Bekerja menjadi seorang designer adalah impian Fifi Anjani sejak kecil. Perempuan yang kerap di sapa Fifi itu memiliki postur badan yang tinggi, kulit putih, rambut panjang, dan badan yang sangat ideal sehingga membuat beberapa perempuan yang melihatnya akan merasa iri.
Berkat keahliannya di bidang mendesain baju, kini perempuan yang berusia 25 tahun itu sudah memiliki beberapa butik yang tersebar di kota-kota besar. Bahkan, setiap desain yang di buatnya akan selalu menjadi incaran di kalangan remaja sehingga baju-baju yang di keluarkannya akan selalu ludes terjual.
Fifi memang sangat sukses di bidang pekerjaannya, namun perempuan tersebut justru tidak berjalan mulus di percintaannya. Pasalnya hubungan Fifi baru saja berakhir setelah 3 tahun perempuan itu menjalin hubungan. Berakhirnya hubungan tersebut bukan karena Fifi di selingkuhi atau bukan karena pertengkaran. Fifi putus karena ada tembok besar yang sangat tinggi menghalangi hubungannya dengan sang pacar. Tembok itu adalah keyakinan mereka yang berbeda. Fifi dengan manik-manik tasbihnya sedangkan sang pacar dengan manik-manik rosarionya. Meski begitu, hubungan keduanya tetap berjalan baik walaupun sudah tidak di dalam sebuah hubungan sama. Keduanya memilih berdamai dan menjalani hidup masing-masing dengan bahagia.
*****
Perempuan yang sedang menggunakan dress putih selututnya itu sedang berada di dalam ruangan dengan pensil yang sedari tadi berada di tangan kanannya bergerak kesana kemari menggambar pola sehingga membentuk suatu desain. Perempuan itu adalah Fifi.
Sudah dua jam Fifi bergelung dengan desain baju miliknya. Bahkan kini perempuan itu terus saja melanjutkan gambarnya sampai dering ponsel menghentikan perempuan tersebut.
Bunda is calling ....
Melihat nama yang tertera di layar ponsel tersebut, Fifi langsung menjawab panggilan tersebut.
"Fi ...."
Mendengar nada suara berbeda dari Bundanya membuat Fifi seketika khawatir akan wanita paruh baya tersebut.
"Bunda, kenapa?"
"Kamu ke rumah sakit Harapan sekarang ya, sayang."
"Bunda sakit?atau Ayah?"
"Kamu kesini sekarang, Bunda tunggu!"
Sambungan telepon di putuskan oleh Bundanya dari seberang sana.
Fifi yang merasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan bundanya itu pun segera pergi ke rumah sakit yang di sebutkan oleh wanita paruh baya tersebut.
*****
Fifi yang sudah tiba di rumah sakit Harapan pun, langsung mencoba menghubungi Bundanya.
"Halo Bunda, Fifi udah di rumah sakit. Bunda ada di mananya?"
"Kamu ke ruangan ICU nomor 3 ya sayang. Bunda tunggu kamu di sini."
Setelah mengetahui keberadaan Bundanya, perempuan itu pun segera melangkahkan kakinya kesana.
Fifi yang sudah sampai di ruang ICU pun menghentikan langkahnya ketika melihat Ayah, Bunda dan juga kakak iparnya Raihan berdiri di depan ruangan dengan wajah sang Bunda yang terlihat menangis dan di tenangkan oleh sang Ayah. Dengan perlahan Fifi menghampiri ketiga orang tersebut dengan perasaan yang terus bertanya-tanya siapa yang berada di dalam ruangan tersebut sehingga membuat Bundanya menangis seperti itu.
Pikiran Fifi pun langsung melayang kepada sang Kakak yaitu Indah yang tidak berada di sana. Namun, pikiran tersebut langsung perempuan itu hempaskan ketika berpikir mungkin saja kakaknya itu sedang menjemput sang keponakan di sekolahnya.
Berbagai pemikiran pun terus saja berputar di kepalanya akan siapa orang yang berada di ruangan tersebut.
"Bunda ...."
Semua orang yang berada di sana langsung mengarahkan pandangannya kepada Fifi yang baru saja memanggil Bundanya.
Fifi pun semakin menghampiri ketiga orang yang berada di sana.
"Bunda, ini se ----"
Belum sempat Fifi menyelesaikan ucapannya, dekapan tiba-tiba yang di terimanya dari sang Bunda membuat perempuan tersebut terdiam dan tangannya terulur untuk membalas pelukan tersebut.
"Fifi .... Indah hiks"
Mendengar nama sang Kakak di sebut membuat Fifi menjadi bingung. "Kak Indah kenapa, Bun? Kak Indah lagi jemput Davina kan? Terus ken----"
"Indah ada di dalam ruangan itu. Kakak kamu sedang berjuang di dalam sana."
DEG!
Jantung Fifi langsung berdetak dengan cepat ketika mendengar ucapan Bundanya. Tangan yang tadi membalas pelukan itu pun terlepas dengan sendirinya.
"M-maksud B-bunda apa kalau Kak Indah lagi berjuang?" tanya Fifi yang kini menatap lekat Bundanya
.
"Kakak kamu sakit. D-dia memiliki penyakit kanker dan kini kanker itu sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Sekarang kakak kamu di dalam sana lagi berjuang melawan itu hiks."
Jawaban dari Bundanya membuat Fifi langsung menatap ke arah ruangan yang berada di depannya dengan tatapan kosong.
Saat ini rasanya seluruh tubuh Fifi mendadak kaku sehingga membuat tubuh tersebut luruh dan hampir saja terjatuh jika tidak di tahan oleh Raihan sang kakak ipar. Fifi pun menatap lelaki itu dengan air mata yang sudah mengalir dari pelupuk matanya. "Kenapa kak Raihan gak pernah bilang kalau kak Indah sakit? kenapa kak?"
"Seharusnya kakak sebagai suami bisa menjaga dan merawat kak Indah dengan baik. Seharusnya kakak bisa mengobati dan membawa kak Indah berobat agar bisa sembuh dari penyakitnya. Kakak seorang dokter, tapi kenapa kakak gak bisa mencegah hal itu? KENAPA KAK RAIHAN?" ucap Fifi dengan meremas kerah baju milik kakak iparnya.
Raihan hanya bisa terdiam dan membiarkan adik iparnya melakukan semua itu.
"Fifi sudah. Raihan juga tidak mengetahui kalau Indah mempunyai penyakit kanker. Kakak kamu menyembunyikan semua itu dari kita semua, bahkan suaminya sendiri" tutur Ayah Dimas.
Fifi yang mendengar penuturan Ayahnya pun seketika melepaskan remasan tangannya di baju kakak iparnya dan menatap sang Ayah dengan air mata yang mengalir.
"Ayah hiks ...."
Lelaki paruh baya itu pun langsung memeluk anaknya dan menenangkannya. Walaupun jauh di dalam lubuk hati lelaki paruh baya itu juga saat ini sangat mengkhawatirkan sang anak yang sedang berjuang untuk hidupnya di dalam sana. Namun, sebagai seorang Ayah dan juga kepala keluarga, lelaki itu harus bisa menenangkan kedua perempuan yang saat ini sangat terpukul karena keadaan seseorang yang tengah berada di dalam ruangan tersebut.
"Kita doakan semoga Indah, kakak kamu baik-baik saja dan bisa berkumpul lagi dengan kita semua seperti sedia kala" ucap Ayah Dimas.
Pintu ruangan pun terbuka dan munculah seorang dokter yang menghampiri mereka.
"Permisi, Ibu Indah ingin bertemu dengan suami dan juga keluarganya. Silahkan masuk" beritahu Dokter yang bernama Bima tersebut.
"Terima kasih Dokter Bima. Kalau begitu kami akan masuk" ucap Raihan.
Keempat orang itu pun masuk ke dalam ruangan tersebut di mana di sana terdapat seorang perempuan yang sedang terbaring dengan lemah di bantu dengan selang oksigen yang terpasang di hidung perempuan tersebut.
"Kak Indah ..."
Fifi langsung menghampiri kakaknya itu dan menggenggam tangan perempuan tersebut. "Kakak gimana keadaannya? kenapa kakak gak pernah bilang sama Fifi kalau kakak sakit? kalau tau kaya gini, Fifi bakal bawa kakak berobat ke luar negeri supaya kakak bisa sembuh."
Indah yang mendengar ucapan adiknya itu pun terkekeh pelan. "Kamu selalu bawel."
Fifi yang mendengar itu justru menahan tangisnya agar tidak keluar. "Kakak ..."
Indah yang melihat jika sang adik yang hendak menangis pun mengusap pelan kepala perempuan tersebut. "Fifi, jangan nangis. Kakak gak apa-apa. Tapi apa Fifi mau nurutin permintaan kak Indah?"
"Permintaan apa? permintaan apa pun bakal Fifi turutin asal kakak bisa sembuh."
"Menikahlah dengan mas Raihan ..."
Fifi yang mendengar itu sontak menatap kakaknya terkejut dan tak percaya. Kenapa dari sekian banyak permintaan, kakaknya malah menginginkan permintaan tersebut. Jujur saja permintaan itu sangat amat tidak mungkin untuk dia setujui. Bagi Fifi itu adalah hal yang sangat-sangat mustahil untuk di kabulkan.