “Jangan berani-berani menyebut namaku, b******k! Jika kau bukan teman kakakku, sudah kupotong bolamu itu!!”           Daniel mundur satu langkah mendengar ancamannya.           “Dengar, aku tahu aku sudah bersikap sangat tidak sopan padamu. Dan aku minta maaf, okey?”           Diva bersedekap. “Maaf? Tidak, terima kasih! Aku tidak tertarik memaafkanmu.” Diva beranjak pergi, tetapi tangan Daniel menahannya saat ia melewatinya. “Lepaskan tanganmu.”           “Aku tahu aku telah bersikap sangat b******k tadi. Ijinkan aku menghapus semuanya dan mengenalkan diriku sebagai seorang gentleman,” Daniel berbisik padanya.           Sesaat, Diva seolah hilang arah. Mereka berdiri begitu dekat dan berbagi udara yang sama. Diva menatap mata tajam yang kini tampak lembut itu. Mungkin inilah yang disebut tersesat di kedalaman mata seseorang.           “Diva?”           Diva tergagap dan menginjak kaki Daniel. “Mimpi saja kau, b******k! Aku tidak akan memaafkanku!” Diva melangkah masuk dengan cepat dan segera naik ke kamarnya. Sial, kenapa jantungnya berdebar-debar?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN