Suara Malaikat

1636 Kata
"VLON! Tevlon!!" Suara terang yang membuat telinga tuli seketika itu terdengar semakin jelas, begitu seorang cowok bertubuh atletis itu datang memasuki ruang kelasnya. Fabio Anjaya, begitulah nama cowok yang kini tengah menghampiri ke-tiga temannya sembari gelincatan layaknya cacing. "Devon! Buset!" Panggil Fabio lagi yang entah sudah ke berapa kalinya terdengar. Cowok yang merasa namanya dipanggilpun akhirnya melepaskan headphones-nya, kemudian mengalihkan pandangannya dari komik Manga, menuju si perusuh. "Sampe gak penting, lambe lo gue jadiin turah ya, Bi!" Geram Devon dengan wajah betenya. Fabio mengangguk cepat, kemudian sempat menelan saliva-nya susah payah sebelum kembali mengeluarkan bacotannya. "Mahasiswi baru! Ada mahasiswi baru!" Dalam sekejap, pupil mata milik Devon melebar, "Demi? Cewek!?" Di toyornya dahi Devon gemas, "Kalo cowok ngapa gue heboh, b*****t? Lo kira gue homo?" Dengan bodohnya Devon mengangguk, membenarkan apa yang baru saja Fabio katakan. "Cantik?" Kini cowok yang duduk di meja depan Devon ikut merespon. "Martin, sayang. Kalo gak cantik mana mungkin gue heboh?" Fabio bertanya dengan menahan kesalnya. Membuat salah satu temannya lagi, yang kini tengah asik bermain ponsel berdecih, "Lo ada dosen killer otw kesini juga heboh, Bi!" Fabio berpikir sejenak, kemudian membenarkan apa yang baru saja Davi katakan. "Eh, serius! Cantik? Awas ya kayak waktu itu, lo bilang cantik ternyata bibirnya gombleh gitu, najis." Fabio terbahak mendengar Devon yang mengingatkan cerita lama mereka. Dengan keadaan yang sama seperti sekarang, Fabio masuk ke dalam kelas dan heboh karna ada mahasiswi baru. Dia juga bilang cantik, tapi saat Devon menghampiri, ternyata ia tertipu. "Tapi yang gombleh-gombleh macam Rita enak kok, Von. Lo aja belom nyoba." Martin berkata asal yang segera mendapat jitakan kepala dari Devon. "Omes lo mah si b**o!" Celetuk Davi yang sedari tadi bertingkah paling kalem dari ke-tiga sahabatnya yang lain. "Seriusan, yang ini cantik!" Fabio meyakinkan, "Pindahan dari Paris! Kloningan bule, coy!" "Si goblog, gini nih kalo dulu suka cabut pas pelajaran biologi. Bukan kloningan, tapi blasteran!" Perbaiki Martin sembari melemparkan komiknya ke arah Fabio. "Lah, situ yang goblog! Kitakan dulu IPS, gila! Mana pula belajar biologi!" Fabio kembali melemparkan komik itu kepada pemiliknya. "Udah-udah! Mana sih anaknya? Siapa namanya? Fakultas apa? Kelas berapa? Angkatan?" Todong Devon dengan pertanyaan. Fabio menggaruk tengkuknya, mencoba berpikir walau aslinya ia tak tahu apa yang tengah di pikirkannya. "Gak tau gue, barusan liat dia lagi nanya ke satpam sama bonyoknya." Jawab Fabio akhirnya. Devon dan Martin merubah ekspresinya menjadi datar. Sudah hafal dengan Fabio yang selalu menyampaikan berita secara tak lengkap. "Lo mending berhenti jadi tukang gossip kalo nyampein berita kayak cakepnya Martin, setengah-setengah!" Respon Devon kesal yang kembali mendapat toyoran kepala dari Martin. Davi terkekeh melihat tingkah tak beres sahabatnya. Walau memiliki sahabat dengan otak setengah seperti Fabio, Martin dan Devon, Davi merasa nyaman karna mereka selalu membuat keadaan menjadi seru dan berwarna. "Vi?" Fabio menghampiri Davi yang tengah tiduran di meja dengan kepala yang di alasi tas, "Gak ngapel Deana?" Davi mengangkat kedua bahunya, tanda bahwa hubungan mereka berdua sedang tak baik, "Berantem mulu lo mah, pacaran baru setahun, berantemnya tiga belas bulan!" Dengan gemas, dipukulnya pelan dahi Fabio menggunakan ponsel yang Davi genggam, "Setahun dua belas bulan, gila!" Fabio mengusap dahinya kesal dan beralih pada mangsa kedua, Devon. Cowok tampan dengan style urakan itu tengah duduk di bangku dengan kaki yang ia luruskan pada bangku kosong di sebelahnya. Sementara punggungnya bersandar pada tembok. "Gak ngapel Tasya?" Goda Fabio gatel sembari mencolek dagu Devon, membuat pemiliknya segera membersihkan bekas sentuhan Fabio di dagunya. "Najis ah, homo! Jauh-jauh sana, hush!" Usirnya dengan cara menendang b****g Fabio yang baru saja ingin duduk di dekatnya. Fabio memicingkan matanya, menatap curiga ke arah Devon, "Lo bosen lagi? Terus lo tinggalin?" "Gila apa gue sejahat itu?" Tanyanya tak terima, "Kapan gue pernah nyakitin cewek, sih?" Martin berdecih geli, "Sering b**o! Makanya jangan sok-sokan playboy deh, segala banyak gebetan, sunat juga belom!" Fabio tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai meneteskan air mata. Apalagi saat melihat ekspresi Devon yang jengkel. Ia semakin mengeluarkan tawanya. "Yah, gimana? Mereka semua rebutin cowok cakep kayak gue sih. Gue sebagai cowok baik mah bisa apa selain berusaha untuk membalas perasaan mereka?" Devon berkata dengan nada pasrah, yang kembali membuat dengusan terdengar. "Jadi, si mahasiswi baru gimana?" Pertanyaan Martin kembali mengingatkan pembahasan awal. "Gue sama Martin liat dulu deh, baru suit jepang?" Tawar Devon kepada Fabio dan Martin. Fabio berdecak kesal, "Cakep, Von! Asli! Nyesel lo berdua nolak!" "Siapa yang nolak, b**o? Kan kita bilang mau liat dulu! Gak percaya gue mah sama selera lo! Mba-mba dempulan macam dijjah yellow juga lo bilang cakep!" Martin berujar yang segera Devon setujui. "Yaudah, liat ya nanti pas kelas selesai. Kalo menurut kalian juga cakep, lo semua harus traktir gue bakso!" Tantang Fabio yakin. "Kenapa jadi semua? Gue gak ikutan, gila! Mau di bunuh Deana gue?" Davi merespon singkat sebelum kembali pada ponselnya. "Deal! Tapi kalo jelek atau bibir gombleh, lo beliin Manga, ya?" Fabio mengangguk yakin saat Devon ikut memberikan penawaran. "Dapet bakso dua mangkok gratis!" Seru Fabio senang dengan bernari-nari di depan kelas. Sementara Martin dan Devon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sobatnya itu yang tak wajar. •••• "Mana sih elah!" Suar bariton yang Devon keluarkan memecah keheningan. Sementara Fabio dengan mata 'scanning'-nya, sibuk mencari sesosok malaikat yang ia bangga-banggakan dari pagi tadi. "Lo bohong lo mampus ya, Bi!" Kini Martin yang mulai bersuara. Membuat Fabio menatap kedua temannya itu dengan kesal, "Sabar, elah!" Devon melemparkan satu sendok yang tepat mendarat di kepala berambut gondrong milik Fabio. Bagaimana mereka tak kesal, sudah dari satu jam yang lalu, mereka berempat berdiam diri di kantin dengan alasan Fabio yang katanya ingin segera memperlihatkan mahasiswi baru tersebut. Namun yang di tunggu tak muncul-muncul, membuat ketiga orang itu geram dan kesal. "Kita udah buang waktu untuk ngerokok, ngopi, makan gorengan, sama nonton bokep!" Martin berdecak sebal. Sementara Devon menyetujui ucapan Martin barusan sembari mengangguk-nganggukan kepalanya. "Von?" Suara lembut datang dari arah belakangnya, membuat Devon mau tak mau menoleh dan mendapati seorang gadis berambut pirang lurus tengah menatap nanar ke arahnya. "Apa?" Devon menjawab malas. "Gak jadi marahan, baikan ya?" Devon berdecih singkat, lalu membuang mukanya, "Gue anti baikan sama pdkt-an, apalagi sama lo. Mau jilat ludah sendiri?" Perempuan bernama Tasya Amanda itu menggigit bibir bawahnya kesal dan mencoba menahan tangis. "Semalem gue cuma emosi liat lo lagi dua-duaan bareng cewek gila itu!" Ucap Tasya berapi-api, sementara Devon masih dengan ekspresi tak perdulinya. "Yaudah, kan lo udah tau gue b******n, nih? Jadi kenapa masih ngajak baikan?" Tanya cowok itu enteng yang kembali menoleh ke arah belakangnya. Tasya menatap sekitar, ia sadar sedang berada di kantin yang ramai dengan semua pandangan yang kini tertuju padanya, namun apa daya, cinta membuatnya tak sadar akan harga diri. "Gue sayang sama lo!" Pekik Tasya tertahan. Devon mengacak rambutnya kesal, tak mengerti apa maksud dari cewek yang semalam jelas-jelas menampar lalu meninggalkannya. "Gue enggak, gimana dong?" Kalimat yang berhasil membuat Tasya terbakar. Apalagi saat melihat wajah Devon yang menyampaikan kata menyakitkan itu dengan tak perduli. "Sana ah! Gila lo ya di kantin teriak-teriak?" Usir Devon kesal begitu menyadari kalau banyak mata yang menatapnya. Ia gerah dengan tatapan itu. "Parah, Von. b******n abis, lo!" Suara lain yang muncul dari samping Tasya membuat pandangan Devon beralih. Mendapati Nando—salah satu seniornya, yang entah bagaimana cerita bisa ikut nimbrung. "Apaan lagi sih?" Tanya Devon geram sembari mengacak rambut belakangnya, ia paling tak suka berada di posisi seperti ini. "Lo gak bisa sopan dikit sama cewek?" Tanya Nando yang kini sudah berdiri dihadapan Tasya. "Pahlawan kesiangan kali lo mah!" Cibir Devon tak perduli. Mendapat ucapan seperti itu, membuat Nando kesal dan berniat maju mendekati Devon sebelum Martin bangkit dan menghadangnya. "Jangan disini, bos! Malu, kayak gak punya harga diri aja cowok berantem karna cewek." Bisik Martin yang malah semakin memperpanas situasi. Di dorongnya tubuh Martin hingga terpental dan berakhir di lantai. Sontak saja mata Devon membulat tak terima. Cowok itu bangkit dan terlihat mencengkram kuat kerah seragam Nando, "Eh anjing, lo kalo suka sama bekasan gue ya ambil! Kenapa? Dia gak mau sama lo? Ganteng dulu makanya!" Ucapan memprovokasi itu membuat Nando dengan geram mendaratkan pukulan di pipi kanan Devon. Jelas saja cowok itu tak terima dan terlihat membalas pukulannya. Hingga terjadilah perkelahian di kantin yang membuat seisi kantin panik. Bahkan Tasya yang melihatnya menangis terisak. Fabio dan Davi yang sedari tadi hanya menonton dan mengira kalau persoalan tak penting ini bisa di selesaikan baik-baik, akhirnya ikut turun tangan dan membantu memisahkan perkelahian. Nando yang di tahan Davi, dan Devon yang ditahan oleh dua orang, Fabio juga Martin karna cowok masih terlihat masih ingin memberikan rasa kasih sayangnya untuk Nando. Tidak menyadari jika Selena dan beberapa rekannya yang tadi berniat untuk pergi ke kantin untuk mengisi perutnya terlihat memperhatikan kejadian memalukan siang hari itu dari kursi penonton. Matanya nyalang menatap Devon, sahabat yang sudah dari kecil itu bersamanya memang sangat hobi berulah di kampus, bahkan nama Devon Recksel sudah terkenal di semua penjuru fakultas dan angkatan. Dari angkatan junior, senior, bahkan sampai angkatan 'mahasiswa abadi', yaitu angkatan senior-senior yang memiliki umur tua, namun belum juga mendapatkan gelar sarjana. Napas Devon naik turun dengan jaket jeans yang sudah terlepas dari badannya, pemandangan yang hampir tiap hari Selena lihat. Sempat malas ikut campur dengan masalah tak penting Devon kali ini, namun begitu cowok tampan itu berniat kembali melanjutkan aksinya, bibir Selena yang gatal sudah tak bisa menahan suaranya. "VON!" Secepat kilat Devon menoleh, dan u*****n kecil segera terlihat menghiasi bibir berhias darah segar. Selanjutnya, ia melepaskan paksa cengkraman di tangannya. Menandai bahwa ia akan menghentikan pertengkarannya sekarang juga. Tanpa mengeluarkan suara, Selena terlihat memberikan isyarat. Meminta Devon mengikutinya untuk meninggalkan keramaian. Dan ya, bukan hanya terkenal dengan kenakalannya, Devon juga terkenal karna kepatuhannya pada Selena. Si cowok tengil dengan predikat playboy itu tak pernah membantah apapun yang Selena perintahkan kepadanya. Dan sikap itu hanya Devon tunjukan pada Selena, hanya Selena. ••••

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN