Prolog

1100 Kata
Rumaysha menahan tangisnya supaya tak tedengar siapa pun saat membaca informasi yang tampil di layar laptopnya. Niat hati ingin kuliah bersama abangnya harus pupus. Lagi-lagi dia selalu gagal. Gadis itu mengambil tisu, lalu mengeluarkan ingusnya yang sejak tadi meler karena terus-terusan menangis. Ujung hidungnya sampai memerah. Matanya pun jadi sembab. Kalau sudah begini, untuk menutupi bekas menangisnya, Rumaysha akan mengenakan sheet mask seharian. Ini cara yang unik memang. “Ya Allah, sedih banget,” lirihnya dengan terisak. Sedih, sih, tapi ya sudahlah. Mungkin memang belum rezeki, atau bisa jadi Allah tengah mempersiapkan rencana-Nya yang jauh lebih indah untuk dirinya. Kita enggak pernah tahu, ‘kan? Ya, Rumaysha tidak boleh putus asa. Namun, kenyataannya dia sendiri sudah hopeless sejak tahu bahwa dirinya tidak lolos di SNMPTN. Sampai akhirnya dia berani menaruh harapan di SBMPTN yang sayangnya tidak lolos juga. Kruwuk kruwuk Rumaysha mengusap perutnya yang terasa lapar. Sejak pagi hingga sore, dia tidak makan karena menunggu hasil pengumuman SBMPTN. Ini mah sudah kelewat lapar. Akhirnya dia memutuskan mengambil sheet mask dan memakainya. Setelah memastikan sheet mask-nya terpasang dengan baik beserta sisa serumnya sudah dioleskan ke seluruh bagian wajah dan leher, Rumayha memasang hijab instan yang panjangnya sampai perut. Gadis itu menuruni tangga. Dia mendapati Aysar tengah main seorang diri di atas lantai dengan mobil-mobilan yang sudah berserakan. Asal kalian tahu saja, di usianya yang genap berusia 2 tahun, Aysar begitu pandai meniru orang berbicara. Dia sangat tengil, bahkan melebihi tengilnya Zayn. Terkadang Rumaysha harus banyak beristighfar untuk tidak memarahi si kecil yang begitu aktif. Kelewat aktif lebih tepatnya. “UMMA! ADA JULIG!” teriak Aysar membuat Maika yang asyik masak di dapur berlari tergopoh-gopoh dan Rafan yang tengah mengganti air ikan cupangnya ikutan panik. “Ya Allah, Nak. Aysar nih hobi banget buat Umma kaget. Umma kira beneran. Kamu juga, Kak. Kenapa baru keluar kamar? Mana gak ada makan,” omel Maika seraya mengusap bahu Rumaysha dengan lembut. “Kakak kenapa? Cerita sama Umma dan Papa, Nak,” ucap Rafan sukses membuat usaha Rumaysha untuk tampak baik-baik saja menjadi gagal total. Sungguh, pertanyaan ‘kenapa’ bagi seorang perempuan itu benar-benar berdampak besar pada hati mereka yang begitu perasa. “Kakak gagal lagi.” Pada akhirnya Rumaysha menceritakan kesedihannya. Mendengar hal tersebut membuat Rafan langsung mengusap puncak kepala putrinya. Dia berusaha meyakinkan pada putri semata wayangnya bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja meskipun Rumaysha harus mengalami kegagalan. “Ya udah gak apa-apa. Mungkin belum rezeki. Kuliah bisa di mana aja. Kan bisa di kampus yang sekitaran sini juga.” Meski rasanya berat, Rumaysha mengangguk lemah. Terkadang, boleh jadi apa yang tidak dia suka ini adalah baik untuk dirinya. Begitu pun sebaliknya, kan? Ting nong “Siapa, ya? Biar Papa buka deh.” “Umay aja, Papa.” Maika tersenyum kecil melihat interaksi suami dan putrinya. Tidak ada kebahagiaan yang bisa menandingi pemandangan ini. Cita-citanya untuk bisa membangun keluarga yang hangat dan memberikan definisi rumah yang sebenarnya kepada putra-putrinya benar-benar terwujud. Segala puji hanya untuk Allah, pemilik hidupnya yang sudah memberikan ketetapan terbaik untuk dirinya hingga memiliki suami seperti El-Rafan Nedrian Hirasaki. “Ya udah, Umma lanjut masak lagi, ya,” kata Maika. “Maaf, ya, Umma. Umay gak bantu Umma,” sesal Rumaysha merasa bersalah. “Iya gak apa-apa. Umma ngerti kok, lagian masak segini doang mah gampang.” Rumaysha menatap Maika dengan tatapan berkaca-kaca. Semoga Allah memberikan surga sebagai balasan kebaikan untuk umma. Umma adalah perempuan terbaik yang pernah Rumaysha temui. Perempuan berusia 18 tahum itu berjalan ke arah pintu. Dia sampai tidak sadar sheet mask-nya masih terpasang. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat mendapati Zayn—abangnya yang tengah berlibur ke Bogor—ada di hadapannya bersama Ardan. Rumaysha semakin terkejut saat menyadari ada mamanya Ardan, laki-laki tua, seorang perempuan yang dia perkirakan seusia Ateu Jihan, dan seorang anak batita. “Heh, malah bengong!” tegur Zayn membuat Rumaysha terkesiap. “Maaf, saya-“ “Mari, Om, Tante, silakan masuk,” ucap Zayn mendahului adiknya yang malah berdiri saja di sana. “Heh!” Zayn menepuk bahu sang adik. “Ngaca sana lo,” lanjutnya membuat Rumaysha menelan ludahnya susah payah. Ya ampun, sheet mask-nya masih terpasang. Huaaaaaa! Tolong, Rumaysha begitu malu, apalagi saat melihat Ardan yang sedang menahan tawanya. AAAAAAA UMMA! UMAY MALU HIKS, batinnya menjerit. “Eh, Pak, Bu. Mari duduk,” kata Rafan yang diekori Aysar tanpa merasa malu ataupun segan, dasar anak kecil. Aysar dengan santai duduk di sebelah Rafan. “Helo Blo!” sambut Aysar ramah membuat Rafan tersenyum menahan malu. Putranya yang ini benar-benar bentuk salinan dari Zayn. Rumaysha yang sejak tadi merasa malu memilih menyibukkan diri di dapur bersama Maika. “Ada siapa, May?” tanya Maika seraya mencicipi masakannya. Pantas hari ini Maika bawaannya kepingin masak banyak. Ternyata, ada tamu tak diundang hihi. Eh, ya baguslah, menjamu tamu dengan baik kan berpahala. “Enggak tahu,” jawab Rumaysha gelisah. “Kenapa sih? Mules kamu? Kentara banget kayak lagi nahan b***k,” ceplos Maika membuat Rumaysha langsung memeluk sang ibu. “Eh?” “Ini Rumaysha ‘kan? Audzu—“ “Ummaaaa, Umay enggak kesambet,” rengek Rumaysha. “Ya terus kenapa? Udah ah. Ayo anter teh chamomile buat tamu. Pahalanya banyak, Nak. Ngomong-ngomong ada berapa orang yang datang?” Dengan semangat Maika mulai menyiapkan gelas teh andalannya. “Hello! Anyone here?” tanyanya lagi karena belum ada jawaban dari putrinya. “Delapan Umma,” jawab Rumaysha berusaha mengingat siapa saja yang datang. Maika mengangguk dan langsung menyiapkan segalanya. Rumaysha sudah terbiasa membawa nampan besar dengan jumlah cangkir yang tak sedikit. Oleh karena itu, gadis itu dengan luwes menyajikan teh jamuan untuk tamu mereka. Sebenarnya, ia gugup bukan main karena merasa seperti ada yang memperhatikannya dengan intens. Baiklah, kita kembali ke ruang tamu, di mana ada Zayn, Rafan juga Ardan dan keluarganya. “Bismillah, jadi begini ... saya ayah kandung dari Ardan hendak menujukkan itikad baik kami untuk mempersunting putri anda, Rumaysha, untuk menjadi istri putra kami.” Rentetan kalimat itu membuat Rumaysha yang hendak membawa nampan ke dapur malah tergugu di tempatnya. Dia yang sudah merasa lemas karena sejak pagi belum makan, semakin dibuat lemas sampai dia merasa pandangannya gelap. Bruk Rumaysha pingsan membuat mereka semua terkejut. Terutama Ardan. “Astaghfirullah!” “Abang, kakak is dead?” tanya Aysar. Zayn memejamkan matanya. Mungkin ini balasan untuk dia yang begitu mengesalkan. “Sembarangan aja kamu kalau ngomong! Geus diem weh didieu. Nanti Abang bacain ayat kursi, mau?” Aysar menggelengkan kepalanya. Akhirnya dia lebih memilih mendekat pada batita cowok yang turut hadir di tengah-tengah keluarga Ardan ketimbang kepo dengan keadaan kakaknya. Anak yang didekati Aysar itu adalah adik Ardan, tetapi beda ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN